Kualifikasi Pernyataan Dalam Kesesatan Yang Sama

Oleh


Agung Wardana




Hari ini, berbagai upaya dilakukan untuk mengklarifikasi sesat pikir Panudiana Khun atas tanah dan pertanian Bali. Artikel saya berjudul “Kesesatan Pikir Tanah dan Pertanian Bali’ yang diposting di blog, website Berita Bali online, link yang tersebar di facebook menjadi sasaran upaya ‘pelurusan’ tersebut. Email pribadi saya pun menjadi sasaran yang sama. Memang nama yang digunakan berbeda-beda, mungkin untuk menciptakan nuansa bahwa sang pengusaha memiliki banyak pendukung, mulai dari Jonathan, To Be True, sampai Super Ajun.


Berita Bali sendiri juga telah menurunkan berita klarifikasi atas nama beliau sendiri (BB, 25/02/11). Di berita tersebut, Bapak Khun menyatakan bahwa ia tidak ada keinginan untuk mentransmigrasikan petani Bali namun hanya sebatas memberikan usulan kepada petani (Bali) agar “mendapatkan penghidupan yang lebih baik di daerah yang baru”.


Di blog, seorang bernama ‘Panudiana’ mangakses tulisan saya pada 25 Feburari 2011 jam 20:13 dan memposting komentar namun kemudian dihapus oleh penulisnya. Dalam selang waktu tiga menit (jam 20:16), seorang bernama ‘Jonathan’ memberikan komentar yang menyatakan ada ‘kejanggalan’ dalam pernyataan Panudiana Khun, yang selama ini, menurutnya, selalu berpihak pada rakyat.


Pihak yang bernama Jonathan ini justru bertanya, “apakah ini merupakan salah interpretasi dari wartawan?” Ia kemudian melanjutkan, “industri pertanian (yang dimaksud Panudiana Khun tidak cocok di Bali) adalah pertanian skala besar yaitu (model pertanian yang) memerlukan tanah yang sangat luas, contohnya karet, sawit, dll…” Bentuk apologi lain juga ia sampaikan adalah lewat pernyataan, “petani-petani yang sekarang di Bali ini sudah berlangsung cukup bagus.”


Hal yang menarik adalah secara utuh komentar tersebut di copy-paste untuk mengomentari tulisan saya di website Berita Bali dengan nama To Be True dan kemudian dikirimkan ke email pribadi saya atas nama Super Ajun.


Untuk menyederhanakan respon ini, saya mencoba untuk melihat klarifikasi yang dilakukan oleh Khun, Super Ajun, To Be True dan Jonathan sebagai satu kesatuan pendapat. Karena sejatinya substansi yang coba diluruskan oleh “orang-orang” ini (jika bukan satu orang) hampir seluruhnya menyangkut hal-hal yang sama.


Jika dicermati lebih dalam, ternyata tidak ada bantahan yang berarti terhadap sikap Khun sebelumnya. Dari komentar maupun pendapat tersebut, yang ada hanya penyebutan kualifikasi atau penurunan derajat kepastian atas pernyataan sebelumnya. Selain itu, empat premis atas kesesatan pikir beliau yang saya kemukakan dalam artikel saya tidak pernah dibantah sama sekali oleh pihak tersebut.


Salah satu kualifikasi yang disampaikan adalah mengenai model pertanian yang tidak cocok di Bali. Dalam pernyataannya di awal, Khun menyebutkan ‘pertanian’ (secara umum) – kecuali ‘pertanian yang menjadi pelengkap pariwisata’ – tidaklah cocok di Bali. Namun selanjutnya dalam klarifikasinya, ia menyebutkan kualifikasi bahwa yang dimaksud ‘pertanian’ di pernyataan awal adalah ‘pertanian skala besar dan memerlukan lahan yang luas’.


Namun tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan istilah ‘pertanian skala besar dan memerlukan lahan yang luas’ disini. Apakah yang dimaksud adalah model pertanian berbasis korporasi terpusat? Ataukah yang dimaksud adalah petak-petak sawah yang dimiliki oleh petani-petani kecil yang jika digabungkan juga bisa mencapai luasan yang signifikan?


Jika ia memberikan contoh sawit, maka saya simpulkan bahwa apa yang dimaksud ‘pertanian skala besar dan memerlukan lahan yang luas’ tersebut adalah perkebunan monokultur yang terpusat berbasis korporasi seperti yang ada di Kalimantan maupun di Sumatera. Justru disinilah letak keanehan kualifikasinya karena sebenarnya sudah menjadi kebenaran umum bahwa Bali tidak memiliki perkebunan sawit seperti itu. Hal ini juga diperjelas dari kebijakan publik yang tidak pernah merencakan untuk mengembangkan perkebunan sawit monokultur yang banyak menimbulkan masalah.


Dengan demikian, pendapat Bapak Khun kehilangan relevansinya dalam menjawab pertanyaan yang diajukan jurnalis terkait alih fungsi lahan di Bali. Pertama karena pertanian skala besar yang boros lahan seperti perkebunan sawit nyata-nyata tidak ada di Bali. Kedua, menjadi tidak masuk akal jika pertanian dianggap menjadi ancaman terhadap tingginya alih fungsi lahan. Padahal selama ini pertanianlah yang mampu menjaga produktifitas tanah keseimbangan ekologis. Justru ekspansi industri pariwisata yang menjadi ancaman utama alih fungsi lahan di Bali.


Selain itu klarifikasi juga disampaikan prihal ‘usulan’ transmigrasi. Bahwa sebuah kenyataan umum pula jika seorang Panudiana Khun, ataupun Apindo, tidak punya otoritas untuk memerintahkan petani Bali untuk bertransmigrasi. Jadi sejak awal apa yang dinyatakan oleh beliau merupakan sebuah usulan. Namun disini, letak permasalahannya bukan pada bentuk pernyataan apakah berupa ‘usulan’ atau ‘perintah’, tetapi pada etis atau tidaknya sebuah pernyataan seperti itu disampaikan kepada publik.


Upaya klarifikasi yang coba dibangun tidak berhenti hanya sampai disitu. Kualifikasi dan klarifikasi juga coba dipercantik dengan penambahan sebuah klaim bahwa komentar Khun selama ini dianggap selalu berpihak pada masyarakat Bali. Kenyataannya, dalam banyak pernyataan publik yang dibuat oleh seorang Panudiana Khun justru mencermikan kerakusan seorang korporatis.


Pada sebuah harian berbahasa Inggris, misalnya, Khun dengan jelas menolak moratorium pembangunan infrastruktur pariwisata (JP, 11/02/11). Alasannya sangat klasik, karena takut investor akan lari ke daerah lain dan mengembangkan pariwisata di kawasan tersebut. Nampaknya, ada sebuah ketakutan akan kehilangan pangsa pasar jika pariwisata Bali disaingi oleh daerah yang lain, misalnya Lombok. Padahal moratorium yang dimaksud adalah upaya membantu Bali Selatan keluar dari kemelut sosial dan ekologi yang disebabkan oleh ekspansi pariwisata.


Dalam kesempatan lain, beliau juga jelas-jelas menyatakan menolak kenaikan pajak air bawah tanah (ABT) bagi sektor pariwisata (Bisnis Bali, 31/08/10). Disini prinsip ekonomi “dengan biaya semurah-murahnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya” menjadi sangat terang benerang. Selain itu, air yang merupakan res communis dianggap barang bebas yang dapat diekspolitasi sebesar-besarnya dalam melayani akumulasi keuntungan.


Sikap penolakan Khun atas nama Apindo Bali ini jelas kontradiktif dengan upaya menyelamatan sumber daya air di Bali. Karena selama ini sektor pariwisata dikenal sangat boros dan menghambur-hamburkan air. Selain itu ABT oleh industri pariwisata disedot melampaui kemampuan daur ulang hidrologinya untuk melayani kesenangan dan kepuasan para turis. Sementara itu, banyak masyarakat Bali yang tidak memiliki akses memadai terhadap air bersih yang menjadi kebutuhan dasar mereka.


Alih-alih meminta maaf, pihak yang mengklarifikasi pernyataan Khun justru mencoba melempar kesalahan pada jurnalis. Lemparan kesalahan tafsir kepada jurnalis ini merupakan sebuah hal yang aneh dan terkesan dipaksakan. Mengingat antara pernyataan awal dengan klarifikasi yang disampaikan sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar apalagi membantah satu sama lain. Jadi penafsiran jurnalis sepertinya bersesuaian dengan kerangka berpikir yang coba disampaikan bapak Panudiana Khun.


Selanjutnya, adalah hak pembaca untuk mengambil kesimpulan.

Penulis, Aktivis Lingkungan

Sedang belajar di Inggris

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *