Disatu partitur ditepi hati

My Dearly October, Pradnya Diputra

Jogja indah taman hati. Setengah sebelas malam. Saya menekan tuts-tuts itu satu-satu, pelan-pelan menyesap dentingnya setengah melamun. Seraya mencoba memilah dan mengeja, rasa apa ini yang tengah bergelayut manja disetiap lapisan hati. Rasa itu ganjil, seperti patah hati tapi baik-baik saja. Sedih yang diikuti keiklashan. Sesak yang dipeluk rasa sabar. Membingungkan. Kadang, kelopak mata saya menghangat dengan sendirinya tak kenal waktu dan tempat, diikuti kerongkongan tercekat, nafas tertahan dan tahu-tahu saya sudah duduk didepan cermin melihat airmata menganak sungai diwajah saya. Itu kebiasaan saya, menangis didepan cermin, karena wajah saya jadi terlihat cukup lucu untuk ditertawakan saat saya sedang menangis. Jadilah saya tak berlama-lama dititik itu.

Rasanya seperti baru kemarin, laki laki itu ada begitu dekat mengajak saya belajar bagaimana caranya mengetik dengan mengaktifkan semua jemari tangan. Mengajari saya memetakan pikiran, memenuhi laptop saya dengan banyak file musik dan film yang cantik, menemani saya sepanjang akhir minggu. Dan hati terasa menjadi semakin terhimpit, ketika satu persatu kenangan itu bangun dari lelapnya. Disaat-saat seperti itu ingin rasanya saya tak diberkahi ingatan fotografi yang kuat, juga tak diberkahi kemampuan menulis serta kesetiaan hati merekam kenangan.

Keesokan paginya, selewat Shubuh saya memutuskan lari pagi di Graha Sabha, tak jauh track yang saya lakoni, hanya lima kilometer selama hampir 45 menit. Pikiran dan rasa yang melompat lompat membuat saya hilang kesadaran terhadap kondisi fisik, tak sedikitpun saya merasa lelah dan tersengal. Hingga akhirnya saya berhenti, barulah saya menyadari jika saya berlari cukup jauh dan lama sekali. Dibawah taburan hangat sinar matahari saya menghentikan stopwatch yang masih berjalan, mengganti musik diplaylist dan melihat kembali pesan singkat terakhirnya. Diantara banyak kata, satu baris katanya kembali membuat kelopak mata saya menghangat, kali ini karena tersentuh rasa yang berbeda…

..Someone who loves another would do the best things they could do..

Pagi, pesan singkat, nafas tersengal dan sinar mentari nan hangat itu menemani saya menyadari jika pesan singkat itu merupakan titah termanis setelah sekian lama kami bersama. Kami pernah menjalani hari bersama dengan saling berlomba menjadi yang terbaik untuk satu yang lainnya tanpa pernah menyadarinya. Tahun-tahun terbaik yang menyenangkan dan hanya terasa begitu singkat diakhirnya. Oh mungkin saya tak akan pernah bisa lupa hari-hari saat kami dengan begitu lucunya belajar bahasa asing atau saat kami berkejaraan menuju Periplus demi mendapatkan satu buku yang sama, DK London :’) . Ya, kami pernah larut saling menyayangi dengan begitu cantiknya, tanpa pernah kami sadari.

Anyway, seasons are changing, so are we. Sad but true. Dan jika hari ini ia memilih jalan yang berbeda dan membuat kami tak lagi bersama, itu merupakan pilihan & bukan akhir dari segalanya. Justru sebaliknya. Bukankah akhir itu juga merupakan sebuah awal?. Pagi itu hati saya dijalari rasa syukur karena diberkahi rasa luar biasa bernama keiklashan dan penerimaan. Inilah giliran saya, belajar memahami dan mengeja rasa baru, menjalani pesan singkat terakhirnya dengan ataupun tanpa dirinya…

Cinta yang benar itu bukan diawal, tapi disuatu masa, ketika semua terasa seperti sebuah akhir :’)

And here is my heart, walking on its best, masih berkelip dipenuhi taburan cinta nan hangat. Di hidup yang begini indah adanya, masih banjir gelak tawa, sapa hangat dan peluk sayang. There’s no song that is not over. Semanis apapun partitur berdenting, ia pasti memiliki akhir, itu hanya agar kamu bisa menikmati partitur selanjutnya, kembali saya teringat kata-katanya… tak ada yang abadi dalam hidup ini selain perubahan Dear. Diwaktu ini saya menjawab… That’s true Dear, jangan lupa banyak minum air putih would you? :’)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *