Label Media makin Menyuburkan Stigma

Sebagian media kembali memberitakan pembunuhan berantai.

Lalu, gay kembali jadi pihak terpojokkan. Mujianto, pelaku pembunuhan berantai di Nganjuk, Jawa Timur tersebut berorientasi seks homoseksual. Korban-korbannya pun gay. Kelompok ini pun kembali mendapat stigma.

Mujianto membunuh 14 orang. Kepada media dia mengaku membunuh korban-korbannya dengan racun tikus karena dia cemburu. Dia pun meracun semua korbannya tersebut dengan racun tikus.

Bagiku, pembunuhan ini memang sadis. Apa pun motifnya. Karena itu dia layak diberitakan media. Cuma, aku masih heran dengan apa pentingnya media terus menerus menyematkan label gay pada pelaku pembunuhan ini.

Labelisasi secara sederhana adalah pemberian label identitas tertentu pada pelaku tindak kejahatan. Label ini bisa etnis, agama, orientasi seks, dan seterusnya.

Ini contoh berita yang melakukan labelisasi tersebut, “Pengakuan Gay Pembunuh Berantai Jengkel Karena Dikhianati“. Ada pula berita seperti ini, “Korban Gay Nganjuk Bertambah 7, Total 23 orang.”

Pada kasus ini label yang disematkan adalah label orientasi seks, gay. Namun, pada contoh kedua, label yang diberikan tak cuma orientasi seks tapi juga asal pelaku. Tak hanya bahwa dia gay tapi juga dari Nganjuk.

Dua contoh hanya media dalam jaringan (online). Aku sempat baca di Jawa Pos juga tak jauh beda dengan Tribun, Vivanews ataupun detik.com dalam menulis kasus ini. Begitu pula dengan TV. Orientasi seks Mujianto sebagai gay dibuat sebagai judul atau terus menerus diulang dalam berita.

Tak hanya dalam judul, penyematan label ini juga biasa terjadi dalam tubuh berita. Contoh terkini adalah dalam kasus-kasus terorisme. Kata “moslem” atau “Islam” teramat sering ada di dalam tubuh berita tentang terorisme oleh media barat. Atau, kalau tidak agama, label yang disematkan bisa saja etnis.

Salah satu contoh labelisasi tersebut adalah berita BBC tentang tersangka rencana bom di Time Square New York Mei 2010 silam, Times Square bomb suspect arrested in New York.

Pentingkah?
Kasus di New York ini melekat di otakku karena penulisan ini pun pernah jadi bahan diskusi seru di kelas New Media ketika aku ikut kursus singkat di Radio Nederland Training Centre (RNTC) Belanda. Saat itu kami berdiskusi seru tentang, seberapa pentingkah menyematkan label ini pada seseorang, terutama tersangka pelaku tindak kriminal?

Labelisasi ini biasanya untuk memudahkan wartawan atau media dalam mengidentifikasi si pelaku. Biar mudah, maka disematkanlah label tersebut. Dalam batas tertentu sih wajar. Misal hanya disebut sesekali sebagai pelengkap, bukan identitas utama.

Tapi, menurutku, akan berbahaya jika label itu dibuat seolah-olah hal terpenting dan diulang-ulang. Penonjolan dan pengulangan label ini akan berdampak pada pikiran pembaca. Seolah-olah si pelaku itu memang mewakili identitas yang disematkan tersebut. Padahal, perbuatan satu orang tak akan bisa mewakili identitas yang melekat padanya.

Balik ke contoh awal, pembunuhan oleh Mujianto. Karena terus menerus disebut berorientasi seks homoseksual, maka pembaca secara tidak langsung akan berpikir bahwa begitulah para gay. Yang suka membunuhlah, sadislah, apalah. Labelisasi akan menyuburkan stigma.

Pada contoh berita BBC, identitas yang disematkan adalah bahwa dia orang Pakistan. Bagiku sih itu akan berdampak pada pikiran bahwa begitulah kelakuan orang Pakistan (dan Islam). Maka, lahirlah stigma, diskriminasi, kecurigaan, dan perilaku minor lainnya pada imigran, terutama dari Asia Selatan dan Timor Tengah. Ya, ini tak bisa lepas dari labelisasi tersebut.

Maka, media seharusnya lebih berhati-hati menggunakan label semacam ini. Bagaimana pun juga, mereka jadi salah satu bagian penting untuk membentuk opini publik pada identitas tertentu.

Keterangan: Foto diambil dari sini.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *