Kalau di tempat lain laki-laki yang memegang kendali dalam tradisi, maka tidak demikian di Lamongan.
Kuatnya posisi perempuan di Lamongan ini mengingatkanku lagi ketika aku pulang kampung pekan lalu. Selain untuk liburan juga sekalian meramaikan pernikahan sepupuku. Pernikahan sepupuku dengan laki-laki dari Betawi ini justru diadakan di rumah mempelai perempuan.
Di kabupaten kelahiranku ini, perempuan yang memang punya kekuatan secara tradisional. Adat setempat menjadikan perempuan sebagai pusat dari silsilah keluarga. Begitu pula di kampung kelahiranku, Desa Mencorek, Kecamatan Brondong. Setidaknya hingga saat ini.
Kuatnya peran perempuan ini lebih banyak terkait adat dan tradisi, terutama perkawinan. Misalnya, dalam tradisi lamaran, pihak perempuanlah yang melamar laki-laki. Padahal di tempat lain justru sebaliknya, perempuan dilamar.
Di kampung kami, begitu pula di daerah lain di Lamongan, perempuan mengubah posisinya lebih aktif (melamar), bukan pasif (dilamar).
Tradisi lamaran oleh pihak perempuan ini biasanya disertai dua jajanan khas, gemblong dan wingko. Gemblong terbuat dari ketan dengan tekstur sangat lengket. Rasanya gurih. Kalau di Bali disebut jaja uli. Adapun wingko terbuat dari beras dan kelapa. Rasanya manis. Ukuran satu wingko selebar piring makan atau bahkan lebih.
Proses selanjutnya aku tidak tahu. Setahuku sih selanjutnya keluarga laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menjawab lamaran tersebut.
Kuatnya posisi perempuan itu juga terjadi pada saat akad nikah. Biasanya sih di masjid. Tapi, setelah itu akan langsung ke rumah perempuan, bukan rumah laki-laki. Begitu pula dengan perayaan pernikahan. Sampai aku umur 18 tahun selama tinggal di kampung, resepsi nikah ini tak pernah aku temui diadakan di pihak laki-laki.
Begitu selesai akad nikah, maka pihak laki-laki ini akan diserahkan oleh keluarga besarnya pada keluarga besar perempuan. Otomatis semua proses selanjutnya akan diadakan di rumah pihak laki-laki perempuan.
Bahkan, mempelai baru ini pun akan tinggal di rumah pihak perempuan. Ini dengan catatan pengantin baru tersebut tidak punya rumah sendiri yang jauh. Kalau selama ini sih ya mereka akan tinggal di rumah orang tua mempelai perempuan.
Hal ini pun berlaku dalam keluarga besarku. Ibuku punya empat saudara, dua laki-laki dan dua perempuan. Begitu dua pamanku menikah, mereka pun pergi dari keluarga besar dan tinggal di rumah mertuanya. Sebaliknya, suami dua bibiku dan bapakku sendiri malah tinggal di rumah keluarga besar perempuan. Meski rumah kami terpisah-pisah, tapi tetap di satu area.
Dalam hubungan kekerabatan pun, keluarga dari pihak ibu biasanya lebih dekat. Sepupuku dari pihak ibu sangat akrab. Namun, aku malah nyaris tidak kenal dengan sepupu dari pihak bapak. Selain karena jauhnya jarak juga karena memang secara psikologis kami jauh.
Meski demikian, adat Lamongan terkait perkawinan ini fleksibel. Dia bisa diterapkan sesuai kondisi. Biasanya sih kalau pihak laki-laki Lamongan dapat perempuan di luar Lamongan, maka pihak laki-laki tetap akan melamar. Dia tidak menunggu dilamar. Namun, kalau pihak perempuan tersebut yang dari Lamongan, setauku sih dia tetap yang akan melamar.
Misalnya, kakak pertamaku yang menikah sama perempuan Betawi. Keluarga kami yang ke Jakarta untuk melamar. Begitu pula aku yang menikah sama perempuan Bali. Keluargaku yang ke Bali untuk ngidih alias melamar ke keluarga istriku.
Adat perkawinan ala Lamongan ini, menurutku, unik. Dia memberikan warna berbeda pada sistem kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang cenderung patrilineal, menginduk pada keluarga laki-laki. Di Lamongan justru adatnya bersifat matrilineal, menginduk pada keluarga perempuan.
Jadi, di Lamongan, justru perempuan yang lebih punya kuasa.
Leave a Reply