Bali Yang Binal, Berkesenian Bukanlah tentang Keindahan Saja

Waktu kuliah seni rupa di Bali, kesal rasanya jika yang dibicarakan adalah pencapaian estetika yang merupakan pencapaian keindahan melulu.

Tembok medium seksi untuk menyampaikan pesan karena posisinya strategis bagi publik. Foto Komunitas Pojok.

Pemaknaan Bali yang indah ala Mooi Indie (Indonesia yang molek) ala Belanda masih menjadi pencapaian terhebat.

Iya, itu penting, tapi seni beserta estetikanya saya yakini sebagai metode menyampaikan suatu isu-isu krusial sosial juga. Menemukan mural-mural di tembok yang mengkritik keadaan Bali pun tidak jarang, lalu kenapa kita tidak membahasnyal di kelas, dan malah isu sosial menjadi semacam tabu?

Misal, saat diberi tema melukis tentang ekonomi di studio lukis, saya melukis tentang korupsi dibanding teman-teman yang melukis tentang kemiskinan dengan pencapaian estetika maksimal. Dosenku bilang apa? “Kenapa harus tentang korupsi yang terlalu berat, ga bisa ngelukis kayak temanmu tentang kemiskinan.” Seriously, pak? Kemiskinan lebih indah dari korupsi, gitu?

Itu cerita 10 tahun yang lalu. Bagaimana hari ini? Di bangku kuliah saat ini, saya kurang tahu apakah ceritanya masih sama. Tapi di luar sana, saat kampanye Pemilu gencar beberapa bulan lalu, salah satu baliho kampanye seorang kandidat Bali adalah kata-kata “Restorasi Bali.” Hmmmmm… apa sih sebenarnya yang ingin direstorasi? Keindahan Bali demi kesehatan ekonomi pariwisatanya yang kian terkikis? Bali sudah kian banyak berubah, beradaptasi, berakulturasi, dan tereksploitasi.

Namun, juga bisa menjadi tempat berbenah, menjadi contoh yang baik untuk hal yang baik untuk bangsa kita. Misalnya kehadiran bank sampah plastik di setiap Banjar setiap minggu pagi, peraturan kota yang meniadakan penggunakan plastik di toko-toko dan restoran, sampai supir online pengantar makanan memiliki totebag sendiri.

Di Bali lah saya mengenal istilah Rwa Bhineda – bukan bermaksud spiritual, cuma ini satu konsep yang masih tidak bisa diterima banyak orang. Kenyataannya, dengan banyaknya informasi hari ini melalui berbagai sumber, baik dan buruk sangat berdekatan.

Di pemahaman Rwa Bhineda, bahwa ada dua sisi di segala hal dan kedua sisi itu harus seimbang, maka itulah satu pencapaian kehidupan yang patut dijalani. Jadi baik dan buruk memang sudah seharusnya berdampingan, dan aku rasa itu spirit yang diterapkan bahwa di saat kita merusak maka berbenah adalah penyeimbangnya.

Lalu di skena kesenian, Bali Yang Binal akan hadir untuk kedelapan kalinya. Baru ini saya baca bahwa perayaan kesenian yang Binal, mengkritik Biennale Seni di Indonesia tidaklah terjadi di Bali saja. Sudah pernah terjadi di Jawa, dimana ada perlawanan terhadap perlehatan Biennale yang hanya fokus dengan seni lukis saja.

Di Bali sendiri, Bali Yang Binal hadir untuk mengkritik kehadiran Bali Biennale pada tahun 2005 karena adanya keberpihakan terhadap perupa-perupa yang berpameran. Nama Bali Yang Binal memang menjadi parodi-nya Bali Biennale dan terdengar lebih menggelora.

Bali Yang Binal merupakan protes secara estetika dan menggunakan baliho serta tembok sebagai media untuk menggaungkan seni di ruang publik dengan mengangkat isu sosial sebagai temanya. Maka Bali Yang Binal saya lihat sebagai penyeimbang yang terus hadir untuk publik. Ini lho juga kesenian Bali, membahas isu sosial dan tidak melulu tentang keindahan.

Tema yang diangkat Bali Yang Binal ke-8 tahun ini adalah Energi Esok Hari. Satu hal yang sangat krusial dibicarakan belakangan ini. Keadaan Bali yang makin padat dan masih menjadi sumber pendapatan, dipermainkan menjadi tempat nyaman untuk pengusaha besar.

Tidak semua menolak keberadaan PLTU Celukan Bawang di Buleleng, satu contoh yang dibahas di Energi Esok Hari. Tapi penggunaan batubara sebagai sumber energi tidak bisa diperbaharui, asapnya tidak sehat untuk mahluk hidup dan melukai bumi pertiwi beserta warga sekitar sumbernya. Maka Bali Yang Binal akan menghadirkan hal krusial ini, yang cenderung tidak banyak dibicarakan.

Bali Yang Binal yang mengkritik keberadaan perlehatan seni Biennale di Bali akhirnya berlangsung lebih lama dari Biennale itu sendiri. Biennale tahun 2005 yang kemungkinan besar diadakan oleh pihak elit ternyata terjadi sekali saja. Apakah kehadiran Bali Biennale saat itu semata-mata kepentingan? Bali Yang Binal menjadi pengingat Bali bisa menjadi tempat berbenah, menjadi contoh baik untuk bangsa kita.

The post Bali Yang Binal, Berkesenian Bukanlah tentang Keindahan Saja appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *