Gula Merah Besan Dijual hingga Negeri Paman Sam

Wayan Sudata, salah satu pembuat gula merah di Desa Besan, Kecamatan Dawan, Klungkung. Foto Anton Muhajir.

Produk khas Desa Besan ini justru terancam karena kurangnya generasi penerus.

Rintik-rintik kecil menyambut kami saat sampai di rumah salah satu produsen gula merah di Desa Besan, Kecamatan Dawan, Klungkung, Wayan Sudata. Kedatangan kami itu bertepatan saat ia sedang membuat gula merah di dapurnya.

Sembari menunggu gula siap cetak, Sudata bercerita tentang pengalamannya selama menjadi produsen gula merah yang merupakan produk unggulan Desa Besan ini.

Menurutnya, di pada tahun 1950-an, hampir seluruh warga Desa Besan merupakan pembuat gula merah. Namun, seiring waktu berjalan, pembuat gula merah mengalami penurunan dan terancam punah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Misalnya tidak ada yang meneruskan pekerjaan itu atas pertimbangan tingginya risiko saat memanjat pohon kelapa dalam proses menyadap. Juga beralihnya pilihan generasi muda untuk menjadi pegawai, baik negeri maupun swasta hingga pekerjaan lain yang berada di luar daerahnya.

Hingga saat ini, tersisa 30-50 orang pembuat gula yang tersebar di dusun Kawan dan Kanginan. Sudata meneruskan, bahwa sejak masih kecil, Besan memang sudah dikenal sebagai daerah penghasil gula merah.

Menyadap kelapa

Saat ini, ada 10 pohon kelapa yang digarap oleh Wayan Sudata. Sayangnya pohon itu adalah milik orang lain, sehingga ada bagi hasil antara si pemilik pohon dengannya. Bagian untuk pemilik pohon biasanya dalam bentuk tuak dengan perbandingan 1:2. Dari penyadapan 10 pohon itu, biasanya Sudata akan mendapat 30 liter setiap pagi-sore. Atau paling sedikit dapat 1 liter perpohon.

Sudata memulai aktivitas menyadap pada pukul 7 pagi dan 4 sore tiap harinya. Jika pukul 7 mulai nyadap, maka pukul 4 sore ia akan naik lagi mengambil hasil sadapan sekaligus menaruh penampungan air untuk diambil keesokan harinya lagi. Begitu prosesnya secara rutin.

Tanpa peralatan canggih, proses ini dibantu dengan “beruk” yang terbuat dari batok kelapa dan jerigen untuk penampungan air. Tak ada kompensasi karena cuaca buruk. Sudata harus siap memanjat pohon kelapa di segala cuaca karena pengambilan hasil sadapan ini tidak boleh terlambat. Jika lewat dari waktu seharusnya, air itu akan berubah menjadi cuka, bisa juga arak.

Kesempatan libur hanya ketika hari raya Nyepi. Air dari pohon kelapa dibiarkan menetes menyentuh tanah, tak ada yang memanjat dan nyadap, karena Nyepi adalah kesempatan untuk mengapresiasi alam atas apa yang sudah diberikan untuk kita.

Hal unik dari sesi memanjat kelapa ini adalah adanya interaksi dengan penyadap lain yang juga sedang memanjat. Interaksi itu biasanya berupa obrolan tentang harga gula merah di pasaran. Obrolan lintas pohon itu tentu berlangsung dengan suara yang keras, sehingga biasanya akan menjadi informasi langsung bagi warga lain yang juga menyimak percakapan lintas pohon itu.

Setelah mengambil air sadapan, selanjutnya air itu akan diproses langsung dalam dapur. Pengolahan gula merah hingga siap dicetak membutuhkan waktu selama 3 jam dengan cara yang masih tradisional.

Pertama, air sadapan itu akan melalui proses “mumpunin” atau semacam direbus hingga pekat. Setelah itu barulah mulai dicetak dengan menggunakan cetakan dari setengah batok kelapa. Ketika gula sudah mengeras, proses selanjutnya adalah pengemasan. “Kraras” atau daun pisang kering dimanfaatkan sebagai pembungkusnya dan dipercantik dengan tali bambu.

Harga dan Penjualan

Gula-gula yang sudah selesai dikemas itu akan dijual kepada pengepul yang datang langsung ke rumahnya tiap 3-4 hari sekali. Wayan Toniawan, anak Sudata, menambahkan bahwa orang tuanya termasuk beruntung karena tidak memiliki hutang kepada pengepul tertentu. Andai punya hutang, gula-gula yang telah dikemas itu hanya boleh dijual kepada pengepul yang dihutangi.

Pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan gula merah ini menurutnya cukup untuk keseharian. Gula yang dihasilkan perharinya sekitar 5 kg. Dari 5 kg itu, Sudata sudah mendapakan penghasilan sebesar Rp 150.000 per hari.

Gula merah buatan Sudata tidak hanya dijual di pasar lokal, tapi juga sudah sampai tingkat internasional, khususnya Amerika Serikat. Ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan testimoni konsumennya, gula merah Besan buatan Sudata memang terbukti murni tanpa campuran bahan lain. Sejauh yang diketahui, gula-gula yang dibeli dari Sudata diolah menjadi lulur dengan campuran kopi.

Pada Juni lalu, sebanyak 100 kg gula dikirim ke mancanegara. Wayan Toniawan yang berperan sebagai narahubung. Pemesanan dilakukan via WhatsApp sebulan sebelumnya, sebab perlu waktu yang panjang untuk memperoduksi gula dalam jumlah yang banyak.

Perihal harga, Sudata menetapkan tarif berbeda antara pasaran lokal dan internasional. Harga normal di pasar lokal, sebesar Rp 30.000/kg, sedangkan harga pasar internasional adalah dua kali lipatnya, yaitu Rp 60.000/kg. Selain dijual per kilogram, gula merah ini juga bisa dibeli per biji (setengah batok kelapa). Beratnya berkisar antara 500 gr-600 gr.

Jika dikalikan dalam sebulan, pendapatan dari usaha gula merah ini sebenarnya lumayan. Lebih dari upah minimum kabupaten. Sayangnya, pendapatan yang lumayan itu tak cukup menarik bagi anak-anak muda di desa ini.

Inilah yang membuat Sudata prihati. “Sepuluh tahun lagi mungkin sudah tidak ada yang membuat gula di desa kami,” tuturnya.

The post Gula Merah Besan Dijual hingga Negeri Paman Sam appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *