Corona dan Cerita Kami yang di Desa

Petani masih sibuk di sawah di tengah ancaman pandemi COVID-19. Foto Wayan Martino.

Tak semua di antara kita dapat menulis tagar #dirumahsaja.

“Karena adanya wabah Corona, kita sekarang hanya di rumah dengan keluarga, menghadirkan kebersamaan. Kebersamaan menanggung masalah yang sama, minggu-minggu tanpa pemasukan.” Begitu unggahan Facebook seorang kawan.

Saya membacanya pagi-pagi buta sembari mengedip-ngedipkan mata melihat layar gawai lalu bergegas bangun tidur.

Kemudian masih banyak lagi beranda Facebook saya dipenuhi dengan berita soal Covid-19 yang dibagikan secara acak. Ada soal harapan. Ada pula soal rasa pesimis akan penularan wabah yang terus betambah.

Ada teman-teman sejawat yang secara kreatif memposting kegiatannya selama diam di rumah. Mereka berkampanye menggunakan tanda tagar #dirumahsaja, kemudian diteruskan secara berantai oleh yang lainnya.

Lalu ada pula soal anggota DPRD dalam bangga mengatakan dirinya adalah garda terdepan melawan virus sehingga harus di mendapat tes perdana. Tentang berita duka dari 25 pekerja medis yang meninggal karena merawat pasien Covid-19. Juga soal satu desa yang menolak jenazah positif Covid-19 saat mau dimakamkan.

Semuanya soal virus corona.

Petugas melakukan penyemprotan disinfektan untuk mencegah penularan virus corona. Foto Anton Muhajir.

Curhatan Tetangga

Namun, di luar kabar itu semua, yang paling menarik perhatian saya adalah soal curhatan para tetangga, ibu-ibu PKK Banjar dan Bapak-bapak paruh baya di desa. Mereka selalu jujur dan buka-bukaan soal situasi. Tentu tanpa ada muatan politik seperti anggota-anggota dewan kita.

Purnama di bulan April ini, Purnama Kedasa akan berlangsung upacara piodalan di Pura Dalem. Biasanya di tahun-tahun sebelumnya akan selalu ramai. Oleh segala usia dan semua status sosial.

Pura Dalem biasanya paling banyak orang yang bersembahyang (pemedek)-nya. Bisa sampai ribuan penangkil setiap harinya. Dudonan (susunan) upacara berlangsung selama empat hari.

Namun, piodalan kali ini akan berbeda. Waktu dan penangkil-nya dibagi per kelompok. Setiap giliran ngayah, pengayah-nya dibatasi hanya sepuluh orang.

Hal ini tentu disambut banyak pendapat. Mereka yang tidak setuju berpendapat bahwa niat baik meyadnya seharusnya tidak dibatasi. Toh, tujuannya adalah untuk mendoakan bumi ini rahayu tanpa bencana.

Mereka yang berpendapat seperti ini adalah golongan orang-orang yang paling rajin perihal upacara. Mereka pula yang taat dan selalu ada di garda terdepan saat ngayah. Juga paling mengerti soal upacara.

“Bagaimana kita bisa terus diam di rumah, sementara kebutuhan sehari-hari tak bisa didiamkan begitu saja,” ungkap Pak Made. Mantan peternak babi ini tak pernah menonton berita sejak munculnya wabah Covid-19.

Lalu, sambil melilit sate, warga lain menimpali dengan cepat. Mengatakan bahwa sudah ada kabar dari pemerintah bahwa akan ada tunjangan sembako segera. Juga biaya listrik akan mendapat keringanan.

Pak Made melanjutkan mengeluarkan isi curhatannya. “Pemerintah itu seperti polisi India, datangnya selalu terlambat. Mengapa tidak dari sebelum-sebelumnya. Corona harusnya bisa dicegah,” ujarnya.

“Sudah sebulan sepi tak ada bantuan apa-apa datang, kecuali mobil dengan toa berkeliling di jalan setiap hari,” lanjut Pak Made.

Dialah yang paling kritis di antara kami bertujuh yang sedang ngayah. Sebelumnya Ia juga bersikap sama, antipati sama pemerintah. Dia punya alasan sendiri, belasan anak babinya mati. Sampai saat ini dia belum mendapat solusi dan mengetahui penyebabnya.

Hampir semua peternak babi di desa merasakan hal sama. Harus rela kehilangan salah satu sumber nafkahnya.

Pemerintah itu seperti polisi India, datangnya selalu terlambat. Mengapa tidak dari sebelum-sebelumnya. Corona harusnya bisa dicegah.

Pak Made

Melanggar Imbauan

Obrolan di tengah lingkaran tumpukan sate yang dililit ini memang menarik. Semua bisa saling mengeluarkan pendapat. Tak ada hambatan strata dan status sosial. Walaupun memang meski sedikit melanggar imbauan pemerintah soal social distancing yang jaraknya tak bisa dihindari hanya setengah meter.

Lalu, ada dua pengayah mencurahkan keluhannya karena harus dirumahkan dari pekerjaannya. Satunya bekerja di hotel dan satunya lagi bekerja di restoran. Pekerja hotel sedang berpikir keras mencari cara untuk melanjutkan cicilan sepeda motor Yamaha Nmax di dealer, yang tak mendapat keringanan.

Lalu yang berhenti jadi koki di restoran sedang dalam dilema antara beralih profesi petani atau menjual sawahnya. Sebab, selama ini sawahnya tak ada yang menggarap, hanya ditanami anak pohon albesia yang kurus kering. Sebagian telah mati tak terurus setelah sekali panen.

Di antara kami para pengayah, selalu saja ada yang bijak menjawab. Dia terlihat paling tua dengan rambut dan brewok panjang. Namanya Pak Mangku, Ia bukan seorang pemangku di Pura manapun. Namun, hanya karena senang sembahyang di berbagai pura saat tengah malam sehingga disebut Mangku oleh orang-orang.

Ia mengatakan, “Kita semua, mendapat masalah sama. Tidak hanya di sini, bahkan di seluruh penjuru dunia.”

“Konon menurut berita, kasus yang paling banyak justru ada di negara maju, Amerika. Bahkan di negara yang ada Avengers-nya pun Corona bisa menyerang begitu dahsyat apalagi di negara kita yang hanya ada Si Buta dari Gua Hantu dan Wiro Sableng,” lanjutnya lalu tertawa.

Dengan lebih antusias Mangku melanjutkan. “Sebaiknya kita mulai dari diri sendiri, percuma menunggu pemerintah. Lakukan anjuran kesehatan dengan baik, agar corona tidak menyebar. Makanya pakai masker!”

Sambil dengan bangga dia memberi kode agar orang-orang melihat masker yang dia kenakan. Memang di antara kami hanya dia seorang yang memakai masker.

Pak Made pun tak mau kalah. Ia masih saja meyoalkan yadnya yang pemedeknya dibatasi. “Itu pemerintah, kita yang di Bali tak diizinkan meyadnya, tapi orang-orang dari Jawa dibiarkan masuk ke Gilimanuk!”

Kemudian dijawab oleh seorang yang sedang menyiapkan api untuk memanggang sate. “Kalau tak ada orang Jawa, kamu di mana bisa beli nomor!”.

Obrolan seketika berganti topik, dari virus corona beralih ke peruntungan jual beli nomor.

Kami pun menyelesaikan ayahan di pura pagi ini dalam obrolan yang tema utamanya corona dan nomor. Semenjak munculnya imbauan agar menghindari keramaian dan perkumpulan, judi nomor menjadi topik para lelaki yang paling sering dibicarakan. Sebab, tajen (sabung ayam) sudah tidak diperbolehkan sama sekali.

Mirip seperti peralihan pertemuan fisik menjadi obrolan video call conference yang hanya menggunakan gawai. Nomor pun bisa dibeli tanpa harus bertemu, cukup dengan pesan WhatsApp.

Pada pukul tujuh kami balik ke rumah masing-masing. Tumben bisa menyelesaikan ayahan begitu pagi. Semenjak ada imbauan pemerintah, jam ayahan pun dibuat terbatas dan sepagi-paginya. Namun, bagusnya ada kesempatan saya untuk olahraga pagi. Berolahraga di tempat biasa. Di jalanan di pinggir sawah yang sepi tanpa lalu-lalang kendaraan bermotor.

Imbauan menjaga jarak untuk mencegah penularan virus corona di Denpasar. Foto Anton Muhajir.

Situasi Berubah

Selepas pulang dari pasar, Ibu saya mengeluh dan seperti ngomong pada dirinya sendiri. Katanya sekarang bahan makanan susah dicari. Kadang harganya melonjak mahal. Lagi satu, katanya, dia sekarang menghabiskan banyak waktu di pasar. Sebab, semua pedagang memakai masker jadi butuh waktu menemukan dagang langganannya.

Dan, seperti biasa, saya tak mengubris keluhannya, dan lanjut pergi.

Sampai di jalan di tempat biasa sebagai arena kami untuk jogging, situasinya pun berubah. Sekarang jauh lebih banyak orang. Sebagian besar anak-anak muda. Laki maupun perempuan, baik mereka dari anak sekolahan atau para pekerja yang dirumahkan. Meski ramai tapi saya tak bisa menatap jelas wajah-wajah penuh keringat mereka. Sebagian besar memakai masker.

Seperti biasa saya selalu saja bertegur sapa dengan mereka yang sudah ada di sana sebelum para pelari kecil datang, adalah bapak-bapak petani. Selalu saya perhatian guratan wajah juga badannya yang nampak kekar dan mengilat di bawah mentari. Rasanya pikiran dan tubuh mereka tak gentar oleh corona dan virus apapun. Olahraga dan berjemur setiap hari.

Namun, kali ini berbeda. Mereka nampak bingung saat saya tanya soal kabar garapan padi yang siap panen. Katanya sejak adanya berita corona ini mereka kesusahan mencari teman penggarap lain. Pada bulan-bulan sebelumnya baik saat menandur atau panen, selalu mendapat bantuan tenaga oleh saudara-saudara penggarap dari Jawa dan Lombok.

Kini mereka harus saling menunggu satu sama lain karena di daerah sekitar para penggarap terbatas orangnya.

Kemudian saya membiarkan semua persoalan itu mengembang di udara, terbang bersama aroma tanah sawah. Tapi malah pikiran saya terhenti, saat mata tertuju pada kelompok pekerja keras yang tenggelam bersama padi-padi, berjemur dengan latar indahnya pegunungan.

Saat ini baru soal pembatasan akses dan imbauan untuk tetap rumah, sudah terjadi banyak persoalan. Bagaimana jika benar harus dikarantina (lockdown)?

Tentu dampaknya akan begitu terasa. Sebab, tidak semua bisa bertahan dalam kondisi diam saja. Juga tak semua di antara kita dapat menulis tagar #dirumahsaja, lalu mengunggahnya dalam perasaan aman di media sosial. [b]


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *