Memoirs of A Geisha: Hidupnya Berawal di Tepi Shirakawa

Penulis: Arthur Golden, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2006)

Aku tak bisa mengatakan kepadamu apa yang memandu kita dalam hidup ini; tetapi bagiku, aku jatuh kepada Ketua sama seperti batu yang jatuh ke tanah. Ketika bibirku luka dan aku bertemu Tuan Tanaka, ketika ibuku meninggal dan aku dengan kejam dijual, itu semua seperti aliran air yang jatuh di atas karang-karang tajam sebelum air itu bisa mencapai samudra. Bahkan sekarang, setelah dia pergi, aku masih memilikinya, dalam kenanganku yang indah.

Nitta Sayuri tidak lahir di Kyoto, seperti yang selama ini diketahui banyak orang. Dan nama lahirnya adalah Sakamoto Chiyo, seorang gadis cilik yang berasal dari sebuah desa nelayan kecil bernama Yoroido. Tapi masa lalunya itu seperti tenggelam dalam warna-warni kimono dan gemerlap kehidupannya di distrik geisha, Gion. Setelah kedua orang tuanya meninggal dan kakaknya, Satsu, melarikan diri dari Gion, Sayuri nyaris tak memiliki sepotong masa lalu pun. Hanya papan-papan arwah yang dikirimkan Tuan Tanakalah yang dimilikinya sebagai kenang-kenangan atas gubuk reot dan bau laut Yoroido. Kini orang-orang mengenalnya dengan nama Nitta Sayuri, seorang geisha cerdas dari distrik Gion.

Suatu kali Chiyo merencanakan kabur dari Gion bersama kakaknya, Satsu. Sayangnya, di hari sial itu ia terjatuh dari genting dan pingsan. Sebelah tangannya patah dan pendidikannya di sekolah geisha pun dihentikan. Ketika mengetahui kakaknya telah kabur tanpa dirinya, ditambah lagi kabar orang tuanya telah meninggal, kehidupan Chiyo ketika itu seperti telah runtuh seluruhnya. Ia tak memiliki tujuan hidup dan terancam terjebak di okiya Nitta sebagai pelayan seumur hidupnya. Memikirkan ini, Chiyo begitu sedih dan putus asa. Hingga suatu kali ia berdiri di tepian sungai Shirakawa dan menangis. Seorang lelaki berusia 40 tahun menyodorkan saputangan kepadanya dan berbicara padanya. Ketua Iwamura Ken, nama lelaki itu, berbicara dengan tulus kepadanya saat Chiyo merasa dunia memusuhinya. Chiyo yang saat itu baru berusia belasan tahun, jatuh cinta untuk pertama dan terakhir kalinya.

Pertemuan singkat Chiyo dengan Ketua membawa perubahan besar dalam hidupnya. Setiap langkah yang diambilnya hanyalah untuk bisa berada lebih dekat dengan Ketua. Bersama Mameha, seorang geisha Gion yang paling populer di zaman Malaise itu, Chiyo yang kemudian berubah nama menjadi Sayuri berjuang keras untuk menjadi geisha sukses. Persaingan, persahabatan dan pengkhianatan mewarnai lika-liku hidupnya. Segala kerinduan dan harapan besarnya untuk bisa bersama ketua membuat tekadnya semakin kuat untuk bertahan dan menjadi geisha populer di Gion. Meski bukan kehidupan ini yang dipilihnya. Seperti kata Mameha, “kita menjadi geisha bukan untuk berbahagia, tapi karena kita tidak memiliki pilihan lain.”

Seperti sebuah jeruk manis yang begitu nikmat dikecap saat cuaca panas, novel karya Arthur Golden ini mengisi dahaga kita akan kehidupan geisha yang sangat menarik. Menarik, karena para geisha dikenal tertutup dan tak banyak ingin mengungkapkan kehidupan pribadinya di mata publik. Tak heran jika peluncuran novel yang berbentuk fiksi biografi ini mengundang banyak applause dari seluruh dunia. Golden mengemas kisah-kisah Sayuri secara apik dalam narasi yang indah. Pengakuan dunia pun bertambah ketika Memoirs of a Geisha diangkat menjadi sebuah film yang sukses besar di pasaran.

Sukses dengan novel dan filmnya tidak lantas membawa kehidupan mulus bagi Arthur Golden, yang merupakan lulusan jurusan kesenian Jepang ini. Pasalnya, salah seorang geisha yang dia wawancarai, yang bisa dikatakan merupakan refleksi tokoh Sayuri, merasa fiksi yang ditulis Golden tidaklah sesuai kenyataan. Mineko Iwasaki, geisha dari distrik gion yang diwawancara Golden membantah keterangan akan beberapa hal, seperti misalnya upacara mizuage (pemerawanan geisha magang), terjadi di Jepang. Ia bahkan menuntut Golden ke pengadilan tahun 2001 (tuduhan pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik) karena nama Iwasaki secara gamblang terpampang dalam halaman “ucapan terimakasih” yang ditulis Golden. Padahal pada saat wawancara, menurut Iwasaki, mereka sepakat untuk tidak membuka identitasnya. Gugatan itu kemudian diselesaikan di luar pengadilan bulan Februari 2003.

Mineko Iwasaki kemudian membuat biografi kehidupan geishanya sendiri dengan menerbitkan buku berjudul “Geisha of Gion” yang segera saja menjadi best seller di dunia. Sayangnya aku sendiri belum pernah menemukan dan membaca biografi Mineko Iwasaki itu untuk sekadar membandingkan kisah keduanya. Tapi meskipun kata Iwasaki beberapa adegan dalam novel ini diceritakan secara negatif, bagiku keseluruhannya tetap utuh merupakan sebuah gaya penceritaan yang menarik. Golden menceritakan setiap detailnya dengan halus, sehalus kimono sutra yang dikenakan para geisha dalam kisah-kisahnya.

Meskipun sebagain besar orang sepakat bahwa buku ini sangat spektakuler, penilaian beberapa kritikus buku bahwa ending dalam kisah Sayuri ini cukup lemah juga layak diberi pertimbangan. Ada tanda tanya besar disana. Dalam buku ini kita dapat menyimak satu dua hal yang umum menjadi tanda tanya di benak tiap-tiap orang yang pernah mendengar istilah geisha. Geisha = pelacur? Dalam novel jelas disebutkan bahwa para geisha tidak menggolongkan dirinya ke dalam kelas pelacur. Geisha lebih berasosiasi pada wanita simpanan, karena mereka dilatih dengan keras untuk menguasai sejumlah kebudayaan seperti menari, menyanyi, memetik shamisen, menuang teh, menghibur dan sebagainya. Namun geisha tidak melayani lelaki secara sembarangan sebagaimana yang dilakukan para perempuan yang mengikat obinya di bagian depan, seperti yang dialami Satsu, dan melayani beberapa lelaki sepanjang malam. Tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaan ketika kisah ini berakhir dengan kebahagiaan Sayuri bisa melayani Ketua sebagai geisha simpanan hingga akhir hayatnya. Sayuri bisa hidup bersama lelaki yang dicintainya, pindah ke Manhattan dan membuka rumah minum tehnya sendiri. Tapi apakah perjuangan beratnya hanya untuk itu?

Aku sih berpendapat ini hanya soal budaya. Bagi perempuan Asia, untuk kasus ini wanita Jepang, bisa melayani lelaki yang dicintai hingga akhir hayat adalah impian yang sangat tinggi, apalagi di tahun 1930-an sampai 1940-an (bahkan sekarang?). Dan dalam kehidupan para geisha, memilih untuk hidup bersama lelaki yang diimpikan tidaklah mudah. Inilah kehidupan para geisha beserta impian-impian mereka. Dan Golden sudah menyuguhkannya dengan apik dalam novel karyanya. Memang tidak ada revolusi disini, apalagi emansipasi. Tapi kisahnya menekankan pada kepercayaan akan harapan dan mimpi. Bukankah karena harapan untuk bisa bersama Ketualah yang membuat Sayuri bisa tetap hidup dan bertahan?

Rating (*****)


Comments

2 responses to “Memoirs of A Geisha: Hidupnya Berawal di Tepi Shirakawa”

  1. Joice Mogie Avatar
    Joice Mogie

    Segala sesuatu ttg Jepang sgt menarik bg sy.
    Terutama mengetahui ttg geisha,yg selama ini berkonotasï negative bg
    sy.Ttpi membc tulisan ini membwt sy memuiliki puemahaman baru ttg perjuangan seseorg utk hidupx & cintax.
    Tq so much 4 tulisanx.

  2. GEISHA JEPANG memang sangat unik dan mampu menarik perhatian dunia… thanks sudah sharing

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *