Menikmati Eksploitasi Atas Nama Profesi


Cinta memang buta. Begitu pula wartawan pada kerjaannya.

Maka, meski kadang tak digaji layak oleh perusahaannya, toh, wartawan tetap cinta mati pada pekerjaan dan perusahaannya. Kalau cinta mati pada pekerjaan itu keren. Tapi, cinta mati pada perusahaan meski sudah sadar dieksploitasi, itu yang sampai sekarang tak juga bisa aku pahami.

Rendahnya penghargaan terhadap wartawan itu tergambar dari hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di berbagai kota, termasuk Denpasar. Dalam survei itu disebut rata-rata gaji wartawan di Denpasar hanya berkisar Rp 1-2 juta per bulan. Malah, ada wartawan digaji di bawah Rp 1 juta. Padahal upah minimum kota Denpasar Rp 1,1 juta per bulan.

Itu masih mending. Ada beberapa media yang mengaku tak bisa menggaji wartawannya. Lalu, si wartawan dibebaskan mencari uang dari narasumber, secara sah maupun tidak sah. Sah ini, misalnya, lewat iklan. Tidak sahnya, ya, terima amplop ketika liputan. Dua-duanya, sih, bagiku sama saja. Sama tidak benarnya.

Menurut AJI Denpasar, organisasi profesi di mana aku juga jadi anggota sejak 2001, standar gaji wartawan di Denpasar harusnya sekitar Rp 3,8 juta. Nilai ini diperoleh dari kebutuhan hidup di Denpasar, seperti rumah, makan, keluarga, dan keperluan lain.

Tapi, bahkan setingkat redaktur pun aku yakin gajinya masih susah mencapai nilai tersebut. Apalagi wartawan. Ketika baru masuk, gaji wartawan berkisar Rp 700.000 per bulan.

Toh, meski gajinya pas-pasan, sangat jarang wartawan yang protes atas kondisi tersebut. Ada beberapa alasan kenapa mereka justru menikmati kondisi ini.

Pertama, wartawan bangga pada pekerjaannya, bukan pendapatannya. Kenapa? Karena jadi wartawan itu gengsinya tinggi. Rumah boleh saja kontrakan, atau malah cuma sepetak kamar. Tapi, tiap hari ketemu orang tenar: jenderal, gubernur, anggota DPR, artis, dan semacamnya.

Bagi banyak orang, bertemu orang-orang tenar ini adalah kemewahan. Karena itu, sebagian besar wartawan sangat menikmati keberuntungan ini. Selain tentu saja untuk pekerjaan juga untuk status sosial. Saking bangganya kadang-kadang pada pamer foto lagi mejeng sama para pejabat atau artis ini.

Kedua, wartawan bisa hidup dari amplop pemberian narasumber, terang-terangan ataupun secara sembunyi. Amplop tersebut diberikan kadang sebagai imbalan atas berita yang dibuat wartawan, belas kasihan dari narasumber, atau sekadar uang transport ketika wartawan hadir pada jumpa pers.

Sebenarnya, semua organisasi wartawan mengharamkan pemberian amplop ini. Tapi, dalam praktiknya, kemudian diam-diam media maupun organisasi profesi itu tahu sama tahu saja. Sikap permisif organisasi dan media ini muncul gara-gara itu tadi: toh media belum bisa menggaji dengan layak.

Ketiga, bertahan karena merasa wartawan adalah panggilan jiwanya. Mereka merasa bahwa jurnalisme adalah ideologinya karena bisa mewakili yang tertindas, memberikan kebenaran (meski ini sangat sumir), serta menjadi alat kontrol bagi kekuasaan. Wartawan heroik ini tak banyak. Tapi, mereka memang ada.

Tapi, ya, itu tadi. Saking idealisnya, mereka menikmati saja eksploitasi pada profesi mereka sementara kantornya makin hari makin kaya.

Menurutku, sih, kalau ketemu tempat bekerja semacam itu, ya, tinggalkan saja. Cari media yang bisa menggaji layak wartawannya. Buat apa sibuk menjadi alat kontrol pada kekuasaan dan bla-bla-bla lainnya ketika kita sendiri tak bisa mengontrol media tempat kita bekerja. Jurnalis harus setia pada pekerjaannya, bukan pada kantornya.

Keterangan: ilustrasi dari Flickr.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *