KTP untuk Kaum Waria, Kenapa Tidak?

Mami Sisca mengabdikan hidupnya memperjuangkan hak para waria. Foto Maria Pankratia.

Seorang polisi menghentikan mobil yang dikendarai Mami Sisca.

Malam itu Mami Sisca menuju Tabanan, Bali. Akan ada kegiatan penting yang harus ia hadiri besok pagi. Dalam perjalanan, sudah hampir masuk kota Tabanan, ia berpapasan dengan polisi. Mereka sedang mengadakan razia surat-surat kelengkapan kendaraan.

Mami Sisca menepi lalu menurunkan kaca mobilnya. Polisi menyapa dengan santun.

“Selamat malam, Bu. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Boleh saya minta KTP, SIM dan STNK-nya untuk diperiksa?”

Mami Sisca mengeluarkan surat-surat yang diminta dan menyerahkannya pada petugas. Sejurus kemudian, sang petugas nampak terkesima ketika melihat KTP Mami Sisca. Ia nampak bingung, kemudian bertanya

“Kok di KTP-nya laki-laki?”

Mami Sisca tersenyum simpul. Dia sudah menduga reaksi ini. Seperti biasa, ia pun menjelaskan sebagaimana yang sudah-sudah.

Malam itu, Mami Sisca berhenti lebih lama dari pengendara lainnya. Dia terlibat obrolan yang jadi sangat panjang dan lebar dengan sang petugas polisi. Tapi tentu saja bukan obrolan serius. Justru hal-hal menarik ngalor ngidul yang terkadang memang suka membuat manusia lupa waktu.

Romantis dan Menggebu-gebu

Demikian Mami Sisca menuturkan salah satu pengalamannya, kurang lebih 26 tahun menjalani hidupnya sebagai seorang transgender, lebih sering disebut wanita pria atau waria.

Di sela-sela kesibukannya menemani para anggota Waria dan Gay Singaraja (Warga’s) mengikuti Voluntary, Conceling and Testing (VCT) HIV dan AIDS di lantai dua Puskesmas Buleleng I, ia dengan senang hati menerima tamu kurang penting seperti saya.

Sejak kecil pemilik nama Sisca Dharmadee ini mengakui, sudah merasakan hal berbeda dalam dirinya. Ia lebih senang bermain bersama anak perempuan daripada laki-laki. Orangtuanya menghabiskan banyak biaya untuk  membawanya pada orang pintar, guru karate bahkan dokter. Mereka ingin Mami Sisca berhenti dari ketertarikannya pada hal-hal beraroma keperempuanan.

Menginjak usia akil baliq, Mami Sisca terlibat cinta segitiga antara sahabat dan ketua kelasnya di SMP. Keduanya laki-laki. Romantis dan menggebu-gebu. Usia 18 tahun, Mami Sisca duduk dan berbicara di hadapan ayahnya. Secara khusus ia memohon agar ayahnya berhenti dari segala usaha membuat Mami Sisca menjadi laki-laki sejati.

“Sudah cukup, Pak. Jangan mau dibohongi sama dukun, orang pintar, dokter-dokter itu. Ngabisin duit percuma. Saya nggak mungkin berubah lagi. Saya adalah saya dan saya menikmati semua ini,” Mami Sisca menirukan kembali apa yang dia sampaikan pada bapaknya saat itu.

“Masih mending saya yang seperti ini daripada seperti anak orang lain. Gila, telanjang di jalanan, atau bikin onar tanpa sebab kaya anak-anak nakal. Toh saya masih sehat dan tidak mengganggu orang lain,” dia melanjutkan.

Pada akhirnya, kedua orangtua Mami Sisca menerima kondisinya dan mendukung apa saja yang ia lakukan.

Para tetangganya pun lambat laun terbiasa dengan penampilan Mami Sisca yang drastis berubah. Mereka sama sekali tidak menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang patut dipermasalahkan, sebagaimana yang sering terjadi.

Warga’s menjadi dukungan bagi waria dan gay di Buleleng. Foto Maria Pankratia.

Pasangan Hidup

Mami Sisca lahir 44 tahun lalu sebagai laki-laki. Sejak 26 tahun lalu dia memutuskan untuk mengubah keseluruhan penampilannya menjadi seorang perempuan. Dua tahun setelah menjadi seorang waria, ia menemukan seorang laki-laki yang hingga kini menjadi pasangan hidupnya. Terhitung sudah 24 tahun, Mami Sisca telah hidup bersama pasangannya. Semua berjalan baik-baik saja.

Mami Sisca memiliki karakter yang tidak biasa. Dia memang menarik perhatian banyak orang sejak pertama bertemu. Ia terbiasa dengan keyakinan diri yang kuat sehingga tidak pernah menyesali semua keputusan yang sudah diambil. Transgender yang sangat gandrung membaca serta bertemu banyak orang ini, pada akhirnya menjadi tumpuan bagi mereka yang membutuhkan media.

Dia orang yang bisa menjadi tempat mengadu dan menyimpan rahasia.

Memang benar, pekerjaan Mami Sisca sehari-hari adalah memenuhi kebutuhan kaum wanita yang ingin terlihat cantik. Dia bisa ditemui di salon kecantikan di Singaraja. Sesekali dia menerima jasa panggilan jika ada yang lebih suka menjalani perawatannya di rumah.

Namun, di kalangan remaja, waria dan lelaki seks dengan lelaki (LSL) di Kabupaten Buleleng, Mami Sisca adalah teman curhat yang dapat diandalkan. Sudah tidak terhitung mereka yang datang meminta bantuan Mami Sisca untuk mengatasi masalah dalam hubungannya dengan kesehatan (Baca: Penyakit Kelamin dan HIV AIDS).

Hampir semua yang menemui Mami Sisca adalah mereka yang tidak berani menceritakan aib sendiri kepada orang lain, termasuk kepada kedua orang tua atau pun sahabat. Mungkin karena itulah, panggilan Mami Sisca disematkan kepadanya.

Ini perihal yang sangat lumrah di Indonesia. Hal tabu bukanlah konsumsi keluarga dan teman-teman, apalagi lingkungan sekitarmu. Kau hanya akan berakhir menjadi remah-remah atau puing-puing serpihan kenangan jika itu sampai terjadi.

Awalnya kepedulian Mami Sisca muncul akibat kegelisahannya melihat teman-teman yang mengalami nasib sama dengannya. Namun, mereka tidak seberuntung Mami Sisca yang medapat dukungan dari keluarga untuk bebas mengaktualisasikan diri sebagai laki-laki dengan orientasi seksual tidak seperti biasanya.

Selain itu, sebagaimana pandangan umum di masyarakat, kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) masih dipandang sebelah mata dan diberi stigma. Mereka senantiasa mengalami diskriminasi, kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan dan tidak diterima di tengah masyarakat.

Beberapa di antara mereka bahkan berkalang tanah akibat depresi, baik karena kehilangan rasa percaya diri maupun juga akibat penyakit yang tidak tertolong karena ketiadaan tempat berbagi.

Garda Depan

Maka pada tahun 1994 bersama enam temannya yang juga Waria, Mami Sisca membentuk Persatuan Waria Singaraja (PWS). Tanggal 21 April 2001, PWS resmi berganti nama menjadi Komunitas Waria dan Gay Singaraja (Warga’s) karena semakin banyak yang terlibat di dalamnya. Bukan hanya waria, tetapi juga para laki-laki penyuka sesama jenis atau gay.

Terlepas dari kesibukan mereka sehari-hari sebgai individu, anggota Warga’s selalu berusaha tampil di tengah masyarakat melalui perilaku yang baik serta kegiatan yang bermanfaat.

“Jika kamu sering disoroti, kamu juga seharusnya berani balik menyoroti,” demikian keyakinan Mami Sisca ketika memutuskan membentuk komunitas ini.

Hal tersebut menjadi pertimbangan Pemerintah untuk mengajak Warga’s bekerja sama dalam rangka memerangi HIV dan AIDS di Kabupaten Buleleng. Tahun 2004 program tersebut dimulai dan terus berjalan hingga kini. Mami Sisca didukung para anggota Warga’s selalu menjadi garda depan Buleleng untuk memerangi HIV dan AIDS maupun penyakit menular seksual lainnya.

VCT pada Rabu sore (12/07) merupakan salah satu di antara kegiatan rutin Warga’s. Mami Sisca dan Mbok Yasmin selaku pengurus komunitas bersama para petugas lainnya juga aktif turun ke lapangan, dua minggu sekali diadakan razia langsung kepada para anggota Warga’s tentang pemakaian kondom dan cara hidup sehat sebagai kaum transgender.

Sesekali Mami Sisca dan kawan-kawan diundang ke sekolah-sekolah untuk mengadakan penyuluhan bagi siswa/i SMP maupun juga SMA di Buleleng. Warga’s juga ikut ambil bagian pada acara tahunan Kota Singaraja, seperti gerak jalan Hari Pendidikan Nasional dan Pawai Pembangunan.

Tahun 2016 lalu, di bawah naungan LSM Gaya Dewata, Bali dan dengan bantuan dana dari Bank Dunia melalui sebuah program sosial, Warga’s dan Dinas Kesehatan Buleleng menandatangani sebuah kesepakatan (Memorandum of Understanding) agar aktif mensosialisasikan dan mencegah HIV dan AIDS di kabupaten itu. Acara tahunan seperti Ms. Queen Waria of Singaraja digelar demi mendapatkan sosok terbaik yang menjadi duta dari program tersebut.

Mami Sisca terlibat dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Buleleng. Foto Maria Pangkratia.

KTP untuk Kaum Waria

Hingga saat ini, Warga’s terus bergiat melakukan hal-hal bermanfaat. Akan tetapi tak jarang mereka mendapatkan sorotan masyarakat.

Pada Perayaan Hari Pendidikan Nasional tahun 2016 lalu, misalnya. Aksi mereka dikecam karena tampil pada gerak jalan menggunakan seragam sekolah yang dianggap terlalu minim. Mereka dikatakan menunjukan teladan yang kurang baik terhadap para generasi muda.

Sebaliknya, Mami Sisca yang pada akhirnya menanggapi hal itu menyatakan bahwa, itu adalah salah satu bentuk kegelisahan terhadap fenomena anak sekolah zaman sekarang. Mereka suka mengenakan seragam yang kurang pantas bagi seorang siswa/i tanpa alasan yang jelas. Terkadang bolos di jam pelajaran dan ugal-ugalan di jalan.

Namun, mungkin karena yang tampil di gerak jalan ini adalah para waria, maksud yang ingin disampaikan malah terdistraksi dengan stereotip yang terlanjur sudah menempel selama ini. Toh, menurut Mami Sisca lebih banyak warga Buleleng yang mendukung Warga’s: ada sekitar 70% warga Buleleng yang selalu mendukung Warga’s, 30% lagi sepertinya bermuka dua.

“Yah, kalau bertemu terlihat baik, tetapi sebenarnya di belakang mereka membenci kita. Kita bisa rasa kok.” Ujar Mami Sisca

Salah satu pendukung Warga’s tersebut adalah Juliasari, petugas VCT Puskesmas Buleleng I. Saat saya temui di akhir pemeriksaan dia mengungkapkan, pihak Puskesmas dan Pemerintah Kabupaten Buleleng merasa sangat terbantu dengan kehadiran Komunitas Warga’s.

“Jika tidak ada mereka, kita malah tidak tahu bahwa ada banyak anggota masyarakat kita yang sebenarnya sakit dan membutuhkan pertolongan,” katanya.

Menurut Juliasari, bberapa dari mereka kadang datang dengan mengajak pasangannya, teman-temannya, yang memiliki keluhan atau sekedar ingin tahu tentang kondisi kesehatannya. Mereka secara sukarela meminta kepada petugas untuk diperiksa. “Itu sangat sangat membantu kami,” lanjutnya.

Saat ini, ada sekitar 95 Waria dan 160 Gay di Buleleng yang menjadi anggota resmi Warga’s. Pada April 2018 mendatang, posisi Koordinator Mami Sisca akan digantikan Mbok Yasmin. Seorang waria dan wakil koordinator yang, menurut saya, tak kalah kerennya. Mami Sisca menawarkan sebuah konsep yang cukup menarik kepada saya. Jika dalam satu hari terbagi menjadi pagi, siang dan malam, maka para transgender adalah SIANG.

“Kami adalah siang, kaum antara, dan kami memiliki terang yang sebenar-benarnya,” katanya.

Mami Sisca melanjutkan adalah hak setiap individu untuk merasakan hidup seturut apa yang diinginkan. Setiap orang memiliki pilihan untuk menikmati hidup masing-masing dan mendapat bahagia atas itu. Selama mereka melakukan hal yang baik, memberikan kontribusi berharga untuk dunia, tidak ada yang berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain.

Dia menambahkan justru keberagaman gender menjadi hal yang patut disyukuri bersama. Dia berharap semoga ke depan, ada kesetaraan bagi kaum transgender. “Kami tidak pernah meminta untuk dilahirkan seperti ini. Kami berharap untuk diterima dan menjadi bagian dari masyarakat dunia,” harapnya.

Jika demikian, salah satu yang perlu dipertimbangkan pemerintah adalah dengan menambahkan kolom jenis kelamin transgender di KTP transgender. Agar polisi tidak lagi bingung ketika melihat KTP waria seperti Mami Sisca.

Kenapa tidak? [b]

The post KTP untuk Kaum Waria, Kenapa Tidak? appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *