Ekstrimisme Islam vs Ekstrimisme Hindu

wedakarna01

Ekstrimisme dalam Hindu, mungkinkah? 

Saya tertawa puas melihat reaksi ekstrim dari penggemar Nikita Willy ketika mereka tahu artis cantik ini sedang berpacaran dengan seorang laki-laki Hindu Bali.

Awalnya seperti para penggemar setia Nikita yang beragama Hindu, saya juga tersinggung. Saya awalnya terluka dengan hinaan dan kata-kata yang menghina dan merendahkan yang dilontarkan oleh penggemarnya yang beragama Islam.

Akan tetapi saya menyadari bahwa di balik kata-kata dan sikap-sikap arogan mereka, saya melihat rasa takut dan terancam karena idola mereka pacaran dengan pemeluk agama lain. Itu berpotensi mengurangi jumlah populasi mereka yang saya amati sering digunakan untuk merasa berkuasa.

Luapan-luapan ekstrim yang mereka ungkapkan secara verbal akhirnya juga bisa sedikit mengompensasi perasaan-perasaan terancam yang saya rasakan oleh karena sebuah pengalaman yang akan saya ceritakan di bawah ini.

Saat saya masih TK hingga saya SMU, saya bersahabat dengan seorang wanita Islam.

Awalnya kami sangat rajin bersilaturahmi. Saya akan berkunjung saat ia dan keluarganya merayakan Idul Fitri. Mereka akan datang saat saya merayakan Hari raya Galungan. Saat ia berkunjung ke rumah, ia akan sholat seberapa kali pun ia mau. Saat sedang jalan-jalan, kami pun akan saling mengingatkan saat ia harus sholat. Kami akan turun di masjid dan saya akan menunggunya sampai selesai.

Saya bahkan menganjurkannya Sholat Tahajud saat ia sedang putus asa karena belum mendapatkan jodoh yang baik.

Namun, tiba-tiba saja hubungan kami seketika menjadi renggang saat saya mendapati ia bersyukur akan seorang teman Hindunya yang memutuskan masuk Islam. Saya sangat kaget dan merasa terancam akan sikapnya.

Saya bukan mempermasalahkan keputusan teman Hindunya yang pindah agama. Namun, saya cukup terganggu saat ia menyatakan rasa syukurnya terhadap hal ini.

Teman baik saya memang bukan orang yang mempengaruhi teman Hindunya untuk masuk Islam. Tapi, sikap girangnya membuat saya tiba-tiba merasa tidak aman. Apalagi saat menyadari dalam ajaran agamanya disebutkan bahwa jika mereka bisa membawa umat agama lain untuk masuk Islam, mereka akan mendapatkan pahala.

Saya tidak akan mengingkari bahwa saya menjadi sangat paranoid dengan asumsi-asumsi di kepala saya. Bahwa dengan melihat sikapnya tersebut, bisa saja diam-diam ia sebenarnya mendukung gerakan partai-partai Islam fanatik yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Paranoid ini terutama saat ayah saya mengatakan bahwa ayah teman saya pernah mengeluh kecewa dan frustrasi saat melihat masih ada banyak umat seagamanya ditindas di manapun mereka berada.

Saat saya merefleksi lebih jauh, rasa terganggu ini sebenarnyakarena sikap girangnya tidak ditekankan pada bagaimana ia bisa menjamin bahwa dengan berpindah agama, temannya akan bisa menjadi orang yang lebih baik, tetapi lebih pada bagaimana dengan menambah jumlah populasi sedikit demi sedikit, umatnya akan memiliki kekuasaan lebih besar.

Dengan dua pengalaman ini, saya yang semula sering mewanti-wanti wanita dari ras manapun sebelum mereka menikah dengan pria Hindu, jadi berempati saat ada wanita Hindu yang menyerukan Tut De agar mengajak Nikita menjadi Hindu. Bukan karena saya merasa agama saya lebih baik dari Islam tetapi karena saya pun merasa makin tertindas menjadi kaum minoritas dengan jumlah anggota yang jauh lebih kecil. Akibatnya saya sering harus mengelus dada atau mengunci rapat-rapat mulut saya saat agama saya dihina oleh karena ketakutan dan kekhawatiran akan adanya konflik antar umat beragama.

Saya menikmati harum aroma dupa yang melengkapi canang-canang dengan bunga ditata cantik dan suasana pura terutama di daerah yang sunyi dan hening. Namun, saya bukanlah seseorang yang secara rutin dan konsisten melakukan ritual-ritual Hindu seperti kebanyakan masyarakat Hindu Bali.

Di Bali, para pemuka agama dan bahkan kitab suci Weda tidak pernah mengajarkan saya merekrut umat lain agar menjadi Hindu kecuali calon suami asing yang berbeda agama. Juga ada usaha optimal dari kebanyakan umat Hindu untuk menjaga perdamaian antar sesama umat beragama. Dua hal itu tidak bisa dipungkiri sangat penting dalam menunjang dan memiliki pengaruh besar terhadap sumber mata pencaharian kami secara signifikan.

Namun, saya juga tidak bisa memungkiri sekaligus menyayangkan sikap-sikap umat Hindu yang bersikap ekstrim. Sikap itu berpotensi menimbulkan konflik-konflik walaupun saat ini masih dalam skala kecil.

Contoh-contohnya adalah sebagai berikut:

Beberapa bulan lalu, masyarakat Bali dihebohkan dengan rencana pariwisata syariah yang dipelopori seorang tokoh Islam. Saya sudah menduga bahwa wacana ini akan menimbulkan polemik dan bahkan penolakan besar-besaran. Kita bisa melihat bagaimana sikap antipati dan ketidakpercayaan kebanyakan masyarakat Bali walaupun kami selalu menekankan pada toleransi.

Jujur saja, saya bisa membayangkan dan memahami ketakutan maupun kekhawatiran mereka. Sebab, kebanyakan contoh implementasi hukum Syariah yang mereka baca di media massa dan saksikan di televisi menggunakan cara-cara ekstrim seperti di Aceh atau di negara-negara Timur Tengah. Kekerasan fisik menjadi upaya mendisiplinkan umatnya.

Di sisi lain, reaksi kaum mayoritas Muslim lain yang mengklaim moderat di daerah lain di Indonesia sangatlah pasif. Sikap ini sangat berbeda jauh dibandingkan saat Nabi Muhammad dilecehkan oleh beberapa orang dari negara-negara Barat.

Kekhawatiran itu bisa juga karena merasa terganggu akibat kecenderungan banyak umat Muslim yang akan berusaha mempengaruhi umat lain untuk masuk Islam. Bukan hanya untuk pahala tetapi juga untuk memperluas kekuasaan.

Akan tetapi yang saya sayangkan adalah bagimana komunitas kami ini seperti langsung menutup diri pada diskusi untuk mengerti bagaimana Syariah itu sebenarnya.

Awalnya, saya pun langsung menunjukkan sikap sama seperti umat Hindu lainnya. Akan tetapi saya ingat pada saat ke Kuala Lumpur Malaysia, saya cukup kaget. Negara ini menerapkan hukum Syariah namun membiarkan orang-orang China menjual daging babi, mengizinkan umat Hindu dari India memiliki pura dan bersembahyang, dan bahkan banyak wanita yang mengenakan pakaian terbuka di tempat-tempat umum. Malaysia tidak menjalankan aturan-aturan ultra konservatif seperti di negara-negara di Timur Tengah.

Kemudian, saya juga berpikir tentang mengapa mereka memutuskan untuk menggunakan hukuman fisik seekstrim itu?

Kita lihat walaupun ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan hukuman penjara, koruptor tetap saja merajalela dan merugikan negara. Begitu juga narkoba yang beberapa jenisnya bisa merusak mental masyarakat kita jika disalahgunakan.

Dalam Syariah saya baca ada aturan hukum bernama Hadd di mana seorang pencuri akan diamputasi tangannya. Saya yakin banyak orang bahkan di Bali sekalipun yang setuju jika koruptor dihukum mati untuk memberikan efek jera seperti di negara-negara lain.

Kemudian dari observasi saya, di Bali banyak kasus perselingkuhan yang dalam Syariah akan dihukum cambuk. Di negara Barat, banyak konseling pernikahan. Sementara di Bali, ada contoh seorang anak pedagang canang yang sampai meminjam uang puluhan juta untuk membuat banten dan caru agar ayahnya berhenti menjual semua harta warisan yang dia gunakan untuk berfoya-foya dan dibagikan kepada para wanita simpanannya. Sampai sekarang walaupun telah bercerai dengan Ibunya, ayahnya masih saja bersikap demikian.

Sekarang kita sudah melihat bahwa pendekatan secara Hindu tidak selalu ampuh mengatasi masalah ini. Kita juga tidak memiliki laporan statistik akurat yang menggambarkan efektivitas pendekatan Syariah atau negara barat yang baru-baru ini digemparkan dengan bocornya nama-nama anggota Ashley Madison, website untuk mencari pasangan berselingkuh, termasuk beberapa pejabat negara, yang telah merenggut beberapa nyawa akibat bunuh diri karena merasa dipermalukan.

Atau bagaimana dengan otoritas banjar adat yang menggunakan intimidasi dan ancaman untuk menelantarkan mayat jika anggotanya, terutama yang merantau, tidak berpartisipasi secara aktif? Pihak banjar  adat sedang mengusahakan keadilan dan menuntut komitmen sama seperti anggota banjar lainnya yang tinggal di desa. Mereka juga khawatir semakin jarangnya keterlibatan anggota akan membuat banjar adat tercerai berai.

Ancaman dan intimidasi ini memang tidak menggunakan kekerasan fisik tetapi emosional.

Ada lagi contoh lain, para laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki untuk meneruskan keturunan. Mereka khawatir akan sendirian saat tua dan tidak ada yang merawat karena anak perempuannya sudah menikah dan tidak mendapatkan sentana. Mereka kemudian meminta istri pertamanya untuk menerima bahwa ia akan meminta madu agar memiliki anak laki-laki.

Ada wanita yang dengan ikhlas menerima hal ini. Tetapi ada yang menderita karena harus berbagi suami dan bahkan tidak selalu diperlakukan dengan adil karena tidak mampu memiliki anak.

Terakhir adalah bagaimana di Sad Ripu diatur untuk tidak mabuk yang lazim karena alkohol. Akan tetapi atas nama kelangsungan ekonomi kita, kita berkompromi dan melanggar ajaran ini.

Saya merasa dari contoh di atas seharusnya kita bisa bersikap terbuka dan kritis sebelum menolak sebuah ide. Kita harus memastikan bahwa mereka akan menghormati jika kita tidak ikut-ikutan menjalankan aturan hukum tersebut. Karena menurut saya, sikap orang Bali yang menolak hukum Syariah mentah-mentah telah gagal mempraktikkan toleransi karena mereka tidak menghormati cara-cara agama Muslim untuk menerapkan aturan yang dianggap efektif bagi umat mereka.

Penolakan terhadap ajaran-ajaran Syariah yang sarat akan kekerasan ini sebenarnya cukup munafik di mata saya. Terutama jika opini ini dilontarkan oleh siapapun yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ormas-ormas seperti Laskar Bali yang sudah melanggar ajaran Ahimsa dalam Hindu.  Walaupun ajaran ini juga tidak selalu terbukti ampuh meminimalisasi tindakan para pelakunya jika dibandingkan dengan ancaman tuntutan hukum dan penjara yang juga terjadi di India.

Saya pun lalu memutuskan untuk mengevaluasi sikap saya yang awalnya langsung pasang badan seperti yang dilakukan kebanyakan umat Hindu oleh karena sebuah pengalaman di bawah ini.

Ada dua teman Muslim saya yang berasal dari Semarang dan Mojokerto yang menerima penilaian-penilaian negatif dan menyakitkan. Anggota keluarga dan tetangganya berasumsi semua wanita Islam Jawa yang ke Bali bekerja sebagai pelacur. Mereka bahkan menganggap Bali ini tempat maksiat.

Teman dari Mojokerto bahkan dilarang keras masuk restoran, bukan hanya bar. Ada asumsi bahwa semua orang sedang mesum di restoran-restoran di Bali.

Karena terganggu dengan asumsi tersebut, saya merogoh kocek saya hingga ratusan ribu untuk mengajak teman saya masuk ke berbagai jenis restoran dari Ryoshi Seminyak, La Favela, hingga Metis. Ia bisa melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Dia bahkan memutuskan mencoba alkohol jenis bir dan ternyata sangat menyukainya.

Walaupun memang benar banyak orang Jawa ke sini untuk menjadi prostitusi, saya tidak bisa memungkiri bahwa saya sangat terluka sekali dengan asumsi-asumsi ini. Tetapi akhirnya saya menyadari bahwa letak masalahnya ada pada orang–orang Jawa yang tidak berpendidikan, yang wawasannya sempit dan hanya mengandalkan segelintir informasi yang mereka miliki. Mereka tidak melihat banyaknya wanita Jawa yang bekerja halal seperti dagang jamu, dagang sate ayam, dan dagang lalapan yang saya kenal.

Memang dalam kasus teman saya, saya merasa ada faktor kekhawatiran seorang Ibu yang takut anaknya terjerumus dan tidak bisa menjaga diri, seperti yang dilakukan oleh Ibu saya. Tapi terkadang saya juga merasa bahwa sebenarnya orang-orang tersebut iri dengan lebih banyaknya kebebasan yang orang-orang tersebut bisa dapatkan di Bali.

Saya tidak ingin orang Bali bersikap seperti orang-orang berwawasan sempit ini. Tidak membuka diri pada diskusi karena asumsi dari secuil informasi yang kita dapat dan bukan menggunakan kesempatan diskusi tersebut untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan dan saksikan selama ini di lapangan sehingga kaum Muslim juga bisa memahami kekhawatiran kita.

Saya pernah berbicara dengan seorang pegawai salon seorang perempuan Muslim. Dia mengatakan ada beberapa orang Hindu yang menolak untuk dikeramas jika staf tersebut sedang menstruasi. Pegawai lain mengatakan bahwa ia dilarang sholat oleh pemilik ruko karena hal itu dianggap akan bentrok dengan penunggu tanah lokasi bangunan salon tersebut.

Saya kaget dan kecewa mendengar pengakuan ini. Jujur saya saya tidak pernah diajarkan tentang hal ini oleh orang tua, guru agama Hindu, atau pemuka agama. Saya tidak yakin seorang pegawai salon yang ingin sholat karena menginginkan ketenangan akan mengganggu kecuali jika dia mengenakan susuk atau membawa pelaris dengan ilmu hitam.

Saya melihat kasus-kasus di mana pekerja Bali yang kewalahan menghadapi banyaknya saingan baik dari pulau lain di Indonesia dan juga negara asing legal ataupun ilegal apalagi ditambah dengan anggota negara-negara ASEAN yang saat MEA diberlakukan.

Kebanyakan para penyedia lapangan kerja asing menyukai karakter orang Bali yang memang cocok untuk pariwisata. Di mana kebanyakan dari mereka bisa menghormati gaya hidup berbeda walaupun mereka tidak selalu sependapat. Kebanyakan juga menghindari konflik dan konfrontasi dengan nada-nada tinggi kecuali jika sudah sangat terdesak dan batasan-batasan mereka dilangkahi.

Namun, banyak juga teman-teman expat saya yang mengeluhkan tentang ekspektasi pekerja Bali yang meminta diberikan gaji sama dengan pekerja dari pulau lain ataupun negara lain sementara permintaan libur untuk memenuhi kewajiban adat yang dari sisi bisnis dianggap cukup merugikan jauh lebih tinggi.

Di satu sisi, saya mengerti bahwa banyak umat Hindu merasa tidak berdaya dengan intimidasi dan sanksi otoritas banjar adat yang menuntut kehadiran dan donasi finansial sehingga mereka memilih untuk mencari aman. Namun, saya juga mengerti prioritas para pengusaha untuk meningkatkan efisiensi dan meraup keuntungan serta tuntutan pasar yang penting untuk kelangsungan hidup mereka.

Nah, ada beberapa yang saya amati saat merasa terancam dengan persaingan ini. Karena kurangnya kecerdasan secara emosional dan kemampuan berkomunikasi, mereka meluapkan rasa frustrasi mereka dengan ungkapan-ungkapan bernada rasis, seperti, “Dasar jelema Jawa.”

Sekarang, saya ingin membandingkan dengan tindakan-tindakan ektremis kaum Muslim yang bagi saya cukup mengkhawatirkan.

Seorang teman dari Semarang yang berprofesi sebagai baby sitter di Australia memutuskan untuk memindahkan anak perempuannya dari sekolah Madrasah karena para gurunya mengajarkan bahwa orang-orang yang beragama bukan Muslim adalah kafir.

Beberapa tokoh dari partai-partai Islam dengan gegabahnya mengatakan bahwa Indonesia menolak hubungan diplomatis dengan Israel. Mereka juga menyerukan antisemitisme. Sementara, saya sebagai anggota kaum minoritas tidak pernah ditanya langsung pendapatnya ataupun mendengar pemuka agama atau petinggi pemerintahan kami secara formal dan terbuka menyetujui tindakan ini. Saya memang anti penjajahan dan saya yakin seluruh masyarakat Bali juga menyetujui hal ini. Akan tetapi kami juga berhak mendengarkan langsung versi cerita Israel, alasan dan motivasi serta perjuangan mereka dan bukan hanya cerita yang sepihak yang dirangkum oleh kaum Muslim di Indonesia.

Kebanyakan teman Muslim yang saya ajak berdiskusi cukup kaget dan menatap sinis saat saya mengemukakan keinginan saya untuk memiliki seorang Presiden Indonesia yang beragama Hindu. Saya mengerti jika umat muslim tidak terbiasa dengan ide-ide yang tidak umum. Tapi, apa gunanya kita mendengung-dengungkan demokrasi jika agama dan bukan profesionalitas dan performa kerja yang dianggap sebagai ukuran penentu seorang Presiden.

Seorang penulis Islam berhijab Indonesia bernama Laitul Fitriyah, lulusan Universitas Notre Dame di Indiana Amerika Serikat dalam artikelnya di Jakarta Post, edisi Minggu 9 April 2016 dengan judul, “How did we come to religiously embrace violence” mengatakan bahwa pada Desember 2014, sebuah studi melaporkan di universitas-universitas ternama di Indonesia, 1 dari 5 mahasiswanya sudah diradikalisasi dan mereka tidak mengutuk kejadian Bom Bali.

Ia juga melihat bagaimana radikalisasi disisipkan dalam budaya pop culture memalui televisi maupun buku anak anak. Cara-cara yang digunakan adalah dengan bagaimana jika anak-anak ini membeli produk-produk dengan nuansa Syariah,mereka akan dianggap istimewa dan ditinggikan sehingga mereka pun akhirnya menghakimi orang-orang yang tidak menjalankan gaya hidup ini.

Di sini saya harus mengakui bahwa kedua umat beragama memiliki kelemahan yang sama-sama bisa berpotensi mengundang konflik jika terus dibiarkan dan saya sangat khawatir jika kita tidak bertindak, kita akan terlambat.

Hasil dari rasa frustrasi akibat ekstremisme ini adalah Arya Wedha.

Arya Wedha adalahtokoh Hindu berpendidikan yang menantang supremasi Islam. Opini-opininya menggambarkan rasa antusiasme dalam menunjukkan kekecewaan, rasa frustrasi dan putus asa untuk menuntut keadilan. Dia juga haus akan kekuasaan. Saya bisa merasakan kemarahan-kemarahan yang terpendam untuk dianggap, didengarkan, divalidasi, dan diakui.

Saya bisa memahami kekhawatirannya serta bagaimana hal inipun mendorong sikapnya yang ekstrim.

Akan tetapi di saat yang sama, saya berasumsi bahwa mengingat dirinya adalah laki-laki yang menggunakan pendekatan-pendekatan maskulin di mana mengekpresikan perasaan akan dianggap sebagai kelemahan, dan yang di mata saya menjadikan cara penyampaiannya sering terkesan agresif, saya jadi mempertanyakan apakah kepemimpinannya akan menciptakan suasana yang kondusif.

Sebagai orang Hindu yang sedang berusaha mengimplementasikan Dharma, saya hanya ingin opini saya didengarkan, kekhawatiran saya dimengerti dan dipertimbangan, serta sikap protektif saya terhadap tanah kelahiran saya dimengerti.

Saya tidak haus akan jumlah populasi yang besar karena saya tidak bisa menjamin bahwa jika hal itu terjadi, kami akan mampu bersikap lebih baik dan tidak menyalahgunakan kekuasaan kami.

Di bawah ini adalah solusi-solusi yang menurut saya cukup adil dalam mencegah ekstrimisme kedua agama dan untuk pulau saya.

Pulau Bali sudah mengalami tragedi bom berdarah dua kali. Kemarahan saya terhadap para pelaku sama besarnya dengan kemarahan saya terhadap diri sendiri dan komunitas kami yang lengah dan membiarkan hal ini terjadi hingga dua kali.

Setiap saya melihat berita tentang pengeboman di Perancis, Belgia, dan Amerika Serikat, saya seperti sedang menunggu giliran kami. Dengan keterbatasan kita akan teknologi walaupun kita sudah didukung oleh pemerintah Australia, saya tidak merasa tenang.

Saya tidak masalah hidup berampingan dengan orang-orang dengan agama dan ras berbeda. Akan tetapi saya tidak bisa memungkiri bahwa pulau kami ini kecil. Kami juga bukan Pulau Weh yang luas dan memiliki reservasi minyak yang bisa digunakan hingga 350 tahun sehingga mereka santai saja mengandalkan wisata diving dan tidak mengandalkan pendapatan dari alkohol seperti kami. Mereka bahkan bisa melarang diskotek. Saya merasa pulau ini terlalu sesak.

Bali juga memberlakukan izin kerja bagi orang asing yang keahliannya sama pentingnya dengan apa yang bisa ditawarkan oleh orang-orang pulau lain di Indonesia. Tetapi, bedanya adalah orang-orang dari provisi lain di Indonesia bebas datang dan pergi. Mereka hanya diwajibkan memiliki Kipem dan tidak usah memiliki izin bekerja karena kita berasal dari negara yang sama. Sementara kontribusi orang asing dalam mendatangkan kesempatan atau masih lebih tinggi kerja sama jika dibandingkan dengan orang dari provinsi lain.

Kalaupun memang kontribusi mereka sama, aturan terhadap warga asing jauh lebih ketat dan bagi saya ini sama saja dengan diskriminasi ras.

Jujur saja, saya ingin memberlakukan visa kerja bagi siapapun orang luar dan bukan saja orang asing untuk mengurangi jumlah penduduk dan untuk memastikan bahwa orang-orang yang bekerja dan hidup di Bali adalah orang-orang dengan kualitas yang terpilih dan diberlakukan kuota yang adil untuk setiap jenis usaha atau jenis pekerjaan.

Atau misalnya diberikan pada orang-orang yang bisa membeli sebuah rumah dengan budget minimal seperti yang diberlakukan terhadap orang asing.

Saya tidak berharap jika masyarakat Bali diprioritaskan jika mereka memang tidak terbukti bisa menunjukkan kualitas dan etos kerja yang lebih baik. Tetapi perlu ada pembatasan kuantitas yang jelas terhadap jumlah pendatang yang tinggal dan bekerja di Bali.

Dengan kontribusi tinggi yang kita sumbangkan terhadap devisa negara, seharusnya kita bisa meminta otonomi lebih besar yang menyesuaikan dengan kebutuhan daerah kita.

Saya juga berharap aturan deportasi pun bukan hanya diberlakukan pada orang asing yang bekerja secara ilegal tetapi juga penganut agama lain yang terbukti menghina secara lisan dan tulisan online dan offline dan tidak diizinkan masuk Bali.

Terakhir, mengingat Bali adalah sebuah pulau yang sangat rentan akan serangan terorisme, saya ingin pemerintah Bali melakukan sidak terhadap sekolah sekolah agama apapun yang melakukan radikalisasi terhadap generasi mudanya yang berpotensi menumbuhkan terorisme.

Orang Bali walaupun dengan filosofi Ahimsa dan Tri Hita Karana memiliki potensi untuk mengganggu keamanan dan bahkan merusak lingkungan di pulaunya sendiri. Dengan jumlah pendatang yang tinggal di sini baik dari negara asing atau provinsi lain di Indonesia, masalah pun menjadi lebih kompleks sementara pulau ini tidak berukuran besar.

Sekali lagi, saya menekankan bahwa saya hanya ingin pemerintah Bali secara aktif menyaring orang-orang yang tinggal dan bekerja di Bali. Bukan hanya menunggu karma tetapi di belakang layar membicarakan hal ini dengan penuh rasa frustrasi, kemarahan, dan kepahitan karena ini hak kita.

Apakah saya bisa dikatakan ekstrimis?

Saya merasa terdesak dan khawatir akan terjadi efek-efek negatif jangka panjang jika kita tidak mengambil langkah-langkah pencegahan. Jadi bisa saja.

Saya juga bisa menerima jika aturan ini diterapkan di daerah lain bagi orang Bali sebelum mereka memutuskan untuk tinggal dan bekerja di sana. [b]

The post Ekstrimisme Islam vs Ekstrimisme Hindu appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *