Jadi, Kapan Pak Gubernur Bali Bikin Akun Twitter?

Bayangkan kita hari ini merencanakan mau liburan.

Pertama, kita akan mencari informasi soal lokasi
tujuan. Seberapa jauh perjalanan ke sana dari tempat bepergian kita, naik apa
saja, asyik tidak lokasinya, sampai bagaimana pose-pose selfie keren di sana.

Kedua, untuk urusan tiket dan hotel, kita dengan
segera menemukan beragam pilihan di aplikasi atau situs jasa tiket daring:
Traveloka, Agoda, Booking, Hotels.com, PegiPegi, dan entah berapa banyak lagi
aplikasi serupa.

Internet membuat persiapan dan pengurusan liburan
jauh lebih mudah dan cepat. Asal sudah jelas apa yang mau dicari, tak sampai 30
menit semua sudah beres. Mangkus!

Sekarang, cobalah kita sebagai warga negara mau
menggunakan layanan publik di Bali. Misal saja mau mengurus izin mendirikan
bangunan (IMB) rumah atau kantor baru. Maka, kita akan menemukan tembok tebal
bernama birokrasi.

Pertama, cobalah cari dengan kata kunci –
pengurusan IMB di Denpasar. Jika mencari di Google Indonesia, maka hasil di
halaman pertama tak ada sama sekali yang langsung bisa merujuk ke situs Badan
Publik yang melayani pengurusan tersebut. Sepuluh situs yang muncul adalah
situs jual beli jasa dan rumah.

Kedua, cobalah cari sesuatu yang lebih mendalam
terkait pemerintahan. Misalnya kata kunci – program unggulan Gubernur Bali.

Hasilnya? Tidak ada satu pun situs resmi
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali di halaman pertama mesin pencari. Mari
lanjutkan di halaman kedua. Ada sih, tetapi versi gubernur lama, Made Mangku
Pastika. Itu pun situsnya masuk kategori situs tidak aman versi mesin peramban
(browser) Firefox.

Revolusi Apanya?

Membandingkan kemudahan rencana liburan sebagai
konsumen dengan mengakses layanan publik di Denpasar atau Bali sebagai warga
negara terasa sejauh Bumi dan langit bedanya. Jauuuuh sekali..

Terasa lebih jauh lagi ketika tiap hari kita
diserbu dengan jargon-jargon Revolusi 4.0 ala rezim saat ini seolah-olah
pemerintah dan mesin birokrasi sudah siap melakukannya. Revolusi 4.0 lebih
mirip ilusi ketika dibawa ke layanan publik di negeri ini.

Tidak usahlah koar-koar soal Revolusi 4.0. Mari
mulai dari hal paling sederhana saja. Buatlah pemerintahan yang lebih terbuka
alias open government.

Sebenarnya Indonesia termasuk anggota Open
Government Partnership

(OGP) selama hampir 7 tahun. OGP atau Kemitraan Pemerintah Terbuka merupakan
inisiatif global yang membawa visi menciptakan pemerintah yang lebih
transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Tatakelola OGP
dijalankan berdasarkan prinsip kemitraan yang setara (co-governance) antara pemerintah dan masyarakat sipil.

OGP adalah sebuah inisiatif yang bertujuan untuk
mengamankan komitmen konkret pemerintah untuk mempromosikan dan mewujudkan
transparansi, memberdayakan warga, memerangi korupsi, dan memanfaatkan
teknologi memperkuat tata kelola pemerintahan. Komitmen ini menanggapi empat
nilai utama: transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan inovasi.

Di tingkat nasional, sudah ada beberapa inisiatif
rencana aksi Open Government Indonesia (OGI) ini. Misalnya LAPOR sebagai
saluran laporan pubik yang terbuka, portal data terbuka alias open data, serta
kebijakan satu peta.

Beberapa daerah di Indonesia juga sudah
menerapkannya. Kota Solok, Sumatera Barat contohnya membuat mekanisme penanganan
keluhan, pengganggaran terbuka, dan kontrak terbuka.

Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur menggunakan
prinsip pemerintahan terbuka itu antara lain untuk peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dan administrasi kependudukan, keterbukaan pengadaan barang
atau jasa pemerintah, kota cerdas dan keterbukaan pemerintah desa, dan
pembangunan yang inklusif.

Contoh praktik lain bisa dilihat di Wonosobo, Jawa
Tengah dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Semua membuktikan bahwa
keterbukaan informasi dan kemudahan layanan lewat teknologi informasi bisa
meningkatkan kualitas hidup warga.

Tuntutan Masyarakat

Sadar bahwa pemerintahan terbuka bisa meningkatkan
kualitas layanan publik dan kehidupan warga, maka 107 organisasi masyarakat
sipil (OMS) Indonesia pun terus mendorong agar pemerintah lebih serius
mewujudkan pemerintahan terbuka ini. Sloka Institute, yayasan yang mengelola
BaleBengong, termasuk dalam koalisi dengan anggota seluruh Indonesia ini.

Dalam Pertemuan Nasional Masyarakat Sipil untuk Pemerintahan Terbuka ke-3 Desember 2018 lalu, perwakilan OMS membuat pernyataan sikap untuk memastikan
keberlanjutan aksi pemerintah
Indonesia.

Tuntutan itu misalnya agar pemerintah memasukkan OGP dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan melibatkan OMS secara konsisten. Hal ini untuk menjamin keberlanjutan implementasinya ke depan. Untuk itu perlu adanya sekretariat bersama OGI antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang lebih operasional.

Koalisi ini juga menuntut agar Presiden terpilih dan anggota parlemen
terpilih pada Pemilu 2019, memberikan jaminan keberlanjutan OGP melalui inisiatif ini dengan regulasi kuat. Hal itu karena hingga saat ini belum ada regulasi yang menjadi payung
hukum dalam pelaksanaan inisiatif ini.

Komitmen pemerintahan terbuka itu memang perlu untuk terus menerus
diingatkan kepada Badan Publik, seperti halnya Pemprov Bali yang kini memiliki
pengelola baru, I Wayan Koster dan Cokorda Oka Artha Ardana Sukawati.

Sebab, seperti disampaikan oleh Yanuar Nugroho,
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Pengelolaan Isu-isu Sosial,
Ekologi, dan Budaya Strategis, bagaimana publik percaya kalau tidak transparan
di zaman teknologi ini?

Karena itu, amat penting bagi Gubernur Bali saat
ini untuk lebih terbuka dengan mengadaptasi kebijakan OGP, seperti SatuPeta, SatuData,
e-planning, e-budgeting, dan lainnya.

Apalagi, di sisi lain, makin banyak warga kini
bergantung pada Internet. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia
(APJII), penggunaan Internet di daerah urban mencapai 72 persen. Namun,
penggunaannya lebih banyak untuk ngobrol ringkas alias chatting (89 persen) diikuti
medsos, searching, browsing, download, dan lainnya.

Sayangnya, ketika penetrasi penggunaan Internet
terus meningkat, penggunaannya untuk mengakses pelayanan publik masih rendah. Misalnya
mencari informasi peraturan (16 persen) dan pelayanan publik (8 persen).

Karena itulah Yanuar pun mengajak Pemda/DPRD
menyesuaikan dengan fakta ini. Misalnya menggunakan aplikasi chatting dan media
sosial sebagai saluran pengaduan layanan publik.

Nah, mungkin Pak Gubernur Bali yang baru memulai. Misalnya dengan membuat saluran khusus keluhan di Twitter atau aplikasi WhatsApp. Gampang banget kan? [b]

The post Jadi, Kapan Pak Gubernur Bali Bikin Akun Twitter? appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *