Tak hanya danau berwarnanya, budaya masyarakat di Kelimutu juga unik dan menarik.
Masyarakat setempat punya tradisi menghormati Gunung Kelimutu dengan tiga danau warna di atasnya. Tradisi ini dilakukan masyarakat yang juga beragam etnis dan agamanya.
Gunung Kelimutu berjarak sekitar 2 jam dari Ende, ibukota Kabupaten Ende di ketinggian sekitar 1.600 meter. Ada tiga danau dengan warna air berbeda-beda di puncak gunung ini, yaitu Tiwu Atapolo berwarna hijau pekat, Tiwu Nuamori Koofai berwarna hijau muda, dan Tiwu Ata Mbupu berwarna hitam kemerahan.
Tiga danau dan gunung ini merupakan salah tempat jalan-jalan menarik di Ende, titik tengah di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bagi masyarakat setempat, tiga danau ini punya makna berbeda tak hanya warnanya. Makna itu seperti tertulis di batu prasasti di puncak Kelimutu. Masyarakat setempat percaya bahwa arwah orang meninggal akan bersemayam di tiga danau ini, tergantung pada perbuatan dan umur mereka.
Arwah orang yang meninggal akan diseleksi Konde Ratu, penjaga pintu masuk di Perekonde. Konde Ratu ini berupa batu hitam berdiameter kira-kira satu meter. Lokasinya di tepi jalan, sekitar 1 km sebelum sampai tempat parkir menuju tiga danau ini. Dari pintu masuk ini, warga setempat percaya arwah masing-masing orang akan dikirim ke danau sesuai umur dan perbuatannya.
Danau Tiwu Atapolo tempat arwah orang-orang yang berbuat jahat semasa hidupnya. Danau Tiwu Nuamori Koofai tempat arwah anak-anak muda. Sedangkan danau terakhir, Tiwu Ata Mbupu tempat arwah orang-orang tua.
Sebagai tempat orang-orang yang telah meninggal, tiga danau ini pun dikeramatkan warga setempat. Mereka mempunya ritual dan pantangan untuk tiga danau berwarna unik ini.
Yohanes Woda, 70 tahun, warga adat yang juga pemimpin adat warga setempat mengatakan, ada beberapa pantangan bagi pengunjung Gunung Kelimutu dan tiga danaunya. Pantangan itu antara lain tidak boleh melempar batu ataupun benda lain ke danau, tidak boleh berburu hewan di kawasan ini, serta tidak boleh melakukan hal-hal yang dianggap tidak senonoh oleh warga setempat. Misalnya, berciuman di sini.
Menurut Woda, bule-bule yang berkunjung ke tiga danau ini sering cuek dengan pantangan untuk tidak berciuman. “Mereka cuek berciuman di sini,” ujar penjual souvenir dan minuman di sini sejak tahun 1965 ini.
“Kami percaya ada yang menunggu tempat ini. Karena itu kami harus menghormati mereka, leluhur kami,” kata Yohanes Mbulu, warga lain di Kelimutu.
Secara adat dan administratif, Gunung Kelimutu masuk wilayah Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu. Desa inilah pemangku adat tiga danau dan gunung itu. Tiap tahun, mereka punya ritual pesta adat bernama jokaju, penyerahan sesaji hasil panen pertanian mereka untuk tiga danau tersebut.
Barang sesaji itu, antara lain, ayam kampung, sirih pinang, tembakau, dan dua jenis kain, yaitu kain lawo atau kain perempuan dan kain ragi atau kain laki-laki. Tapi, kain ini hanya berupa sobekan kecil sebagai simbol. Semua sesaji dalam anyaman diletakkan di Perekonde, tempat di mana Konde Ratu, sang penjaga pintu Kelimutu bersemayam.
Masyarakat adat melaksanakan pesta ini tiap setahun sekali pada bulan Oktober. Pada bulan ini mereka baru saja usai panen dan dalam persiapan ke musim tanam selanjutnya. Komoditi yang mereka tanam, antara lain padi, jagung, dan sayur.
Sebelum upacara digelar, warga punya beberapa pantangan, dalam bahasa setempat disebut pire’ nggua. Selama empat hari, warga dilarang membuat bunyi-bunyian, tidak boleh bekerja, tidak boleh memotong kayu, dan tidak boleh menggali tanah.
Pantangan ini mungkin semacam Nyepi di Bali. Bedanya, masyarakat setempat melaksanakan pantangan ini selama empat hari dan boleh menyalakan lampu. Menurutku, ini tradisi unik masyarakat adat di Ende. Bedanya, mereka bukanlah Bali yang gencar melakukan promosi.
Usai melakukan pire’ nggua ini, masyarakat baru melakukan pesta. Biasalah. Tiap ritual yang bersifat menahan diri, misalnya puasa atau Nyepi memang biasa diwarnai dengan pesta pora. Nyepi diawali pengerupukan, puasa diakhiri lebaran. Begitu juga ritual masyarakat adat di Ende.
Mereka menggelar pesta adat dengan menghatutkan sesaji ke penguasa Gunung Kelimutu dan tiga danaunya. Upacara ini dipimpin ketua adat (mosalaki). Ada 11 mosalaki, sebenarnya di Desa Pemo ini yang mewakili 11 etnis di desa. Namun, hanya dua mosalaki yang dianggap tertinggi memimpin ritual ini.
Warga desa ini beragam etnis dan agamanya. Flores dan NTT pada umumnya memang punya ratusan etnis. Begitu pula Desa Pemo, pemangku Gunung Kelimutu beserta isi di dalamnya, danau dan hutan. Selain etnis, warga desa dengan 150 kepala keluarga ini juga beragam agamanya, ada Katolik dan Islam. Semua umat di sini ikut serta dalam ritual tersebut tanpa membedakan agamanya.
Inilah harmoni yang masih dijaga masyarakat setempat. Dalam perbedaan, mereka tetap dan saling menjaga tradisinya.
Leave a Reply