Bali sebagai Provinsi Hijau, Layakkah?

Oleh

Agung Wardana

Baru-baru ini Gubernur Bali menerima penghargaan yang menobatkan Bali sebagai Provinsi Hijau. Sepertinya alasan penobatan ‘provinsi hijau” ini tidak cukup hanya karena Bali sering kali menjadi tuan rumah pertemuan internasional tentang lingkungan hidup. Selain itu, indikator provinsi hijau ini juga belum dibuka secara publik sehingga publik ikut memberikan penilaiannya. Jadi lebih banyak sekadar pencitraan yang memang sangat dibutuhkan oleh industri pariwisata di Bali.

Provinsi Bali merupakan provinsi yang terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil dengan Pulau Bali sendiri sebagai pulau terbesar dan pusat kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kenyataannya, lewat pemberlakuan otonomi daerah, Provinsi Bali yang hanya seperdua puluh empat Pulau Jawa, dibagi ke dalam sembilan kabupaten/kota. Hal ini menimbulkan permasalahan tersendiri ketika berbicara tentang efektivitas pengelolaan lingkungan hidup di Bali.

Di kawasan pesisir, Bali yang memiliki panjang garis pantai sekitar 430 km mengalami kerusakan sekitar 181 km (Dinas PU Bali). Selain itu penanganan abrasi pantai di Bali yang semakin parah seringkali berlandaskan politik ekonomi pariwisata. Pantai-pantai yang menjadi pusat kegiatan pariwisata akan mendapat prioritas pembenahan dari pemerintah meski harus merusak kawasan pantai yang lain. Masih hangat dalam ingatan bagaimana tambal sulam Pantai Kuta dan Sanur tahun 2008 dengan jalan menyedot pasir terbaik dari kawasan Pantai Geger.

Dari segi keadilan lingkungan, telah banyak korban pembangunan industri pariwisata di kawasan pesisir. Mulai dari konflik dengan masyarakat setempat, penggusuran nelayan dan petani rumput laut, hingga penutupan akses publik terhadap pantai. Tengok saja di kawasan Nusa Dua bagaimana pantai yang sebenarnya aset bersama seolah-olah dikapling oleh hotel-hotel. Kawasan Pantai Kelating, Tabanan, juga akan mengalami ”privatisasi” serupa sembari selesainya proyek megaresort tepat di bibir pantai.

Di kawasan perkotaan, Denpasar sebagai ibu kota provinsi tidak terlepas dari kemacetan setiap harinya. Dari data yang ada, setiap dua orang di Bali memiliki satu kendaraan bermotor. Keengganan pemerintah untuk mengontrol kepemilikan kendaraan, lebih disebabkan oleh sikap pragmatis yakni pajak kendaraan adalah salah satu sumber pendapatan terbesar pemerintah daerah. Buruknya transportasi publik mendorong naiknya kepemilikan kendaraan pribadi. Celakanya, jawaban atas kemacetan ini adalah membangun jalan-jalan baru yang tentu saja mengalihfungsikan kawasan produktif dan tidak menjawab akar permasalahan.

Selain itu tiga tahun belakangan, kawasan-kawasan perkotaan di Bali mengalami kebanjiran secara rutin. Hal ini menunjukkan semakin hilangnya keseimbangan ekologis di kawasan perkotaan. Mulai dari tidak tertatanya kawasan, alih fungsi lahan sekitar 1.000 hektar per tahun akibat kenaikan pajak bumi dan bangunan rata-rata 100 persen yang salah satunya didorong oleh ekspansi bisnis properti.

Berikutnya, kejenuhan pariwisata di kawasan pesisir pantai saat ini investor pariwisata mengalihkan pandangan ke kawasan ketinggian yang paralel dengan booming eko-wisata di internasional. Tentu saja dampaknya keterdesakan kawasan yang selama ini dikenal asri tidak terelakkan untuk diubah menjadi infrastruktur wisata seperti vila, hotel maupun lapangna golf. Sebut saja salah satu kasus yakni satu perusahaan yang ingin menguasai ratusan hektar kawasan hutan taman wisata alam beserta danau yang selama ini disakralkan oleh masyarakat lokal, hingga saat ini belum juga terselesaikan.

Tentu keterdesakannya tidak hanya berkaitan dengan bentang alam kawasan tersebut, tetapi juga ketersediaan air mengingat industri pariwisata sangat haus terhadap sumber daya air. Data Walhi Bali menunjukkan, satu orang di Bali setiap harinya membutuhkan 200 liter air, satu kamar hotel membutuhkan 3.000 liter air dan satu lapangan golf mengonsumsi 3 juta liter air setiap hari, belum termasuk bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan. Alhasil, menambah deretan panjang konflik air antarsubak, organisasi tani tradisional, ataupun antara subak dengan usaha air minum dalam kemasan dan pemerintah.

Ketidakberdayaan Pemprov

Memang kondisi ini tidaklah sepenuhnya merupakan kesalahan pemerintah provinsi, mengingat ketidakberdayaan pemerintah provinsi untuk menghadapi kerakusan pemerintah kabupaten/kota. Salah satu apresiasi yang dapat diberikan kepada Pemerintah Provinsi Bali adalah membuka akses partisipasi masyarakat dalam penyusunan rancangan tata ruang wilayah Provinsi Bali tahun lalu. Meskipun waktu yang cukup panjang dibutuhkan untuk merumuskan namun hasilnya cukup memberikan gambaran bahwa Bali ke depan akan lebih adil dan hijau.

Di sisi yang lain, para bupati dan wali kota telah bersiap-siap untuk ”membunuh” aturan tentang tata ruang yang baru dilahirkan tersebut. Dengan alasan bahwa aturan tersebut tidak memperhatikan kepentingan kabupaten/kota untuk mengobral murah daerahnya untuk investasi pariwisata. Para bupati dan wali kota menyatakan siap pasang badan untuk menghadang pemberlakuannya di daerahnya masing-masing.

Selanjutnya, kembali pada pertanyaan tentang layak tidaknya Bali disebut provinsi hijau. Paling tidak ada dua jawaban yang bisa diberikan. Pertama, jika yang dimaksud dengan provinsi hijau adalah kebijakan pemerintah provinsi yang berpihak pada lingkungan hidup tanpa mempertimbangkan kondisi kabupaten/kota, maka jawabannya layak. Sebaliknya, jika yang dimaksud provinsi hijau adalah satu-kesatuan wilayah administratif provinsi termasuk di dalamnya terdapat kabupaten/kota, maka jawabannya tidak layak.

Tetapi mari kita anggap pemberian penghargaan ini sebagai bentuk motivasi kepada Gubernur Bali agar berbuat lebih banyak untuk lingkungan hidup Bali. Mengingat Bali seharusnya diurus dengan manajemen pulau kecil yang holistik dan integral, maka kepemimpinan Gubernur sangat menentukan akan dibawa ke mana provinsi ini ke depan. Semoga saja tidak untuk mendorong ekspansi pariwisata massal yang berambisi mendatangkan 7 juta wisatawan tiap tahun di daerah yang berpenduduk 3 juta jiwa tersebut.

Penulis, aktivis lingkungan, sedang belajar di University of Nottingham, Inggris

telah dipublikasikan oleh Harian Bali Post 04 Oktober 2010
http://www.balipost.com/mediadetail.php?module=detailopiniindex&kid=4&id=4390

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *