Tantangan sekarang bukan lagi bagaimana mengakses, tapi memilih dan memilah informasi.
Sebab, ketika saluran informasi sudah dibuka, maka informasi tak lagi elitis. Dia bisa datang dari mana saja dan diakses siapa. Dia mengalir terus. Ke mana saja. Lewat apa saja.
Seperti air. Tak ada yang bisa membendung aliran informasi ini.
Maka, percuma kalau ada yang membendung informasi ini. Tak akan bisa. Kalau tidak saat ini, mungkin suatu saat nanti informasi ini akan terbuka. Merembes ke mana-mana. Tentu saja informasi ini tak bisa dibendung kalau sudah disalurkan melalui berbagai kanal. Internet salah satunya.
Kurang lebih begitulah tafsirku pada omongan Ross LaJeunesse, Head of Public Policy and Government Google Asia Pasific. Ross salah satu pembicara di diskusi terfokus (Focus Group Discussion) Internet Sehat Jumat lalu. Dia berbicara selama sekitar 45 menit memberikan pencerahan tentang perlunya keterbukaan informasi lewat internet. Dan, Google merupakan salah satu media di mana keterbukaan informasi itu dilakukan.
Diskusi Internet Sehat di Hotel Harris, Tebet, Jakarta tersebut diikuti sekitar 65 orang dari komunitas blogger maupun netizen lain di Indonesia. Selain dari Google juga ada pembicara dari Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII), Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan lain-lain.
Bukan CIA
Lewat internet, kata Ross, setiap orang berpeluang menjadi apa saja dan memengaruhi siapa saja. Kita tak perlu lagi menggunakan koran atau TV untuk mengabarkan pada dunia tentang siapa kita.
YouTube, saluran di mana setiap orang bisa membagi videonya, bisa jadi bukti bagaimana orang-orang “biasa” punya kesempatan setara di dalamnya selama memiliki koneksi internet. Di Indonesia ada beberapa figur yang selama zero tiba-tiba menjadi hero gara-gara video mereka ada di YouTube. Dua di antara daftar selebritis made in YouTube ala Indoensia adalah Sinta dan Jojo si Kucing Garong dan Birptu Norman si “Chaya Chaya”.
Video-video lucu atau unik ini yang bisa dengan mudah mempopulerkan seseorang. “Asal cukup menarik, videonya bisa dilihat jutaan orang,” kata Ross.
Kalau di Indonesia masih relatif hanya untuk hiburan, tidak demikian dengan di negara lain. Kita bisa melihat bagaimana perubahan rezim di semenanjung Arab, lebih sering disebut sebagai Arab Spring, terjadi juga karena masifnya serbuan informasi ini.
Melalui internet, anak-anak muda menggalang suara melawan tirani di negerinya sendiri. Facebook, Twitter, YouTube, blog, semua jadi media perlawanan. Banyak perubahan besar di dunia lahir antara lain karena pengaruh internet ini.
Menurut Ross, perubahan ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Perubahan itu tidak terjadi akibat CIA, kebijakan pemerintah AS, dan seterusnya tapi karena diskusi di antara orang-orang di jalan. Kalau pernah dengar revolusi, itu terjadi saat ini karena internet.
Sensor
Namun, sebaliknya, internet juga bisa dipakai oleh pemerintah untuk membungkam suara perlawanan. “Tergantung pada siapa yang memakai teknologi tersebut,” katanya.
Banyak contoh bagaimana pemerintahan sebuah negara memblokir akses pada situs tertentu yang dianggap bisa membahayakan negara. Sensor atau bahkan blokir ini terutama di negara otoriter seperti China dan Vietnam. Di negara tertentu, situs semacam Facebook atau bahkan Google pun diblokir agar tidak bisa diakses oleh warganya.
Untungnya Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang menganggap internet sebagai sumber bahaya. Dibanding negara-negara tetangga, negeri ini jauh lebih maju dalam urusan kebebasan di internet.
Menurut Ross, pada tahun 2002 hanya ada empat negara aktif menyensor internet. Sekarang 40 negara. Semakin banyak negara tidak suka pada kebebasan di internet. Kita melihat di Sudan, Mesir, dan Syria, bagaimana pemerintah berusaha memblokir internet. Begitu juga di China yang terjadi secara terus menerus.
Selain dengan cara memblokir, sejumlah negara juga berkirim permintaan ke Google untuk memblokir atau bahkan mencabut materi tertentu di Google. Tiap tahun ada sekitar 40.000 permintaan pada Google untuk mencabut materi tersebut.
Atas nama kebebasan informasi, Google tidak serta memenuhi permintaan tersebut. Mereka malah membeberkan negara apa saja yang berkirim permintaan tersebut.
Daftar negara yang mengirim permintaan agar Google memblokir atau mencabut materi di website atau layanan tersebut bisa dicek di Google Transaparancy. Kapan-kapan deh aku buat juga tulisan tentang Google Transaparancy ini.
Disinfektan
Lalu, apa yang disarankan Google? Menurut Ross, ada dua prinsip utama terkait kebebasan informasi di internet ini.
Pertama, pertanggungjawaban pertama ada pada pengguna. Mereka yang berhak merespon sendiri sebuah materi. Kalau memang menurut pengguna, informasi itu berguna, pengguna akan menggunakan atau menyebarkannya. Dan, sebaliknya. Kalau memang materi itu tidak benar, pengguna internet pula yang bisa melaporkannya. Kalau di YouTube ada fasilitas Flag atau mark as spam kalau di tempat lain.
Kedua, informasi haruslah terbuka. Semakin banyak informasi akan semakin memberikan pilihan pada pengguna. Untuk itu, caranya adalah dengan memperbanyak materi di internet. Kalau ada materi yang dianggap tidak benar, buatlah sanggahan atau materi yang bisa diakses pula kenapa materi tersebut tidak benar.
Menurut Ross, banyaknya informasi ini bisa disamakan dengan banyaknya sinar matahari. Dia menjadi disinfektan atau obat ketika ada terkena infeksi. Sinar matahari adalah obat penyembuh infeksi yang paling bagus.
Dalam bahasa sederhana, kalau ada informasi yang dianggap tidak benar atau berbahaya, maka buatlah informasi lain untuk menjawabnya. Informasi harus dilawan dengan informasi. Bukan dengan memblokirnya.
Leave a Reply