Ini pengalaman pertama ikut live in dalam rangka pelatihan riset.
Kalau tinggal bersama (live in), dalam bentuk berbeda sih sudah biasa. Misalnya pas di Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau pengabdian pada masyarakat saat mahasiswa. Nah, kalau live in untuk keperluan pelatihan riset ya ini pertama kalinya.
Tak cuma live in. Pelatihan riset semacam ini pun untuk pertama kali aku ikuti. Pelatihan ini diadakan Centre for Innovation, Policy, and Governance (CIPG), jaringan baru yang aku kenal lewat Mas Yanuar Nugroho, salah satu pendirinya. Pelatihan riset kritis CIPG diadakan di Bali. Sloka Institute sebagai panitia lokal sekaligus peserta.
Aku sendiri jadi peserta selain juga tetap jadi pembantu umum. Nah, salah satu kegiatan yang harus kami lakukan sebagai peserta adalah live in itu tadi.
Peserta pelatihan 21 orang dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, seperti dari Riau, Jakarta, Solo, Pontianak, Denpasar, Makassar, dan Lombok. Latar belakang lembaga-lembaga ini beragam. Misalnya pendamping masyarakat adat, kelompok lesbian, difabel, dan penggiat radio komunitas.
Live in merupakan proses untuk belajar melebur dengan “objek” riset. Idealnya sih ya live in berbulan-bulan. Tapi, karena ini pelatihan, jadilah hanya sekitar 24 jam.
Para peserta dibagi dalam tujuh kelompok. Mereka kemudian live in di komunitas-komunitas warga di Bali. Misalnya di rumah warga difabel di Ungasan (Jimbaran), pembuat sayur taoge di Beraban (Tanah Lot), pengrajin di Gianyar, korban kekerasan 1965 di Pejeng (Gianyar), dan nelayan di Serangan (Denpasar).
Bersama dua teman, Anggara dari CIPG dan Efrianto dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Riau, aku dapat tempat live in di Serangan. Aku sengaja sih pilih tempat paling dekat karena sekalian siaga satu jika Bunda ternyata melahirkan.
Tempat live in kami di Serangan adalah Kelompok Nelayan Karya Segara. Pendiri dan tokoh utamanya I Wayan Patut. Dia teman sejak tahun 2000an ketika dia jadi penggerak utama warga menolak pembangunan Bali Turtle Island Development (BITD) di pulau ini. Maka, aku pikir tak banyak yang bisa aku dapatkan karena kami sudah 10an tahun kenal akrab.
Tapi, ternyata tidak juga. Banyak sisi lain yang baru aku pelajari selama live in. Paling seru sih pas ngobrol dengan anggota kelompok ini.
Pertama tentu merasa jadi lebih dekat anggota kelompok ini. Sebelumnya kan aku agak ngeri kalau lihat mereka. Lha badannya gede-gede dan suka telanjang dada pamer tato je. Hehe.. Ternyata ya asyik saja sih pas ngobrol dengan mereka. Justru banyak hal baru yang kemudian aku baru tahu.
Itulah hal keduanya, jadi bisa lebih kenal tentang kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu yang seru adalah soal tajen bagi laki-laki Bali. Topik ini yang paling menarik bagiku meski kami juga ngobrol hal lain. Menurut anggota kelompok nelayan ini, laki-laki Bali tak mungkin bisa dipisahkan dari tajen. Mereka memang sadar risikonya, tak bakal bisa kaya karena justru ketagihan main judi.
Ya, tentu pernyataan itu agak lebay. Tapi ya lumayan memberikan gambaran tentang betapa akutnya persoalan tajen ini di Bali.
Ketiga, karena live in di Serangan ini, maka akhirnya aku bisa ikut mereka ke laut, memeriksa terumbu karang. Padahal, selama ini batal terus pas mau ikut mereka. Terumbu karang milik nelayan Serangan merupakan upaya rehabilitasi ekosistem laut yang rusak akibat reklamasi pulau ini. Mereka mengembangkan teknologi sendiri sehingga bisa menanam terumbu karang dengan cepat.
Kurang dari 24 jam memang waktu yang amat kurang untuk mengenal kehidupan nelayan di Serangan secara lebih mendalam. Tapi ya lumayanlah. Jadi lebih tahu tentang mereka meski hanya di permukaan. Kapan-kapan aku lanjutkan kos di sana selama sebulan. Hehehe..
Leave a Reply