Meriahnya Lebaran di Pulau Perbatasan

Tahun ini, kami merayakan Lebaran dengan suasana berbeda. Meriah.

Lokasi Lebarannya di Bengkalis, salah satu pulau di Provinsi Riau. Pulau ini dekat perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Hanya dua jam sudah sampai Malaka, kota pesisir barat Malaysia.

Kami mengunjungi kakak yang tinggal di sana sejak belasan tahun lalu. Kebetulan pula emak sedang di sana. Maka, sejak tahun lalu, kami pun membulatkan niat yang sebenarnya sudah ada sejak lama, liburan ke Bengkalis.

Libur Lebaran kali ini barengan dengan liburan sekolah. Pas sudah.

Ini perjalanan kami sekeluarga yang paling jauh hingga hari ini. Kami dua kali berganti pesawat dari Denpasar – Jakarta lalu lanjut Jakarta – Pekanbaru. Lama perjalanan plus menunggu sekitar enam jam.

Setelah itu, lanjut lima jam perjalanan darat dari Pekanbaru ke Bengkalis, termasuk sekitar satu jam menyeberang dengan kapal feri dari Pak Ning ke Bengkalis.

Lama. Capek. Mahal pula.

Tapi, apalah artinya demi keluarga. Tak sebanding pula dengan banyaknya pengalaman baru bagi menikmati Idul Fitri dengan suasana berbeda. Bengkalis ternyata punya tiga tradisi meriah tiap Lebaran.

Pertama, lampu colok. Tradisi ini berupa tradisi menyalakan lampu-lampu membentuk miniatur masjid. Lampu colok hanya dinyalakan sekitar tiga hari menjelang dan atau sesudah Lebaran. Jadi ya pas banget ketika kami di sana.

Lampu colok itu sudah menyambut kami saat masih di Kabupaten Siak, menjelang Bengkalis. Ratusan atau ribuan lampu terbuat dari kaleng minuman ringan diisi dengan bahan bakar minyak tanah. Mereka dipasang pada rangka bambu dan kayu membentuk miniatur masjid.

Kerangka tempat lampu colok biasa dipasang melintang di atas jalan atau di pinggir jalan. Karena itu amat mencolok dilihat. Apalagi karena lokasi sekitarnya amat gelap. Kontras dan anggun.

Lampu colok dibuat anak-anak muda. Biayanya sampai Rp 20-an juta.

Dengan biaya semahal itulah anak-anak muda Bengkalis bersuka cita. Begadang menunggu lampu, bermain bola api, atau sekadar duduk ngobrol.

Kedua, pawai malam Takbiran. Mungkin tradisi ini banyak dilakukan di kota-kota lain. Tapi, bagiku sendiri, ini pengalaman pertama mengalaminya di tempat berbeda. Di Bali, kami tidak pernah mengikutinya. Di Lamongan, kampung halaman, hanya duluuu sekali pas masih kecil.

Karena itu tetap asyik untuk mengikuti Pawai Takbiran di Bengkalis.

Pawai ini dipusatkan di Lapangan Tugu. Ribuan peserta berkumpul di sana. Mereka dalam kelompok masing-masing, seperti remaja masjid atau musholla. Tiap kelompok membawa miniatur masjid atau musholla atau ikon Lebaran lain seperti ketupat.

Bentuknya asyik-asyik. Kreatif. Begitu pula bahannya. Salah satu peserta, misalnya, membuat miniatur masjid dari ribuan kaleng. Ada yang membuat tiruan orang memotong ketupat. Dan seterusnya.

Di antara pawai itu, ada pula musik pengiring. Takbiran diiringi suara gitar, biola, dan musik modern lain terasa berbeda.

barakan02

Ketiga, Barakan. Ini benar-benar hal baru pula bagi kami meskipun bentuknya agak mirip pluputan di kampung halaman kami.

Barakan dilaksanakan pas hari raya Idul Fitri. Warga akan mengunjungi rumah tetangga secara berombongan. Biasanya 4-5 gelombang dengan jumlah peserta kira-kira 40-50 orang.

Urutan untuk Barakan ini sudah diatur. Mulai dari rumah siapa lalu berakhir di rumah yang mana. Para warga kemudian mengunjungi rumah yang mendapat jadwal sebagai tuan rumah secara bergantian dari satu rumah ke rumah lain.

Sementara itu, tuan rumah bersama anggota keluarganya menunggu di depan rumah untuk menyambut semua tamu. Tak peduli apa pun status sosial dan kelas ekonomi, etnis, ataupun asal usulnya, semua setara. Disambut sama hangatnya dengan tangan terbuka.

 

Barakan penuh dengan makanan. Tuan rumah menyediakan menu aneka ragam dari ringan hingga berat. Tamu bebas memilih dan makan sepuasnya. Tak hanya yang ada di ruang tamu, bahkan di dapur pun bebas diambil sesukanya.

Aku menangkap suasana amat akrab dan hangat. Juga satu sama lain begitu dekat. Kami yang baru datang pun tidak pernah ditanya dari mana atau keluarga siapa. Semua disapa, disambut, dan dipersilakan menikmati semua yang disajikan.

Walhasil, selama tiga hari Barakan, puaslah kami menyantap aneka menu khas pulau ini seperti roti jala, miso, lempuk, rendang, dan seterusnya.

Lebaran memang perayaan penuh kegembiraan dan kehangatan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *