Lebih Mudah Menemukan Hotel Dibanding Ladang di Nusa Penida

Perjalanan naik motor mengelilingi sebagian Nusa Penida saat ini adalah akomodasi tiap kilometernya. Salah satunya Desa Sakti. Jangan takut tersesat di belantara pulau batu kapur ini karena jika tersesat pasti menemukan papan nama bertuliskan nama hotel, guest house, atau villa.

Terutama di daerah di radius lima kilometer dari objek-objek wisata populer seperti Pantai Chrystal Beach dan Pantai Atuh. Masuk ke area dengan jalan-jalan makin kecil, tiap pertigaan dipenuhi papan-papan kumpulan akomodasi ini. Makin dekat ke arah pantai, jarak akomodasi satu dengan lainnya makin dekat.

Pembangunan unit baru pun tak henti. Ladang-ladang yang dulu jadi rumah para sapi kini dihuni alat berat seperti ekskavator. Mereka berusaha menggali batu kapur atau meratakannya. Membuat petak-petak lokasi bungalow atau kubu-kubu beraneka bentuk dan model arsitektur.

Dari hasil observasi dengan mengelilingi pulau selama 3 hari, akomodasi terbanyak berbentuk lumbung, tempat penyimpanan hasil panen atau benih. Terbuat dari kayu, bambu, beratap jerami dan genteng, atau kombinasi baja ringan.

Tak hanya di tengah kebun yang sudah tak digarap, lumbung-lumbung ini terlihat di bebukitan. Terutama jika hendak memanfaatkan pemandangan laut dari kejauhan. Lumbung padi dan jagung kini jadi tempat tidur turis.

Komang Kamartina, warga Nusa Penida yang memiliki keahlian membuat website kini jadi operator sejumlah akun pemasaran akomodasi di bawah 5 kamar. Saat ini, setidaknya ia mengelola promosi dan booking-an 20 merk akomodasi. Pria yang mukim di Nyuh Kukuh, Ped ini melihat peluang kerja lebih luas ketika pariwisata booming lalu balik ke Nusa Penida setelah merantau di Denpasar bekerja sebagai web developer.

Selain itu, Kamartina juga memanfaatkan peluang distribusi sarana perlengkapan hotel, juga kadang jadi pemandu wisata. “Kalau sedang ramai dalam satu hari bisa dapat Rp 400 ribu,” ujarnya soal jadi guide dan menjual tiket speedboat ke turis asing saja. Jika sepi, seperti saat ini ketika sejumlah negara siaga karena penyebaran virus Corona Baru, penghasilannya sudah turun 50%.

Sebagai operator beberapa akomodasi ia harus kreatif mengelola akun penjualan misalnya dengan membuat promo dan mengubah deskripsi. Misalnya menambah paket perjalanan ke sejumlah objek wisata dan diskon spesial di event-event khusus seperti Nusa Penida Festival.

Semua akun usaha akomodasi yang dikelolanya dimiliki warga lokal Nusa Penida, mulai daerah barat Banjar Nyuh, Sebunibus, dan Sakti. Menurutnya jasa operator ini bisa dipelajari otodidak, namun harus terus mempelajari strategi pihak lain apalagi manajemen besar mulai masuk dan mengambil alih operator kecil.

“Ada kemungkinan pekerjaan saya hilang karena merk manajemen besar masuk,” ujarnya. Karena itu ia juga mengusahakan pekerjaan lain, distribusi sarana hotel seperti tisu, sampo, sabun, dan lainnya. Namun ini juga sangat tergantung situasi turisme di Nusa Penida.

Kamartina nampak siaga dengan ponselnya. Seseorang menelpon utuk konsultasi mengenai pengembalian (refund) biaya sewa. “Hotel makin banyak, jumlah kamar jauh lebih banyak. Dulu harga kamar tidak isi kolam renang Rp 400 ribu, sekarang jadi Rp 200 ribu,” ia prihatin dampak virus COVID-19 ini.

“Pariwisata pasti bisa turun, apalagi Lombok sudah dipersiapkan pemerintah,” lanjut Kamartina. Ia menyadari Nusa Penida sangat tergantung pada pariwisata karena warga sudah berinvestasi dengan mengorbankan sejumlah hal. Misalnya tanah dan lahan pertanian dijual untuk beli mobil dan disewakan sebagai kendaraan tur.

Masalahnya, lanjut Kamartina, bidang pendidikan tinggi juga terabaikan. “Dulu zaman saya banyak yang kuliah S1, sekarang turun jadi D1 atau tamat SMK pariwisata, tak mau sekolah lagi,” keluhnya. Ia sendiri bersyukur punya keterampilan lain yakni teknologi informasi jika industri pariwisata tak bisa diandalkan.

Lalu apa yang perlu dipersiapkan warga Nusa dalam kondisi saat ini? Jika industri pariwisata terlalu rapuh, ia sendiri bisa jadi akan merantau lagi atau warga lain yang pernah jadi petani kembali menekuni rumput laut. “Sekarang belum banyak yang percaya pariwisata itu rapuh,” yakinnya.

Hotel dan ladang

Tak hanya pantai dan tebing, Nusa Penida juga menarik dijelajahi jika masuk ke desa-desa. Terutama perbukitan yang hijau saat musim hujan, dan para petani mulai bertanam jagung, ketela, dan lainnya di ladang-ladangnya yang berundag-undag.

Salah satu hotel dengan 3 kamar, Echo Alam Nusa di Desa Sakti dibangun di tengah ladang. Sebuah papan kecil bertajuk Vegan Soul Kitchen, nama restorannya, dipsang di pertigaan jalan raya utama desa. Sebagai penunjuk bagi pengunjung yang akan mencari lokasi ini. Jalan beton terlihat baru dibangun, pengendara motor melalui ladang-ladang jagung sampai menemukan pura dan rumah penduduk. Sekitar 5 menit berkendara, tibalah di pertigaan dengan papan penunjuk tambahan, namun tertutup pepohonan.

Penginapan ini tertutup ladang, yang nampak paling depan adalah kubu sederhana dari kayu dan bambu. Inilah restorannya sekaligus resepsionis. Sejumlah pelanggan restoran duduk menunggu pesanan, atau bermain dengan anak-anak anjing lucu yang berkeliaran di seluruh areal resto.

Di sekitarnya terlihat tanaman yang umum di kebun-kebun Nusa. Pisang, pepaya, gamal, ketela, dan jagung. Di kejauhan, terlihat sedikit lekuk pulau dan lautnya. Kamar-kamarnya juga dibuat dari dominan bambu. Materia lainnya adalah kayu jati, albesia, seseh atau kayu pohon kelapa, dan kayu pohon Kembang Kuning. “Saya pakai bambu dan kayu sekitar sini, masih ada sedikit rumpun bambu, “ Ketut Merta, salah satu yang ikut membangun dan mengonsep Echo Alam Nusa pada 2016. Ia adik dari Nyoman Suweta, pemiliknya yang mukim di Ubud.

Dari sejumlah aplikasi pengulas akomodasi, restorannya nampak yang lebih mendapat apresiasi. Fokus di menu-menu vegan. Misalnya BBQ Tempe Sandwich seharga Rp 45 ribu. Isinya setumpuk roti berisi tempe goreng dan aneka sayuran tomat, timun, dan kentang goreng homemade. Belasan ragam menu dominan sayur, biji-bijian, dan buah tanpa telur dan susu hewani.

Namun, sebagian besar bahan menu belum bisa dipasok dari pulau sendiri terutama sayuran. Hanya labu dan ketela yang menjadi bagian dari menu. Melihat ketertarikan pelanggan pada konsep vegan hingga mau menemukan resto di pelosok ini, pertanian Nusa Penida sangat potensial dikembangkan dan diramu sebagai menu vegan dengan bahan baku lokal.

Dua perempuan beda usia, Putu Purwa dan Luh Sri adalah warga setempat, tukang masak resto yang sudah familiar menyiapkan aneka menu vegan. Keduanya bisa bekerja di dekat rumah karena pelanggannya yang mendatangi. “Belum tahu bagaimana menanam sayuran, mau belajar, lebih bagus dari kebun sendiri,” ujar Sri, lulusan SMK perhotelan ini terkait kebutuhan sayuran seperti kol, selada, kentang, dan lainnya yang masih perlu dipasok.

Hotel lain di Desa Ped, Arsa Santhi sudah beberapa bulan ini berhasil memanen aneka sayuran untuk dan restonya dari atap hotelnya. Sebuah kebun di atap seluas 200 meter persegi terbangun dengan atap serupa green house. Di dalamnya tumbuh subur sayurna kangkung, terong cabai, selada, dan lainnya. Tiap hari, para staf bisa memanen sesuai kebutuhan, bahkan berlebihan.

Ari Setyawati, pemilik hotel mengaku mencoba hidroponik untuk memastikan pasokan sayur sehat dan berkualitas segar. Ia berani investasi untuk sistem hidroponik karena merasa bisa memberikan nilai lebih untuk akomodasinya. “Beberapa warga juga beli sayur di sini,” sebutnya. Hal menarik, ia memanfaatkan air AC untuk bahan baku utama pertanian tanpa tanah ini. Air AC dari 25 kamar ditampung di bak yang ditaruh di atas atap, dekat kebun hodroponik untuk dialirkan ke pipa-pipa media hidroponik.

Ari yang juga pegiat PHRI Klungkung ini menyebut pembangunan akomodasi di Nusa Penida terus melejit, sementara turis tiap hari tak sebanyak jumlah kamar. “Harus proteksi investasi lokal, meningkatkan kapasitas pekerja,” usulnya. Terlebih saat ini, banyak turis yang hanya oneday trip, tidak menginap.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Klungkung I Nengah Sukasta yang dikonfirmasi mengatakan pihaknya belum memiliki data analisis daya tampung karena melihat potensial masih bisa dikembangkan. ‘Secara umum, kalau normal ketersediaan huniannya 60-70% kalau tak ada isu seperti Corona. Nusa Penida tak kekurangan kamar,” lanjutnya.

Sejak Corona merebak, jumlah kunjungan menurun, antara Januari-Februari, retribusi yang diterima hampir berkurang 60%. Padahal biasanya kunjungan 2000-2500 per hari. Target pasti belum dipasang, termasuk target kunjungan wisatawan.

Ia mengatakan sudah ada program pengembangan 2020, misalnya akan melakukan pembenahan 9 destinasi. Pada Oktober akan dihelat Festival Nusa Penida, juga ada festival surfing, layang-layang, dan lainnya. “Orientasinya Nusa Penida karena 80% retribusi wisata dari Nusa,” katanya. Namun di Klungkung daratan juga dilakukan promosi untuk mengajak turis berkeliling Semarapura dan desa sekitarnya.

Masalah-masalah saat ini dan di masa datang menurutnya persoalan sampah. Nengah Sukasta menyebut sejumlah rencana pengembangan wisata misalnya agrowisata, peningkatan jaringan jalan, dan akses air. Pemerintah pusat sudah membantu biaya pembangunan pelabuhan segitiga emas untuk memperlancar transportasi laut.

Wisata alternatif

Jaringan Ekowisata Desa (JED), sebuah kerjasama antara Yayasan Wisnu dan sejumlah desa menawarkan dan mengembangkan wisata alternatif. Di antaranya Desa Kiadan, Plaga (Badung), Dukuh, Sibetan (Karangasem), Tenganan Pegringsingan (Karangasem), Perancak (Jembrana), dan Nyambu (Tabanan).

Saat ini sedang dirintis di Nusa Penida melalui Program Ekologis Nusa Penida yang dikelola oleh Yayasan Wisnu.

Konsepnya adalah pariwisata berbasis potensi diri (alam, manusia, sosial budaya, infrastruktur) yang dikelola oleh masyarakat setempat. Prinsipnya kepemilikan (masyarakat sebagai pemilik mengetahui dan mengenal potensi yang dimiliki), pengelolaan (pengelolaan sumber daya berdasar pada prinsip kebersamaan dan keadilan), dan keberlanjutan (dengan menjaga kesakralan melalui dokumentasi dan media pembelajaran),

Paket wisata yang sedang dirancang berfokus pada pola hidup masyarakat Nusa Penida yang meliputi sistem pertanian lahan kering dan olahan pangan, sumber ekonomi (rumput laut dan tenun), serta seni dan budaya. Rumah Belajar Bukit Keker di Desa Ped, akan dijadikan sebagai tempat penerimaan tamu sekaligus percontohan adaptasi lingkungan melalui praktik produksi biogas, kebun permakultur, dan pemanfaatan panel surya sebagai sumber energi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *