http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/19/0128299/asian.beach.games.dan.jejak.pluralisme.kuta
Minggu, 19 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Tidak salah jika ajang Asian Beach Games I 2008 yang diikuti bangsa-bangsa dengan aneka latar belakang budaya itu digelar di kawasan Kuta, Sanur, dan Nusa Dua-Tanjung Benoa. Kawasan pariwisata pantai itu memang penuh dengan jejak pluralisme.
Persiapan pertandingan tiga cabang Asian Beach Games (ABG), selancar, perahu naga, serta binaraga, di Pantai Kuta pekan lalu berjalan seiring dengan kesibukan menjelang Kuta Karnival, sebuah festival pariwisata tahunan di kawasan itu. Penyelenggaraan kedua acara itu secara kebetulan sama waktunya, 18-26 Oktober. Perpaduan antara pesta olahraga pantai dan festival pariwisata yang berisi aneka atraksi budaya tradisional hingga termutakhir.
Napak tilas singkat yang digelar Bali Blogger Community —komunitas pengguna blog yang para anggotanya memiliki hubungan emosional dengan Bali—di sekitar tempat bersejarah di Kuta dan menjadi salah satu agenda acara dalam Kuta Karnival, Sabtu (18/10), memberi gambaran tentang jejak pluralisme di Kuta, bagaimana keberagaman dihargai dan dilandasi dengan ketulusan satu dengan yang lain.
Vihara Dharmayana adalah salah satu bukti. Bangunan yang masih terjaga kelestariannya itu dibangun sejak tahun 1876, sekaligus menandai kedatangan kaum Tionghoa di daratan Bali selatan. Adaptasi komunitas Tionghoa di Kuta dan sekitarnya— yang notabene sebagian besar dihuni pemeluk Hindu—tampak pada keterlibatan kaum Tionghoa dalam berbagai ritual adat dan komunitas suka-duka Banjar Dharma Semadhi Kuta.
Pantai Jerman, dua kilometer di selatan Pantai Kuta, juga menjadi saksi bisu pluralisme kawasan itu. Meski kini sudah tidak ada jejak fisiknya sama sekali—akibat abrasi selama ratusan tahun—sejumlah bukti tertulis menjelaskan bahwa kawasan itu pernah menjadi pelabuhan Kuta bagi para pedagang dari luar Bali. Yang masih berdiri adalah Pura Dalem Celuk Waru, pura yang waktu itu merupakan tempat bersembahyang bagi pendatang yang baru sampai di kawasan itu.
Makam Mads Lange, pedagang asal Denmark yang menetap dan mendirikan markas dagang di Kuta, abad 19 silam di Desa Kuta, menjadi penegas pluralisme Kuta. Melalui kemampuannya bernegosiasi, sosoknya menjadi salah satu perantara perdagangan yang disegani di Kuta tempo dulu.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kuta Nyoman Graha Wicaksana menyatakan, pelaksanaan Kuta Karnival yang ber>w 9538m
“Kita semua ingin agar dua kegiatan besar ini berjalan seiring, bahkan saling mendukung. Pelaku pariwisata senang dan pemerintah Bali maupun nasional senang jika penyelenggaraan keduanya sukses,” kata Wicaksana. (BEN)
Leave a Reply