Menepi lalu menyepi

Dear silent,

Tahukah kamu? jika dalam hening yang nyaman kamu bisa mendengar segaris tipis suara alam beresonansi membentuk nyanyian serupa gumam doa yang sanggup melelehkan semua ragu dan menggetarkan setiap mili bagian tubuhmu? bukan, bukan hanya suara burung berkicau, bukan suara daun jatuh, air menetes, angin berhembus atau suara cangcorang melompat. Tapi suara alam berdoa. Ya, dalam hening yang nyaman, saat semua indera terdekap sadar, kita bisa berkesempatan mendengar alam bergumam seperti sedang berdoa, doa yang dilantunkan dengan begitu lembut.

Tahukah kamu? jika dalam hening yang nyaman, berpeluk seluruh kesadaran, kamu bisa meminta kelopak matamu bertingkah serupa rana lalu kamu juga bisa memainkan lensa matamu serupa lensa Rodenstock Apo-Sironar-S line, menciptakan sensasi bokeh yang cantik untuk semua objek yang bertumpuk-tumpuk didepanmu? asyik, menyenangkan.

Adalah Brahmavihara Arama dan seorang kawan lama dari pulau seberang sana yang akhirnya membuat saya mengalami fenomena-fenomena cantik yang belum pernah saya alami sebelumnya. Di Brahmavihara, Banjar Tegeha, Banjar, Singaraja inilah saya melewati Hari Raya Nyepi 1933 Caka dengan blusukan mencoba menemukan hening dibelantara rasa dan pikiran yang makin hari makin porak poranda. Saya menyelami kedalaman carut marut belantara itu dengan duduk diam, bersahabat dengan hening. Ya, untuk pertama kalinya, saya akhirnya memulai pelajaran meditasi saya dengan begitu santai.

Ada ribuan alasan yang terserak diluar sana kenapa banyak orang memutuskan akhirnya serius mencintai hening. Alasan saya sendiri? sederhana, I just really wanna living my life in no hurry at all :-). Saya tau betul bagaimana terkadang langkah saya saat berjalan sulit diimbangi oleh kawan saya berjalan. Bagaimana saya ketika menuturkan suatu hal kadang melupakan jeda, reff, coda, yang ada hanya bicara, bicara, bicara tanpa menyelami lebih dalam animo lawan bicara. Hidup saya begitu terburu buru seperti orang yang takut kehabisan waktu. Ya, aneh bukan? bagaimana bisa saya merasakan ‘takut kehabisan waktu’ sementara saya tak pernah memiliki ‘waktu’ itu sendiri. Dan pada saat saya akhirnya menyadari hal itu, saya hanya berniat untuk mengakhirinya. Mengakhiri hidup saya yang terburu-buru and start to be kinder to myself. Mulai menjalani hari dengan perlahan saja 🙂

Melewati hari dalam hening disebuah vihara adalah satu lagi surga yang sederhana buat saya. Tanpa alat komunikasi, tanpa televisi, tanpa jaringan internet bahkan tanpa penunjuk waktu melekat atau dekat dengan saya, membuat saya hadir disetiap apa yang saya lakukan. Saya benar benar menyadari setiap gerak laku yang saya lakukan. Apa yang saya rasakan. Lebih dari itu, saya akhirnya paham benar bagaimana memaknai waktu.

Brahmavihara Arama, terletak diBali Utara, sekitar 20 km kearah barat dari dermaga kota tua dibilangan Singaraja. Jika lalu lintas sedang lancar bersahabat, jarak dari Denpasar menuju Vihara cukup memakan waktu sekitar dua jam dalam laju kecepatan aman.

a note to remember. melintas dan berhenti di depan sebuah rumah peninggalan tahun 1932 Jl. Gadjahmada untuk sepotong kenangan yang diam.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *