Menyesapi Akulturasi Hindu – Budha di Baturiti

Umat Hindu dan Budha beriringan menuju tempat kremasi. Inilah contoh akulturasi di Baturiti.
Umat Hindu dan Budha beriringan menuju tempat kremasi. Foto Anton Muhajir.

Kematian di Baturiti bisa menjadi perayaan atas keberagaman.

Sebuah peti dihiasi rangkaian bunga, boneka bidadari, dan kupu-kupu. Ini altar almarhum Ong Kie Bing (I Putu Yasa). Laki-laki tua sekitar 85 tahun ini meninggal pada 12 Mei 2019 lalu.

Hampir dua minggu setelah kematian Yasa, keluarganya menggelar upacara kremasi di tempat lahirnya, Banjar Pekarangan, Baturiti, Tabanan, Bali.

Ruang penghormatan ada di depan rumah, setelah pintu gerbang masuk. Warga Banjar Pekarangan yang mayoritas Hindu sibuk membagi tugas untuk mengurus ritual kremasi Yasa, penganut Budha yang menjadi anggota adat banjar ini.

Banjar adalah unit sosial terkecil dalam sistem kemasyarakatan di Bali. Seperti dusun atau RT/RW. Warga non-Hindu yang bermukim di sebuah banjar bisa menjadi warga dinas. Hak dan kewajibannya sebatas administrasi kependudukan.

Sementara warga beragama Hindu menjadi warga dinas dan adat. Mereka memiliki hak dan kewajiban adat istiadat.

Namun, kebiasaan umum itu tidak berlaku di Baturiti. Umat Budha pun bisa menjadi warga adat.

Kasus pada Ong hanya salah satu contohnya. Walau beragama Budha, beretnis Tionghoa. Tak heran, sekitar 167 kepala keluarga (KK) warga Banjar Pekarangan mengurus upacara kematiannya.

“Ini pembauran dari zaman dahulu. Perbedaan yang baik,” ujar Ida Bagus Pandu Manuaba, Kelian (kepala) Adat Banjar Pekarangan.

Pandu mengatakan, dari 167 KK, umat Budha yang menjadi warga adat hanya sekitar 5 KK. Sangat sedikit, tapi mendapatkan hak setara. Tidak ada diskriminasi. Pandu menyebut tak ada perbedaan hak dan kewajiban adat.

Begitulah wujud akulturasi di Baturiti berlangsung secara turun temurun.

Umat Hindu dan Budha beriringan menuju tempat kremasi. Inilah contoh akulturasi di Baturiti.
Keluarga almarhum membawakan beragam perlengkapan menemani perjalanan ke tempat kremasi. Foto Anton Muhajir.

Perayaan

Upacara kematian Ong dua bulan lalu bisa menjadi wujudnya.

Warga adat laki-laki terlihat sibuk menyiapkan rakitan bambu untuk membawa peti. Sementara warga adat perempuan fokus di dapur, menyiapkan teh, kopi, serta kue untuk yang datang menyampaikan duka cita.

Para perempuan berpakaian adat Bali seperti kebaya, kain, dan selendang. Laki-laki mengenakan udeng, kain, dan selendang.

Sementara keluarga besar Ong mengenakan baju katun yang dipakai terbalik warna putih-krem, celana panjang, dengan sobekan kain terikat di kepala. Ada alasan sendiri kenapa baju itu dikenakan terbalk.

“Konon, saat mengurus upacara kematian, nenek moyang tak peduli dengan kondisi pakaiannya, dalam kondisi prihatin,” Sudiarta, anak laki-laki almarhum Ong.

Anak-anak Ong mengenakan ikan kepala putih, sementara cucu-cicit kain merah.

Sebelum peti diangkat, ada upacara penghormatan terakhir. Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi.

Makanan yang harus ada pada setiap upacara kematian adalah “sam seng”, terdiri dari lapisan daging dan minyak babi (Samcan), seekor ayam yang sudah dikuliti, darah babi, dan telur bebek. Semuanya direbus dan diletakkan dalam sebuah piring besar.

Sebelum menuju kuburan, ada upacara Hoe. Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Cina, biasa disebut “Hoe”. Ia harus berjalan dekat peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain.

Semangka dibanting sebagai tanda kehidupan almarhum di dunia sudah selesai. Foto Anton Muhajir.

Dibanting

Begitu peti mati diangkat keluar rumah, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.

Pecahan semangka ini diikuti suara gamelan yang dimainkan warga adat. Lebih dari 200 orang membuat barisan sesuai tahapan tradisi Budha-Tionghoa, paling depan adalah keluarga besar dengan sarana ritualnya. Diiringi warga adat, beberapa orang di antaranya ikut mengangkat peti jenazah.

Barisan warga menuruni bukit dan kebun sayuran menuju jalan raya. Perjalanan sekitar 5 kilometer ditempuh dengan jalan kaki. Para pecalang, petugas keamanan adat yang berpakaian hitam sudah siap mengatur lalu lintas, jalan raya rute Denpasar-Bedugul-Singaraja yang cukup ramai.

Dalam perjalanan menuju kuburan, di setiap persimpangan, anak-anak laki almarhum berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenazah. Ini simbol menutup persimpangan agar almarhum tidak tersesat di jalan. Sekitar 30 menit jalan kaki cepat, tibalah di sebuah kuburan Cina, yang dikelola Suka Duka Kertha Yadnya, warga Baturiti etnis Tionghoa.

Almarhum kembali didoakan oleh keluarga besarnya sebelum peti dimasukkan ke ruang pembakaran. Persembahyangan kepada Dewa Api. Saat bersamaan, kidung dan angklung khas ritual Ngaben umat Hindu di Bali mengalun mengiringi dengan lirih. Mengucapkan salam perpisahan.

Pendeta Budha, pemimpin upacara melontarkan gandum, koin, kacang ijo, jagung sebagai simbol almarhum memberikan berkah kepada pihak keluarga. Usai dibakar, abunya dihanyutkan di laut, keluarga bersembahyang pada Dewa Laut.

“Keluarga berencana ke kuburan naik mobil yayasan suka duka dengan sejumlah pertimbangan, tapi krama banjar sendiri minta tetep digotong, katanya sebagai penghormatan terakhir mereka buat almarhum kakek saya,” cerita Julio Saputra, cucu laki-laki almarhum.

Ia merasa tradisi multikultural wujud akulturasi di Baturiti, desa kelahirannya, sangat menyenangkan. Namun, Julio kadang masih mempertanyakan akar identitasnya, karena Julio dan keluarga besarnya melakukan ritual lintas agama dan etnis seperti Hindu, Budha, dan Tionghoa.

Pecalang mengabadikan jenazah sebelum dibakar di tempat kremasi. Foto Anton Muhajir.

Dasarnya Sama

Han Tay Piao (Putu Mangku Anwidana), pendeta yang memimpin upacara ini juga menjadi salah satu pengelola Pura Batu Meringgit di dalam Kebun Raya Bedugul. Pura ini simbol akulturasi karena di dalamnya ada kongco. Menurutnya tahapan ritual Hindu dan Budha pada dasarnya sama.

“Masih ada yang bilang bukan Bali. Padahal lahir dari ibu Bali,” pria tua ini berkisah suka dukanya. Warga Hindu masih banyak mengelompokkan agama jadi dua, orang Bali dan non Bali. Mengaburkan perbedaan makna suku dan agama.

Ini mungkin salah satu tantangan akulturasi di Baturiti.

Gusti Biang, salah satu warga Banjar Pekarangan menyebut pembauran ini sudah jadi kesehariannya. Sesuai kesepakatan adat, saat ada kematian, tiap warga menyumbang Rp 45 ribu per KK.

Baturiti, salah satu kawasan dengan hamparan areal pertanian adalah salah satu pemasok besar sayuran di pasar-pasar dan supermarket Bali. Dari Kota Denpasar, sekitar 2 jam berkendara ke arah obyek wisata Bedugul.

Selain kelompok Hindu dan Budha, ada juga Islam dan Kristen yang sampai kini hidup berdampingan. Pembauran ini menghasilkan kekayaan kuliner khas, misalnya kue pia dan bakso bubur. Kerenyahan, manis, dan gurih kehidupan. [b]

The post Menyesapi Akulturasi Hindu – Budha di Baturiti appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *