Minggu ini adalah musim Ujian Tengah Semester di lingkungan pendidikan tinggi, beberapa kampus menyelenggarakan UTS secara serempak untuk seluruh fakultas yang ada dibawah naungannya, sedangkan sebagian kampus lainnya menyerahkan kepada dosen pengajar mata kuliah masing-masing untuk menentukan waktunya.
Dilingkungan kampus saya yang menyelenggarakan UTS secara serempak, Nampak sekali perbedaan suasana kampus dengan hari-hari yang lain, suasananya yang lebih semarak, lebih ramai dari biasanya dan dengan warna yang lebih seragam, maklumlah untuk mengikuti UTS mahasiswa diharuskan menggunakan atribut almamater termasuk jas almamater. Lebih ramainya suasana kampus disampaing karena mahasiswa masuk secara bersamaan, sudah bukan rahasia lagi kalau ada sebagian mahasiswa yang kehadirannya di perkuliahan sehari-hari sangat jarang dan hanya masuk pada saat ujian untuk mendapatkan nilai yang disyaratkan untuk kelulusan….hah..!
Kebetulan tradisi sistem pengawasan UTS dikampus saya disilang antar fakultas, maksudnya dosen-dosen disebuah fakultas ditugaskan mengawasi UTS di fakultas lain. Sebuah metode yang bertujuan mulia dan ideal untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan.
Mendapat tugas mengawas di fakultas lain (yang kebetulan adalah Fakultas yang menjadi ikon Almamater), saya berfikir bahwa semuanya harus berjalan dengan ideal, melaksanakan pengawasan dengan disiplin dan tertib untuk menjamin bahwa mahasiswa memang harus belajar untuk mendapat nilai yang baik. Ketika baru masuk ruangan di hari pertama tugas mengawas, saya melihat suasana ruangan yang cukup baik, kehadiran mahasiswa benar-benar seratus persen lengkap dengan atribut dan persyaratan yang diwajibkan dan dengan posisi tempat duduk sesuai nomor absen mahasiswa… ini benar-benar disiplin pikirku..!
Mengucapkan salam dan segera saya bagikan soal dan lembar jawaban yang saya ambil dari Panitia UTS, dari sinilah mulailah kegelisahan mahasiswa terlihat, dengan wajah yang cukup tegang mereka membaca soal untuk mengerjakannya. Melihat suasana seperti itu, saya langsung bertanya kepada mahasiswa apakah soal yang harus dikerjakan begitu sukar menurut ukuran mereka, dan jawaban yang saya dapat benar-benar membuat tertegun dan prihatin, katanya jawaban dari soal tesebut benar-benar tidak terbayangkan oleh mereka, begitu sulitkah?…..Tidak juga, dan alasannya karena mereka jarang dapat kuliah,…lho maksudnya?….. Mereka mengatakan bahwa jumlah pertemuan dengan dosen pengajarnya sangat minim dan referensi yang dimiliki sedikit sekali. Tentu saja saya langsung berpikir kalau merekalah yang malas hadir mengikuti perkuiahan, tidak bersemangat bahkan mungkin berangkat kuliah hanya untuk main-main saja. Setelah saya selidiki dengan mencari informasi sebisanya, ternyata disamping karena kemalasan mahasiswa, kehadiran dosen pengajar memang sangat minim….nah!.
Masalahnya menjadi tidak sederhana lagi, barangkali semua akan berputar lagi pada lingkaran tanpa ujung bagai perdebatan “telur dan ayam”. Bagaimana mungkin kualitas pendidikan bisa baik kalau realitasnya seperti itu, mahasiswa seperti ditelantarkan, sementara di lain pihak tenaga dosen juga tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena berbagai alasan yang juga sulit dibantah, mereka tidak bisa hadir memberi kuliah karena masih ada keperluan lain “diluar” sehubungan dengan usaha mereka memenuhi tuntutan hidup keluarga karena profesi pendidik saja tidak bisa menjamin pemenuhan kebutuhan maupun kesejahteraan keluarga mereka sehari-hari.
Memang pada awalnya ada komitmen yang tinggi untuk mengabdi meningkatkan kecerdasan bangsa, tidak memiliki motivasi mengejar penghasilan tinggi atau memperkaya diri, tetapi apa daya komitmen tersebut perlahan-lahan surut juga karena desakan dan tuntutan hidup yang dirasa lebih kuat. Yah, seperti umumnya tenaga pendidik di Indonesia saat ini memang belum bisa menjamin bahwa mereka bisa hidup (layak) hanya dengan menjadi tenaga pendidik, apalagi dosen Perguruan tinggi swasta yang semuanya tergantung kebijakan pemiliknya. Masih bisa diterima kalau kondisi keuangan Kampus memang benar tidak memungkinkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih baik, tetapi jika mereka hanya dijadikan komoditi ataupun pelengkap saja, maka komitmen mulia itu pasti akan langsung lenyap…!
Bisa dibayangkan, mereka berangkat mengajar dengan biaya dari kantong sendiri, bekerja keras mempersiapkan materi perkuliahan dan dituntut terus belajar untuk meningkatkan kompetensi diri sebagai pengajar, apalagi diharuskan untuk bekerja dikampus memenuhi berbagai persyaratan yang diwajibkan pemerintah untuk kampus, sementara di awal bulan baru mereka hanya menerima honor mengajar yang diperhitungkan per-jam atau per-SKS yang hanya cukup buat mengganti ongkos bensin motor dalam dua kali mengajar….*sungguh memprihatinkan!.
Memang benar kata orang, menjadi seorang DoSen artinya kewajiban pekerjaan satu dos tapi penghasilan satu sen..he..he.!
Yah, seperti itulah kondisi dan realitas yang dialami dan itu benar-benar terjadi di dunia pendidikan kita, menjadi seorang dosen memang memerlukan pengorbanan yang luar biasa, syukur-syukur diantara mereka ada yang memang sudah mapan dari sisi ekonomi, mereka tidak akan terlalu memikirkan imbalan yang didapat dan mereka bisa mengabdi dan mengabdi sepenuhnya, tetapi kenyataannya?, kebanyakan adalah yang belum mapan ataupun untuk sekedar hidup layak.
Akankah mereka dipersalahkan?
Leave a Reply