Membaca Politik Hukum UU PPLH

Oleh;

Agung Wardana

Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang baru saja disahkan membuka model baru perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Beberapa hal krusial diperkenalkan, misalnya: kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), kajian daya dukung dan daya tampung, dan perlindungan bagi aktivis lingkungan.

Namun jika dilihat secara mendalam, aturan ini belum memastikan dapat berjalannya restorasi ekologi di Indonesia. Karena wataknya hanya untuk memenuhi aspek kepastian hukum saja, meninggalkan aspek filosofis keadilan lingkungan hidup bagi rakyat. Sedangkan kemanfaatan dapat dilihat kemudian setelah tahu kelompok mana yang paling diuntungkan oleh peraturan ini.

Lingkungan Hidup dan Paradigma Pembangunan
Saat ini model pembangunan mengejar pertumbuhan tanpa batas dan globalisasi ekonomi berbasis pasar dianggap sebuah keniscayaan. Globalisasi ekonomi mendorong tingkat konsumsi berlebihan di belahan dunia utara untuk mencari ladang baru di negara berkembang dalam memenuhi kerakusannya.

Di Indonesia, sejak jaman kolonial hingga sekarang sumber daya alam yang ada diperuntukkan bagi pelayanan pasar utara. Sehingga meningkatkan kerentanan sosial dan ekologi yang pada gilirannya membawa bangsa ini ke jurang bencana tiada henti.

Tidak hanya itu, dataran beserta lautan yang luas juga dipandang hanya sebagai sebuah tempat sampah yang ideal bagi negara maju. Mulai dari carbon offsetting, e-waste dan limbah B3, hingga teknologi nuklir ingin ‘dibuang’ ke Indonesia.

Jika kemudian, merujuk pada UU PPLH, maka timbul pertanyaan: apakah UU PPLH dibuat untuk menghindarkan diri dari upaya global menjadikan Indonesia sebagai tempat sampah? Atau justru untuk memuluskan agenda pembuangan sampah tersebut?

Kajian Pisau Bermata Dua
Penyelesaian permasalahan lingkungan hidup dianggap menjadi domain dengan kelas menengah, karena syaratnya harus melalui sebuah kajian ilmiah orang sekolahan. Watak ini pula yang dibawa oleh UU PPLH dengan memandatkan daerah-daerah untuk melakukan pengkajian kajian daya dukung dan daya tampung kawasan.

Kajian tersebut akan memperlihatkan seberapa banyak kemampuan ecosystem services sebuah kawasan dan seberapa banyak ia mampu menampung sampah hasil konsumsi yang dibuang ke badan lingkungan. Sehingga dengan basis kajian tersebut dapat dinyatakan sebuah status kawasan telah collapse atau memiliki selisih/ surplus daya dukung dan daya tampung.

Di satu sisi, hasil ini akan memberikan sebuah gambaran kondisi sebuah kawasan untuk lebih cepat dilakukan restorasi. Tetapi di sisi lain, kajian ini membuka peluang pengusahaan ekonomi jangka pendek bagi kawasan yang memiliki surplus daya tampung dan daya dukung. Karena kajian ini menjadi daftar menu yang dapat ‘dijual’ kepada korporasi atau negara maju yang membutuhkan tempat sampah baru.

Kepastian yang coba dibangun lewat kajian statistik ini juga akan membungkam organisasi lingkungan yang mengkritisi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pisau bermata dua bernama kajian daya dukung dan daya tampung ini akan digunakan untuk tujuan yang mana, tentu saja akan tergantung pada kebijkan negara dengan mengacu pada paradigma pembangunannya.

Pesismisme muncul mengingat paradigma pembangunan Indonesia saat ini masih menempatkan lingkungan hidup berada pada posisi minor. Kalaupun ada kebijakan perlindungan hutan, konservasi laut, sebenarnya lebih di dorong oleh upaya untuk membangun citra dalam rangka menggalang sumber pendapatan baru dari dana luar negeri baik berupa hutang, hibah ataupun carbon offsetting.

Secercah Harapan Menggantung
Selama ini, di Indonesia tidak ada perlindungan bagi para pembela HAM. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus pembunuhan, penangkapan dan kriminalisasi, teror dan intimidasi para aktivis di lapangan yang sedang menjalankan kerja sosialnya.

Namun di tengah berbagai kelemahannya, UU PPLH memulai sebuah babak baru perlindungan bagi pembela HAM khususnya aktivis lingkungan. Jaminan perlindungan untuk tidak dikriminalisasi bagi aktivis lingkungan yang sedang mendorong pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, memang sepatutnya diapresiasi.

Semoga saja perlidungan ini bukan sebagai bentuk apologia negara semata. Mengingat lewat UU PPLH, pembungkaman kerja aktivis lingkungan telah berubah dari ancaman kekerasan fisik menuju ancaman ‘kekerasan ilmiah’ lewat kajian daya dukung dan daya tampung.

Artinya, aktivis lingkungan sedang ditantang untuk mulai perdebatan ke ranah ilmiah lengkap dengan kajian tandingan. Hal ini juga upaya untuk mengembalikan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup ke tangan segelintir ilmuwan positivist didikan penguasa dan pengusaha. Dengan demikian, siapa yang paling diuntungkan oleh situasi ini?


Aktivis Lingkungan

telah dipublikasikan oleh Bali Post, 10 Oktober 2009


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *