Dear Love,
Setahun yang silam, pergaulan bebas dan kekasih hati berhasil membuat saya diawal 2010 menjadi seorang Blackberian, konsekuensinya selang beberapa hari saya mengabarkan berita duka pada tukang koran langganan saya. Saya berhenti berlangganan surat kabar dan majalah. KOMPAS, Bali Post, Jawa Pos, TEMPO dan National Geographic sekaligus. Lalu memilih untuk menjadi pembaca berita secara online. Juga menjadi follower beberapa media streaming, blogger dan nara sumber berita terkini di Twitter. Keputusan yang cukup bertanggung jawab, begitu pikir saya saat itu. Nyatanya? saya salah. Dengan menjadi penikmat berita secara online saya otomatis mengasup energi tak terbarukan yang sama saja buruknya dengan mengkonsumsi kertas gila-gilaan.
Well, setidaknya saya berhasil setahun berhemat. Tahun lalu itu, tumpukan surat kabar yang akhirnya selalu menggunung dipenghujung bulan mulai meresahkan saya. Bukan hanya bingung harus diapakan, tapi sesuatu dialam bawah sadar saya mengatakan jika itu adalah tanggung jawab saya. Saya butuh berita. Saya membeli surat kabar. Setelah selesai dibaca tak lama surat kabarpun kadaluarsa. Lalu seperti peribahasa, sedikit demi sedikit surat kabar mulai menjadi bukit, lalu apa?
Satu malam, saya sempat menghabiskan waktu cukup lama mencari cara bagaimana sebaiknya saya memperlakukan tumpukan surat kabar yang tak sedikit itu dengan lebih bijak. Daur ulang pun menjadi cara terbaik pertama untuk memperlakukan tumpukan surat kabar kadaluarsa itu. Terbaik kedua adalah dengan membakarnya diam-diam disuatu malam buta untuk meninggalkan jejak, tapi setelahnya dirimu mungkin akan hidup diikuti dengan perasaan bersalah yang tak berujung. Lupakan. Melakukan sebuah proses daur ulangpun bukan sebuah perkara yang mudah di Bali.
Bersamaan dengan itu pikiran saya menganak sungai dengan liar seperti biasanya. Saya membayangkan betapa mengenaskanya jika nasib sebatang pohon anggun dipedalaman Kalimantan itu harus berakhir hanya dengan menjadi serpihan-serpihan kertas yang tersebar dipenjuru negeri, dipojok pojok kamar mandi dalam bentuk surat kabar lusuh berisi berita-berita yang tak pernah melegakan nafas.
Paginya saat saya sudah kembali dimeja kerja, mata saya tertumbuk pada sudut ruang remang tempat mesin fotokopi dan tumpukan kertas berbagai macam ukuran berada. Bekerja dalam sebuah studio arsitektur semodern apapun, nyatanya tak bisa melepaskanmu dari kertas. Lalu, entah apa yang sedang menjangkiti alam imajinasi saya, tiba-tiba saja saya melihat pojok ruang mesin fotokopi ditembusi akar dari sebuah pohon besar, lengkap dengan sulur sulurnya yang liat. Dibawahnya saya melihat Pak Made lalu lalang membawa berkas berkas hasil foto kopian yang setiap hari jumlahnya selalu saja tak pernah sedikit. Saya menggigiti bibir.
Kegilaan demi kegilaanpun mulai menghempas saya satu persatu. Satu sore lain, saya sempat ‘ndlongop’ saat kaki saya perlahan memasuki sebuah toko buku dipusat kota. Lagi-lagi imaji liar tak terpenjara itu sontak mengubah toko buku menjadi sebuah hutan belantara yang cantik yang sarat pohon-pohon besar dengan banyak manusia purba setengah telanjang sedang berelayut manja disulur sulurnya membaca lapisan lapisan kulit kayu. Ya, saya mulai gila.
Gila karena ingat, ketika membuat kertas, maka bahan baku utama dalam pembuatannya adalah kayu. Jika melakukan simulasi, maka pohon dengan lebar 8 kaki, diameter 4 kaki, dan memiliki tinggi 4 kaki dengan berat sekitar 2 ton dimana 15-20 persen adalah air, maka pohon ini dapat membuat (menurut A Tree for Each American, American Forest & Paper Association) :
1.000 ( 453,6 kg) hingga 2.000 pounds ( 907,18 kg) kertas (tergantung pada proses pembuatan)
61.370 amplop bisnis No.10
1.200 kopi National Geographic
2.700 kopi rata-rata koran harian
460.000 cek bank
Konsumsi kertas masyarakat Indonesia sendiri pada tahun 2003 mencapai 5,31 juta ton, untuk tahun 2004 kebutuhan konsumsi kertas mencapain 5,40 juta ton. Sedangkan pada tahun 2005 konsumsi kertas mencapai 5,61 juta ton dan prediksi pada tahun 2009 konsumsi kertas dapat mencapai 6,45 juta ton. Ini berarti pada tahun 2005 kira-kira telah menebang 6 hingga 11,9 juta pohon.
Nah sudah setahun sekarang, dan hari ini saya masih :
1. Tidak berlangganan surat kabar dan majalah, meski gaya hidup masih belum bisa membuat saya berhenti membeli buku.
2. Menghindari untuk mencetak bukti transaksi dari ATM. Sialnya beberapa ATM bersama masih saja secara otomatis mencetak bukti transaksi.
3. Memaksimalkan fungsi ‘notes’ di handphone untuk mencatat hal-hal kecil seperti alamat, no.telpon, daftar belanja.
4. Membawa tupperware kemana-mana dalam rangka menghindari kertas pembungkus makanan dari warung-warung makan.
5. Menghindari penggunaan tissue dirumah-rumah makan, tidak memasukkan tissue kedalam daftar belanja.
6. Menolak menebang pohon, disetiap project arsitektur yang saya kerjakan.
7. Menanam pohon, meski kecil, meski kadang lupa merawat, meski kadang ditertawakan ๐
8. berhasil untuk tidak menulis surat cinta untuk kekasih tersayang diatas kertas untuk diselipkan dibukunya yang saya pinjam, di selipkan di dashboard mobilnya, didompetnya atau diberikan begitu saja. Hmm, lupakan. Yang terakhir itu karena dia tak lagi disini ๐
a note to remember. untuk cinta, dan selaksa rasa di ruang jiwa yang tak akan pernah lagi ditulis keatas kertas. Percayalah, aku akan menemukan cara terbaik mencintaimu tanpa menulis surat cinta diatas kertas ๐
Leave a Reply