Jiwa manisku,
Sebenarnya aku punya tanggungan menulis laporan perjalanan dua hari yang lalu bersama Sofi, juga tanggung jawab membagi hasil workshop arsitektur ‘Dimanakah Batas Bali?’ bersama Adi Purnomo di Danes Art Veranda sore tadi, tapi keharusan itu rasanya akan kutunda sejenak. Tiba-tiba sedang ingin membenamkan diri duduk manis beristirahat melewati akhir minggu padat hujan dengan leleyehan saja di dapur, menyeduh teh bandulan gula batu sambil mendengarkan satu lagu lawas peninggalan masa kecil. Maka izinkanlah aku…
Melenggang imaji ditemani Juwita Malam versi Kris Biantoro yang diputar berulang kali, membayangkan kaki menyusuri lengangnya pojok Laweyan, di bawah sinar bulan Purnama ditemani kekasih hati. berjalan kaki menyusuri beteng, pasar malam, bertukar cerita yang sesekali membuat tergelak tertawa, atau hanya saling diam tapi dengan senyum yang tak pernah padam.
Atau mungkin, membayangkan diri berada dipojok kota, somewhere in Jogja, masih ditemani lagu yang sama, duduk manis saling bersandar, diayunan kecil didepan rumah bergaya art deco, peninggalan masa yang silam. Membaca terbitan lawas cerita tentang perjalanan yang lampu bacanya adalah rembulan. Atau mungkin, disatu padang diLembang, atau diPengalengan, yang sepi malamnya sanggup memanggil semua bintang datang. Membuat setiap hati hanya ingin terlelap dibawahnya.
Anyway, enough for the daydreaming. Sampai hari ini aku masih belum juga paham, bagaimana sebuah lagu bisa membangkitkan kenangan kolektif kita tentang segalanya yang indah dimasa yang lalu dan juga belum paham tentang bagaimana denting melodi sebuah lagu mampu membuat imaji kita menganak sungai, menciptakan banyak potongan gambar yang manis dalam benak.
Seberapapun indahnya kenangan dan manisnya bayangan tentang segala kemungkinan, tak adalah yang mampu mengalahkan syahdunya nikmat berada disini saat ini. Saat hujan sedang datang, disebuah dapur sederhana yang remang, ditemani gelak tawa dari ruangan sebelah, lalu secangkir teh bandulan gula batu yang ramah dekat digenggaman, lalu hati yang disesaki rindu, lalu aku yang malah dengan begitu lancarnya menulis banyak paragraf tanpa deadline tentang sebuah lagu klangenan. Sementara tulisan 3000 kata tentang hari ini yang dijadwalkan naik cetak Senin pagi sama sekali tak tergarap. Oh me..
a note to remember. A blast of Saturday night update. Rindu rumah. Waktunya pulang? 🙂
Leave a Reply