Memoirs of a Geisha “Terlalu Hollywood”

Setelah ditunda-tunda terus, akhirnya kemarin sore aku mampir juga di tempat rental film kawasan waturenggong dengan misi mulia mencari film-film populer yang belum aku tonton. Terutama yang filmya dibuat berdasarkan novel. Maka masuklah film “Memoirs of a Geisha”, “Marley and Me” dan “Brokeback Mountain” dalam daftar sewaku, disamping film Ratatouile, The Lake House, dan Premonition yang ketiganya merupakan film favorit dan sudah pernah kutonton. Lalu aku pulang dengan ekspektasi akan menyaksikan film-film top dengan banyak applause. Film pertama yang kutonton adalah “Memoirs of a Geisha”. Dan langsung memupuskan harapanku.

Bukannya film itu jelek. Filmnya bagus, untuk ukuran Hollywood. Apalagi film ini adalah besutan sutradara jempolan Stephen Spielberg. Hanya saja feeling Jepangnya tidak terasa. Walaupun mereka mengenakan kimono dan menyuguhkan beberapa potong budaya Jepang. Barangkali karena semua geisha tersebut diperankan oleh bukan orang Jepang? Ketiga Geisha diperankan oleh Zang Zi Yi, Gong Li dan Michelle Yeoh. Entahlah. Para kritikus film mungkin lebih paham soal hal itu daripada aku. Tapi kurasa persoalannya tidak sesimple dan se-rasis itu. Karena buatku, mereka semua adalah aktor dan aktris top dengan penghayatan peran yang luar biasa. Gong Li, misalnya, ketika dalam film the Curse of the Golden flower, perannya begitu memukau dan membuatku ikut berdebar-debar. Lalu kali ini apanya yang salah? Karena Hatsumomo yang diperankan Gong Li sudah segila yang seharusnya.

Jadi tidak ada alasan bagiku untuk menyalahkan para pemainnya. Barangkali persoalannya lebih pada cara penyajian kisahnya. Ada beberapa hal mendasar yang cukup mengganjal dalam setiap adegan. Memang dalam film, tidak semua detail novelnya bisa terangkum. Tapi bukankah seharusnya esensinya masih ada? Aku merasakan kosong saat menyaksikan film Geisha ini. Mungkinkah begitu susah mentransformasi feeling dalam buku ke dalam sebuah film?

Porsi tuan Tanaka misalnya, terkesan sebagai penculik anak. Tidak tampak bahwa tuan Tanaka yang menjual Chiyo adalah orang yang sangat dikagumi Chiyo. Bahkan pengiriman Chiyo ke Gion (dalam film diubah menjadi distrik Miyako) pun terkesan bagaikan penjualan budak. Padahal semestinya tidak begitu. Chiyo dan Satsu mungkin dikasari, tapi mereka tidak dikandangi dalam perjalanannya. Chiyo dan Satsu “naik” dan “duduk” di kereta. Efek dramatis yang diinginkan malah jadi terasa aneh. Justru tuan Bekku yang kasar malah tampak begitu halus dalam film.

Begitu pula porsi Ketua, yang kali ini diperankan Ken Watanabe. Perannya bagus. Sangat kuakui. Tapi peran Ketua dalam film terlalu aktif, menurutku. Beberapa porsi Nobu bahkan diambilalih oleh Ketua. Jadi kesan misterius Ketua Iwamura Ken ini terasa sekali berkurangnya. Adegan Labu dengan para tentara Amerika juga sedikit mengganjal. Tidak ada kesan Jepang disana. Yang ada, ini seperti tempat prostitusi dengan latar Beijing.

Kehalusan penggambaran kehidupan geisha dalam buku sangat jauh berkurang ketika difilmkan, membuat aku sedikit kecewa. Aku tidak bisa menikmati keindahan tarian geisha yang sedih. Yang kutemukan malah geisha yang mengamuk di atas panggung. Aku tidak menemukan keindahan kimono dan keindahan sungai Shirakawa (yang dalam film diubah menjadi sungai Sunagawa). Bahkan aku tidak bisa menikmati indahnya bunga sakura yang mekar di kebun Baron. Perasaan paling pekat yang bisa kurasakan adalah tentang perangnya. Sepertinya masih tidak ada yang mengalahkan Korea Selatan dan Jepang dalam menyuguhkan film drama Asia. Film Memoirs of a Geisha ini terlalu Hollywood.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *