Bali Telah Terjual. Tak Ada Sisa..

notforsale

Gerakan Bali Tolak Reklamasi dengan membawa poster Bali Not for Sale.

Bali Not For Sale. 

Setiap malam sepulang kerja, ketika melintas di area Batubulan, Gianyar, saya membaca sebuah jargon tertulis di dinding sebuah warung. Bukan jargon baru karena dia sudah didengungkan dari beberapa tahun lalu, tertancap di pematang sawah di Ubud.

Entah kenapa kalimat Bali Not For Sale yang tetulis di dinding dengan cat berwarna merah itu selalu saja tertangkap mata. Selalu saja saya kembali dan kembali membacanya. Sebenarnya ingin sekali mengabaikan kata-kata tersebut. Sayangnya, seperti cewek cantik, bertubuh seksi dengan bibir merah, kata itu-kata itu terlalu menarik untuk diabaikan.

Tapi pertanyaan mucul di kepala saya. Bali Not For Sale. Bali tidak untuk dijual. Sebenarnya apa lagi hal baru yang bisa dijual dari Bali? Bukankah semua sudah habis dijual dan yang masih dimiliki hanya nama besar tanpa tanggal kedaluwarsa?

Apa sebenarnya yang Bali miliki? Saya beusaha mencari-cari di tengah keterbatasan wawasan saya yang seukuran baskom. Wawasan seukuran baskom merupakan istilah Gubernur Bali yang saya dengar pertama kali dari dokumentasi video Made Mangku Pastika dalam debat terbuka reklamasi Teluk Benoa di Wiswasabha. Beberapa hari kemarin kembali saya baca kata-kata itu di tulisan War di Magic Ink.

Wawasan seukuran baskom juga yang membuat saya berpikir Bali memiliki pesona alam yang indah (pemandangan matahari terbit sampai terbenam, gunung vulkanik, danau, perbukitan, persawahan sampai sungai dan air terjun) budaya, keramahan, tradisi, kesenian, dan apa lagi ya? Sepertinya tidak ada lagi. Silakan ditambahkan jika menemukan hal lain. Dan, itu semua sudah dijual.

Semenjak 1920 wisatawan datang ke Bali lalu pulang kembali ke negara asalnya dengan membawa cerita mengenai keindahan alam dan budaya Bali. Ceritera yang semakin diperkuat melalui buku atau foto yang mereka buat, karya-karya yang menjual Bali sebagai The Island Of Gods atau The Last Paradise on Earth serta berbagai julukan puitis untuk menggambarkan betapa menariknya pulau kecil yang mungil ini.

Penjualan secara konsisten telah membawa Bali ke titik ini. Pantai-pantai dipenuhi kursi-kursi tempat para pengunjung restoran bisa dengan leluasa menikmati waktu bermandikan sinar matahari sepanjang hari sesuka hati setelah sebelumnya melamuri tubuh dengan sunblock. Lalu buat apa berjemur jika untuk memblock sinar matahari?

Sunset Rp 6.000
Selain itu, hampir di setiap titik yang menawarkan pemandangan menawan sudah dimonopoli pemilik modal. Yang terakhir saya tahu bagaimana sunset di Bukit Jemeluk, Amed sudah dimonopoli oleh restoran. Hingga sebuah momen sunset bisa seharga Rp 6.000 ditambah ongkos transpor. Bahkan perilaku perilaku bertani laris manis dijual satu paket dengan pemandangan sawah di Ceking Tegalalang dan Jatiluwih.

Karena budaya pertanian yang dijual adalah cara bertani tradisional yang menggunakan sapi untuk membajak, maka penggunaan traktor harus dihindari dan diminimalisir. Traktor terlalu modern dan bising serta tidak menarik untuk wisatawan.

Tidak cukup sampai di situ, Pura sebagai tempat tempat ibadah yang suci dan sakral juga dijual. Tidak usah jauh-jauh ke Pura Besakih cukup pakai kemben atau bisa juga menyewa on the spot untuk bisa menikmati bagaimana situasi pura di Batuan.

Lalu apa lagi yang tersisa ketika tempat ibadah yang sakral dan suci telah dijual untuk menghasilkan uang? Apa jadinya ketika upacara dihadirkan tidak hanya untuk ritual itu sendiri tetapi juga sebagai objek untuk wisatawan, uang atau dukungan politik?

Tenang. Saya bukan kaum fanatik yang terobsesi dengan kesucian dan keskralan hingga masuk ke rumah makan membawa sendok sendiri dan hanya makan di tempat dan makanan sukla.

Lalu kalimat NOT FOR SALE berlaku untuk apa ketika semua sudah habis terjual? Apa kalimat ini ditujukan mengenai alih fungsi dan alih tangan tanah yang menggila di Bali?

Jika memang untuk melawan, maka sebaiknya dengan cara mencegah orang pergi ke Bali atau mencegah orang pindah ke Denpasar, Badung atau kota-kota laian yang menjanjikan peluang ekonomi yang cerah. Hal itu tentu tidak mungkin dilakukan. Di mana ada gula, tanpa perlu komando semuan akan berbaris mengerubunginya walau gula hanya sebuah kabar yang dibawa burung.

Selain itu kesialan ternyata ketika tanah itu sendiri baru memiliki nilai ekonomi tinggi setelah dia ditukar menjadi uang, dijual atau dikontrakkan. Di tengah kebingungan dan semakin tercampurnya klasifikasi kebutuhan yang kian menghimpit, siapa yang tidak tergiur menukarkan tanah, karena alat tukar tidak lagi dengan segenggam tanah tapi selembar uang.

Bali menjadi ikon wisata Indonesia di dunia. Membuat wisatawan tidak hanya datang berkunjung tetapi juka tinggal menetap. Tidak hanya turis yang ingin menikmati sunset tetapi juga investor yang ingin memiliki sunset tersebut. Dan, kini semua telah habis terjual.

Bagi saya Bali Sold Out. Bali telah terjual habis bahkan ketika saya tidak menjualnya. Bali telah sold out beberapa tahun lalu. Yang sekarang tersisa hanya rak-rak kosong yang masih memajang plakat nama besar Bali.

not-for-sale

Kampanye Bali Not for Sale di Tegallalang, Ubud.

Posisi Bali
Bali Not For Sale mungkin telah menjadi kesadaran para investor rakus. Mereka ingin memanfaatkkan dan mengambil keuntungan dari nama besar Bali sebagai destenasi pariwisata dunia tetapi terbentur dengan kenyataan bahwa tidak lagi ada yang bisa dibeli di Bali. Maka mereka berkeinginan membuat pulau baru melalui jalan reklamasi Teluk Benoa.

Ide gila yang tentu saja memancing penolakan dari sebagian besar masyarakat Bali. Bahkan Desa Adat yang selama ini dikenal tenang dan sibuk dengan urusan adat dan upacara turun ke jalan menolak hal tersebut. Penolakan yang mengalir deras dari masyarakat tidak cukup menghentikan rencana tersebut.

Ketika kenyataan Bali telah sould out, masih ada investor rakus yang memaksakan diri untuk membeli Bali dengan caranya sendiri. Bahkan ketika masyarakat Bali tak membutuhkan dan menginginkan.

Situasi hari ini bisa dijadikan untuk melihat posisi Bali di Indonesia (Jakarta) baik pemerintahan serta media dan juga di mata mereka yang datang jauh-jauh menghabiskan waktu di Bali. Bali sebagai wilayah yang mereka banggakan. Saya bilang mereka banggakan terlihat dari bagaimana mereka bergaya ketika berfoto lalu segera mengunggah ke semua akun media sosial, menunjukkan di mana mereka berada.

Hari ini Bali harus menerima kenyataan bagaimana usaha mejadi duta yang membawa nama Indonesia ke dunia internasional tidak berarti apapun di mata pemerintah pusat. Usaha masyarakat menjaga agar tetap harmonis dan damai tidak pernah dianggap. Ketidakpedulian pusat sebenarnya muncul ketika presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya dengan bermodalkan destar dan kemben serta senyum manis lalu dengan bangga menganggap dirinya sebagai warga Bali dan merestui rencana reklamasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014.

Harapan sempat muncul ketika pada tahun 2014 pemilihan presiden tiba. Harapan di tengah kegeraman menghadapi kebebalan presiden yang menanggapi teriakan penolakan dengan senyum manis ketika tokoh muda dan rock n roll, Joko Widodo muncul sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan, dua poin yang menjanjikan.

Saya menganggap Pak Jokowi rock n roll karena sepengetahuan saya yang seukuran baskom, dia menjadi pejabat publik (ketika menjadi Walikota Solo) yang masuk dalam majalah Rolling Stone Indonesia. Saya berpikir jika dengan semangat rock n roll tidak akan berlaku bodoh dengan membuat pulau baru ketika sudah menjadi pengetahuan umum jika Indonesia adalah Negara Kepulauan, untuk apa membuat pulau baru di saat kita sudah memiliki banyak pulau.

Faktor kedua adalah PDI Perjuangan, partai yang dipimpin dari awal sampai sekarang oleh Megawati Soekarno Putri memiliki pendukung loyal di Bali. Semua tahu itu. Loyalitas yang sempat ditunjukkan dengan aksi kekecewaan berlebih ketika dia kalah dari Gus Dur di sidang umum MPR 1999. Loyalitas yang dibangun sang Ayah yang juga ikut hadir di baliho dan poster partai yang dipasang di pinggir jalan, kedekatan menggunakan isu hubungan darah, bahwasannya Soekarno memiliki darah Bali.

Sayangnya di tahun kedua Pak Jokowi jadi presiden, tidak juga ada tanda-tanda keberpihakan pada suara masyarakat Bali yang menolak rencana reklamasi. Saya tidak bisa menyalahkan. Dengan sikap menerima ramah khas Bali yang selama ini menjadi salah satu dagangan pariwisata, saya harus mengerti kalau Pak Joko hanya penumpang di mobil milik Mbak Mega.

Sebagaimana penumpang lain, dia tidak menolak jika si pemilik mobil meminta Pak Joko untuk menyetir kendaraan. Jadi Mbak Mega cukup hanya duduk di belakang sementara Pak Joko berkonsentrasi mengatur laju kendaraan di jalan berlubang. Mirip Oemar Bakri. Sayangya pertanda mobil melaju ke arah suara-suara loyalis, yang selama ini mengelukan namanya di musim kampanye tak juga ada. Semakin lama mobil seolah menghindari kerumunan dan keriuhan penolakan itu.

Apa itu salah? Kembali dengan sifat ramah saya akan bilang tentu tidak, karena mobil baru bisa berjalan jia ada bensin. Sayangnya Mbak Mega (apalagi Pak Joko) tidak punya cukup duit untuk membeli bensin. Jadi dia mencari investor yang mau memberikan bensin. Nah loh, penumpang dalam mobil jadi bertambah, Pak Joko di dalam mobil kini ditemani si pemilik mobil dan si pemberi bensin.

Jadi sebelum melaju menuju tujuannya, Pak Joko harus mengantar si pemberi bensin terlebih dahulu. Baru selanjutnya mengantar si pemilik mobil. Setelah mereka sampai pada tujuannya, baru Pak Joko bisa memacu mobil mencapai tujuannya. Jika tidak mengikuti itu maka Pak Joko akan diturunkan di pinggir jalan. Turun di pinggir jalan tentu lebih memalukan dari pada naik di tengah jalan.

Jadi kapan Pak Joko akan sampai di tujuannya? Ya kapan-kapan.

Jika partai adalah sebuah mobil, maka Bali mungkin telah menjadi sebuah tempat parkir umum. Hanya sebuah tempat parkir umum. Tidak lebih. Lebih sedikit parkir umum yang dilenngkapi dengan toilet umum.

Silakan lihat setiap tahun ada berapa partai memasang bendera-bendera mereka di sepanjang Jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai ketika mengadakan Munas dan pemilihan ketua umum mereka. Setelah acara mereka selesai cukup bayar Rp 2.000 tambah toilet Rp 1.000 lalu pergi meninggalkan parkiran mereka menikmati pantai. Berbelanja oleh-oleh dan tidak lupa kaos Joger. Tidak usah peduli jika tukang parkir harus membersihkan lubang kloset yang berkerak oleh kecing mereka atau jalanan yang berlubang yang harus ditambal atau tenaga yang harus dikeluarkan untuk membantu mendorong mobil ketika mogok.

Saat mobil-mobil ini telah kembali ke rumah mereka di Jakarta, mereka akan melupakan Bali. Secepat melupakan air kencing yang mereka tinggalkan di Bali. Secepat melupakan kenikmatan ayam betutu Bu Mangku ketika si pemakan telah mendengkur kekenyangan, dan bangun dengan sikap seenaknya. Tidak percaya lihat bagaimana sikap Wonder Woman Super Susi Pudjiastuti.

Tentu saja masa depan Bali ada di tangan masyarakat Bali. Tapi sayang, sertifikatnya dipegang orang-orang di Jakarta.

Makelar
Bali yang tidak memiliki masa kedaluwarsa masih menghiasi acara-acara di stasiun-stasiun TV nasional. Mulai dari acara wisata jalan-jalan yang mengulas tempat-tempat indah, tradisi ritual sampai kuliner. Lalu di manakah berita mengenai penolakan masyarakat Bali akan rencana gila Reklamasi Teluk Benoa? Tidak ada.

Media yang dianggap sebagai pilar demokrasi yang sehat menurut Pak Mahmud (ketika berkaitan dengan pemilu) menjadi pesakitan ketika berkaitan dengan isu penolakan masyarakat atas kebijakan pembangunan yang seenaknya. Nganggang kite.

Ini semakin memperlihatkan kalau Posisi Bali di nasional sama seperti pulau-pulau lain, ada untuk di eksploitasi. Tidak seistimewa dan semanis gerakan bibir pembawa acara cantik yang memaparkan keindahan alam atau kelesatan makanan di acara jalan-jalan dan petualangan.

Bandingkan ketika Gubernur Ahok memiliki rencana reklamasi di Teluk Jakarta, berita tersebut langsung semua pemberitaan di TV nasional. Diskusi dan liputan digelar khusus untuk itu sekadar menyoroti kebijakan Ahok. Tetapi tidak demikian ketika Gubernur Bali Mangku Pastika menyetujui rencana Reklamasi Teluk Benua. Media nasional lebih tertarik memberitakan pantai dengan sunset dan sunrise atau nasi ayam Bu Mangku (Mangku yang lain), ogoh-ogoh dan ngaben dari pada perlawanan sosial.

Bahkan ketika semua lapisan masyarakat, dari yang muda sampai yang tua bahkan desa adat turun memebuhi tol Bali Mandara, jalan tol yang dibuat untuk kelancaran pertemuan APEC (di mana yang parkir dan kencing tidak hanya dari seluruh Indonesia tetapi seluruh dunia) menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Apa itu kurang menarik untuk menjadi berita nasional sampai-sampai TV-TV nasional lebih tertarik mengemas pembunuhan di kedai kopi, menjadi TV series Sherlock Homes.

Hal ini semakian menunjukkan jika pantai dan matahari terbenam lebih berharga daripada suara masyarakat Bali. TV nasional tidak lebih dari makelar yang menjual Bali bahkan ketika Bali telah Sold Out.

Ketidak pedulian pemerintah pusat sebagai pemegang sertifikat dan media yang masih terjebak pada keindahan dan menghindari konfik (rencana reklamasi Teluk Benoa merupakan salah satu bad news yang tidak dijadikan good news bagi media). Mereka membiarkan semua terjadi karena mereka akan mendapat temmpat berlibur dan lokasi liputan baru. Tentu lebih mudah berlibur di darat daripada di laut.

Sepengetahuan saya yang sebaskom (hati-hati dengan baskom, Mak Lampir menggunakan baskom sebagai monitor CCTV-nya) laut merupakan teretori yang tidak bisa dimonopoli seperti halnya daratan yang bisa disertifikatkan. Saya juga tidak pernah mendengar ada orang tua mewariskan laut pada anaknya, apalagi di Bali (yang sebagian besar bertani). Nelayan pun tidak pernah mengklaim mereka memiliki lautan.

Lautan seperti sebuah sesepelan (simpanan).Ketika daratan sudah tidak cukup aman dan menghasilkan lagi maka laut adalah tempat berlari. Itu kenapa semua akhirnya bermuara ke laut, termasuk abu setelah melewati poses pembakaran. Laut juga merupakan tempat perlindungan terakhir. Lihat apa yang dilakukan Nabi Nuh ketika banjir bah datang. Dia tidak memuat bunker melainkan sebuah bahtera, atau yang paling mutakhir di film 2012.

Bisa dibayangkan jika laut dimiliki secara pribadi dan diwariskan secara turun-temurun. Maka tentu ikan-ikan yang hidup di bawahnya harus memiliki KTP atau KIPEM seperti penduduk Karangasem yang kini kos di Denpasar, atau orang Jawa yang tinggal di Bali tetapi tidak orang Bali yang kos di Jawa.

Reklamasi adalah sebuah usaha memonopoli lautan, memprivatisasi lautan. Hal yang tidak bisa mereka lakukan ketika masih berupa lautan. Maka diperlukan penimbunan untuk mengubahnya menjadi daratan baru selanjutnya dibagi-bagi. Atas nama Pak Toni, Pak Tika, atau bapak dan mister-mister lain, yang jelas bukan buat Nang Kocong dan Pan Mandi.

Bahkan wonder woman versi Indonesia modern “Super S“ yang berani menenggelamkan pencuri ikan pun tidak berani berseberangan dan melawan para investor yang ingin menggusur ikan-ikan dan terumbu karang di kawasan Teluk Benoa demi keinginan mereka memonopoli dan memprivatisasi Teluk Benoa menjadi milik segelintir mewah. Sebagai wonder woman yang mencintai laut maka dia harus memiliki laut karena pepatah cinta tidak harus memiliki telah ketinggalan zaman dan tidak kekinian. Sebagai bukti kepimilikan maka dibutuhkan sebuah akte.

Lalu ke mana ikan-ikan yang tidak memiliki akte itu pergi? Mungkin dia akan membuat sarang-sarang baru di bekas Galian C Gunaksa. Atau dibuatkan semacam rumah susun ikan di kawasan Padanggalak. Dengan begitu para penghuni pulau baru masih bisa memberikan mereka santunan sekaligus berkunjung ke museum surga terakhir di bumi bernama Bali yang di dalamnya terdapat Pasar Seni Sukawati dan Pasar Badung yang menawarkan genangan lumpur becek.

Mereka akan sangat terpukau melihat kaki-kaki orang Bali yang kotor oleh lumpur karena di pulau reklamasi itu dan di negaranya tidak pernah melihat lumpur.

Wah, ternyata curhatan saya meloncat-loncat. Bukan seperti tupai tetapi seperti persekutuan para investor dan pemerintah demi memanipulasi keluarnya izin reklamasi Teluk Benoa, BALI SOLD OUT dan sudah tidak ada lagi yang bisa dijual.

Hari ini kita hanya bisa bernapas di tengah rak kosong sambil berjuang jangan sampai rak kosong yang bertuliskan pelakat nama besar Bali diambil oleh para makelar berdasi dan penguasa. Atau jika mereka berhasil melakukannya, maka selamat menjadi manekin atau cinderamata pengisi rak-rak kosong berpelakat Bali itu.

BALI SOLD OUT, there’s nothing else for sale. [b]

The post Bali Telah Terjual. Tak Ada Sisa.. appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *