Jalan Berliku Menuju Perlindungan Hukum untuk Perempuan Bali

CEDAW komite penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melakukan pelaporan periodik yang ke-8 Indonesia. Konvensi CEDAW diakui dunia sebagai The International bill of right for women atau Women Convention (Konvensi Perempuan). Sampai saat ini ada 189 negara yang sudah meratifikasi CEDAW, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia menandatangani Konvensi CEDAW pada tahun 1980. Kemudian tahun 1984 baru meratifikasi melalui UU No. 7 tahun 1984, denga reservasi Pasal 29 ayat (1).

Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Negara Anggota CEDAW), Indonesia wajib melaporkan secara periodik setiap 4 tahun sekali tentang pelaksanaan Konveksi CEDAW ke Komite CEDAW PBB. Kali ini CEDAW pemerintah Indonesia melaporkan pelaksanaan kurun waktu 2012-2019.

Laporan ini ditulis dalam buku kesimpulan pengamatan sesi sidang CEDAW ke-80. Komite memuji upaya negara untuk mengurangi dampak penyakit coronavirus pada perempuan termasuk pembentukan program keluarga harapan dan program pangan pokok. Komite mencatat dengan keprihatianan program-program ini belum mencakup banyak perempuan yang membutuhkan.

Adanya catatan mengenai meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender dan bentuk-bentuk diskriminasi yang bersilangan dihadapi perempuan dan anak perempuan dalam konteks pandemi covid 19 yang terus berlanjut. Terutama pada kelompok perempuan yang kurang beruntung dan terpinggirkan, termasuk papua dan papua barat. Masih terbatasnya data tentang keterwakilan perempuan yang setara, partisipasinya berarti dan perempuan yang memimpin merumuskan strategi-strategi merespon proses pemulihan covid19.

Dari catatan-catatan ini, komite merekomendasikan, agar Pemerintah Indonesia:

1. Memperbaiki ketidaksetaraan yang menjadi persoalan lama antara perempuan dan laki-laki. Menempatkan perempuan dan anak perempuan di pusat strategi pemulihan pandemi dengan agenda pembangunan berkelanjutan 2030. Memperhatikan secara khusus perempuan dan anak perempuan yang kurang beruntung dan kelompok terpinggirkan. Meninjau strategi upaya tanggap dan pemulihan krisis Covid19.

2. Melakukan upaya mencegah kekerasan dan diskriminasi berbasis gender secara efektif terhadap perempuan dan anak perempuan. Menjamin perempuan dan anak perempuan memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik, pemgambilan keputusan tentang pemulihan dan pemberdayaan ekonomi serta pemberian layanan. Memastikan perempuan dan anak perempuan mendapat manfaat yang sama dari paket stimulus, termasuk dukungan keuangan untuk peran perawatan yang tidak dibayar, hal ini bertujuan mengurangi dampak sosial ekonomi dari pandemi. Adanya langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi pandemi tidak membatasi akses perempuan dan anak perempuan, juga meraih keadilan, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi berbasis gender termasuk pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi.

3. Untuk menangani kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, pemerintah membentuk Pusat Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sayangnya pembentukan ini mendapat catatan dari komite, bahwa selama pandemi covid19, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat baik secara online maupun offline. Masih adanya definisi perkosaan yang didasarkan pada penetrasi penis. Definisi ini menjadi bentuk kegagalan untuk mengkriminalisasi perkosaan dalam perkawinan di bawah KUHP. Tidak adanya referensi untuk perkosaan dan perkosaan dalam perkawinan yang tersusun dalam UU no. 23tahun 2004 mengenai KDRT.

4. Komite juga menyoroti adanya peraturan yang justru merugikan korban, yaitu pasal 27 (1) UU No. 11/2008 tentang ITE dan pasal 4 UU No. 44/2008 tentang pornografi. Peraturan itu dapat menuntut para korban kekerasan berbasis gender online.

5. Mekanisme legalitas lain yang juga menyumbang keprihatinan adalah tertundanya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Masih adanya praktik “terapi konversi” yang mengubah orientasi seksual atau identitas gender perempuan lesbian, biseksual dan transgender. Terbatasnya perlindungan korban kekerasan berbasis gender, kurangnya sumber daya manusia dan keuangan yang memadai.

Laporan ini kemudian direfleksikan dan dibahas bersama dalam pertemuan yang disusun oleh CWGI yang terfokus pada Indikator Pemantauan implementasi konvensi CEDAW di Indonesia bersama para aktivis perempuan di Bali. Ketika itu terlibat LBH Apik juga Dinas Sosial Bidang Pengembangan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali.

Cok Istri Mas Rumitni, Kepala Bidang Pengembangan Perempuan Provinsi Bali menyebutkan, di Bali sendiri, perempuan dalam yang menikah hampir kehilangan haknya. Ketika perempuan memutuskan menikah, tidak diatur perempuan akan mendapat apa. Memutuskan untuk menikah, haknya selama lajang hilang.

“Ketika terjadi perceraian dan jika memilih kembali ke rumah hak itu tidak akan kembali, tidak akan mendapat apa. Termasuk hak mengasuh anak. Itu akibat dari budaya patriarki,” papar Cok.

Ada 5 rekomendasi dari tim CEDAW. Salah satu yang ditindaklanjuti pemerintah Bali yaitu meningkatkan kesadaran masayarakat terkait dampak perkawinan anak. Hal ini dijawab melalui program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Ada dampak atau risiko yang diterima jika melanggar adat dan kebiasaan yang sudah berjalan. Menurut Cok, DRPPA yang tersebar di Bali ini sejalan dengan rekomendasi dari komite CEDAW.

Ada 10 indikator Desa RPPA adalah adanya organisasi perempuan dan organisasi anak. Ini adalah porgram sejak 2021. Rekomendasi dari CEDAW akan diimplementasikan pada DRPPA.

“Pengembangan DRPPA ini dianggarkan dari APBDes. Sedangkan program ini baru muncul 2021 akhir, saya kesulitan di sana, karena dana belum masuk anggaran,” katanya.

Seperti Cok Istri, Luh Putu Anggreni dari LBH Apik juga menyampaikan kondisi perempuan Bali banyak rintangan yang masih dirasakan. Untuk membangun DRPPA ini, LBH Apik turut terlibat. Hal yang sering Anggreni temukan harus membumikan istilah-istilah tinggi dalam kebijakan ke perempuan desa.

“CEDAW itu buku sakti. Ada penyesuaian dari catatan CEDAW untuk penerapan penanganan perempuan di bali. Kita harus meyakinkan sekali lagi apa definisi diskriminasi,” kata Anggreni.

Dalam forum ini, Luh Putu Anggreni menyampikan ketertarikannya pada indikator kualitatif perlindungan hukum yang dibahas dalam Indikator Pemantauan Implementasi Konvensi CEDAW. Pertanyaan-pertanyaan yag terkandung di dalam indikator itu menurut Anggreni harus menjadi kata kunci dalam proses perlindungan perempuan di Bali. Sudahkah ada kebijakan yang menjamin pemulihan korban diskriminasi?

Pemulihan inilah dititikberatkan LBH Apik yang diperjuangkan dalam UU PKS. Pemulihan inilah yang berat dan tidak mudah. Anggreni bercerita ada yayasan yang mendampingi pemulihan melalui Rumah Aman. Tapi korban justru banyak yang kabur-kabur. Korban merasa capek di rumah aman terus, yang selalu menjadi pertanyaan kapan kasusnya selesai.

“Perlu banget berkolaborasi dengan psikolog-psikolog andal,” tambah Anggreni.

Jaminan bantuan hukum yang disediakan negara saat ini hanya ada 6 LBH terakreditasi. Ia menuturkan klien di LBH Apik masih sering antre. Sampai-sampai ada 25 klien yang menunggu.

Ia mengkritik soal keberadaan Perda di Bali mengenai lembaga bantuan hukum yang tidak pernah melibatkannya. Menurut pimpinan LBH Apik ini, organisasi seperti LBH ini harus dilibatkan dalam penggalangan peraturan karena mereka yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil.

Dalam forum Indikator Pemantauan Implementasi Konvensi CEDAW mengajak para praktisi lembaga bantuan hukum mengoreksi istilah dan kalimat-kalimat dalam indikator pertanyaan yang akan disebarkan ke konstituennya.

The post Jalan Berliku Menuju Perlindungan Hukum untuk Perempuan Bali appeared first on BaleBengong.id.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *