Bali Post dan Gubernur Bali, Berdamailah..

Dua penguasa Bali ini pun resmi bersengketa secara terbuka.

Kamis kemarin, sidang perdana gugatan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika terhadap Bali Post pun digelar di Pengadilan Negeri Denpasar. Pastika resmi menggugat media tertua dan terbesar di Bali tersebut karena dianggap menulis hal tidak benar tentang dirinya.

Gugatan itu berawal dari berita Bali Post pada 19 September 2011 silam. Harian milik ABG Satria Naradha ini menulis berita bahwa Made Mangku Pastika ingin membubarkan desa adat.

Pernyataan Pastika ini menyusul terjadinya bentrok antara Banjar Kemoning dan Budaga di Klungkung. Satu orang tewas akibat bentrok rebutan perbatasan tersebut. Karena merasa tak pernah menyatakan hal tersebut, Pastika kemudian mengadukan Bali Post ke Dewan Pers.

Dewan Pers, di mana Satria Naradha juga jadi anggotanya, merekomendasikan agar Pastika menggunakan Hak Jawab. Entah kenapa Pastika kemudian ngotot menempuh jalur hukum. Dia tak juga menggunakan Hak Jawab namun meneruskan gugatan kepada Bali Post.

Di sisi lain, Bali Post juga terus menulis kritis -atau bahasa lainnya sinis- tentang Pastika. Ini sih bisa dimaklumi kalau sekadar kritis. Tapi, secara amat menyolok, Bali Post terus menerus menulis kritis dan sinis tentang Pastika ini nyaris tanpa keberimbangan.

Maka, konflik keduanya pun berlanjut di meja hukum.

Sementara itu, seminggu terakhir, Bali Post kian gencar menulis perlawanannya pada gugatan Pastika ini. Mereka mewawancari berbagai narasumber, seperti pengacara, aktivis, akademisi, tokoh agama, mahasiswa, dan seterusnya. Nadanya sama, gugatan Pastika adalah ancaman terhadap kebebasan pers di Bali.

Dan, nyaris tak ada keberimbangan sama sekali dalam tulisan-tulisan Bali Post terkait Pastika tersebut.

Pendapat di Bali pun seolah hanya terbagi dua, dukung Pastika atau Bali Post. Teman-teman sesama jurnalis dan sebagian aktivis di Bali pun mengalami dilema. Seolah-olah tak ada jalan tengah. Harus pilih salah satu.

Padahal, menurutku tak harus begitu. Tak harus memilih salah satu karena, menurutku, dua belah pihak sama-sama bengkungnya.

Menurutku, Bali Post tak cukup adil melalui medianya. Secara amat demonstratif, mereka terus menerus menyerang Pastika dengan berlindung di balik kebebasan pers. Tiap hari ada tulisan kritis yang, ironisnya, tanpa ada suara dari pihak Pastika. Di sisi lain, Bali Post juga bagiku tidak masuk kategori media yang baik karena kebijakan berita iklannya.

Namun, Pastika juga tak seharusnya menggugat Bali Post ke pengadilan. Cukuplah gunakan Hak Jawab di Bali Post dan membantah semua tulisan tidak berimbang tersebut.

Apa boleh buat, inilah mekanisme yang diatur oleh Undang-undang Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Jika tak puas dengan berita, gunakanlah Hak Jawab atau adukanlah ke Dewan Pers.

Gugatan Pastika pada Bali Post ini preseden buruk. Jika dia menang, maka kemenangan itu akan jadi yurisprudensi, terutama di Bali bahwa media bisa dengan mudah digugat. Ini alarm tanda bahaya bagi kebebasan media.

Lalu? Ya, sama-sama tekan ego saja. Beritikad baik. Bali Post tak lagi secara terus menerus “menyerang” Pastika tanpa keberimbangan. Kalau sekadar kritis sih memang wajib. Tapi ya harus berimbang toh.

Demikian juga Pastika. Cukuplah gunakan Hak Jawab. Tak usah ngotot membawa kasus ini ke pengadilan. Hak Jawab memang tak akan memuaskan. Tapi itulah risiko hukum. Belum tentu bisa menyenangkan semua orang. Tulisan cukup dilawan dengan tulisan. Bukan dengan gugatan di pengadilan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *