Wajah wajah diketinggian
Itu Januari 2007 ketika kali pertama saya menginjakan kaki di Songan. Apa yang saya rasakan saat itu mungkin sama seperti yang di alami Sutan Takdir Alisjahbana ketika sampai didesa ini lima puluh tahun silam, jatuh cinta. Jauh dari kesan turistik, desa ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk hidup dihari ini dan masa depan. Bentang alam yang menakjubkan, ladang-ladang pertanian yang terhampar, titik-titik pemandian air panas, hingga titik-titik penyelaman air dingin yang sulit ditemukan ditempat lain disepenjuru pulau tropis ini. Sempurna. Alam seakan mencukupkan segala yang dibutuhkan masyarakatnya hingga tak perlu mengkhawatirkan kondisi geografis desa yang terpencil dan sulit dijangkau.
Sejak hari itu, saya kerap membuang diri dengan melewati akhir pekan disana. Menghabiskan waktu berjam jam untuk menyusuri perbukitan kecilnya, bermain didanau, berjalan-jalan didesa atau sekedar duduk-duduk menengok ruang buku sang pujangga. Ya, dipintu masuk desa ada rumah peninggalan sang legenda sastra Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Bisa menemukan jejak kehadiran STA disebuah desa terpencil buat saya merupakan satu hal yang menarik. Sedikit banyak tempat ini pasti memberikan pengaruh kedalam karya karya beliau dan begitu pula sebaliknya.
Empat tahun sudah berselang, kebiasaan saya membuang diri ke Songan pun mulai berkurang. Bukan karena terhalang kesibukan, tapi entahlah, rasanya berkendaraan selama hampir dua jam dari pusat kota menuju desa mulai dirasa tak setara dengan apa yang dilihat. Songan hari ini sudah tak lagi seindah dulu dan sepertinya hal itu dipicu oleh pergerakan budaya hidup masyarakat setempat yang tak lagi berkaca pada kearifan lokal.
Saya memperhatikan cara mereka bercocok tanam. Tak kurang dari 50 hektar areal perkebunan buah dan sayur terbentang di Songan. Letak desa didataran tinggi vulkanik beriklim pegunungan yang sejuk membuat Songan menjadi ladang subur bagi tanaman buah dan sayuran. Hasil pertanian masyarakat setempat menjadi salah satu sumber pasokan kepasar-pasar induk di Bali. Menarik, masyarakat Songan bisa hidup dengan mengandalkan bentang alam. Malang tak dapat ditampik, industri pertanian yang menggila selama dua dekade terakhir membuat masyarakat akhirnya meninggalkan sistem pertanian hayati dan beralih kepertanian kimia. Hasilnya? produksi buah dan sayur memang meningkat tapi baik alam dan manusianya hari ini lekat sudah hidup bersanding dengan bahan kimia, itu berarti termasuk anak-anak kecil dan bayi-bayi belum lahir.
Jika nanti sempat melihat tomat dimeja makanmu, coba kira-kira darimana datangnya. Jika dari Desa Songan, insektisida dalam gambar disamping ini kemungkinan adalah salah satu sari yang terkandung dalam tomatmu.
Danau hari ini juga sudah dihapus dari daftar referensi lokasi penyelaman air dingin di Bali. Tengah tahun lalu bersama beberapa rekan penyelam lain, saya menderita panas dingin dan gatal-gatal selepas melakukan aktifitas penyelaman disana. Saat kemalangan kecil itu menimpa kami, masyarakat setempat mengganggap kami mendapat ‘gangguan’ dari penjaga Danau. Akhirnya muncul gurauan diantara kami para penyelam jika sebenarnya penjaga Danau baik-baik saja andai bahan kimia dari lahan pertanian dan sampah disepanjang tepian danau tak separah hari ini. Sepertinya karena penduduk telah ‘mengganggu’ penjaga Danau maka penjaga danau mulai ‘mengganggu’ kami. Hari itu menjadi kali terakhir kami melakukan aktifitas penyelaman disana.
Aktifitas pagi salah satu petani tomat di Banjar Serongga. Insektisida ini dengan masifnya di berikan kepada tanaman setiap 3 hari sekali. (foto : Teddy)
Diakhir November lalu saya sempat menanyakan penyebab petak-petak kebun sayur yang hancur tersebar disejauh mata memandang. “Musim hujan, matanai (matahari) jarang muncul, mendung setiap hari” begitu ujar Ketut Sidarta dari tengah kebun sambil terus memompa tabung berisi cairan bahan kimia yang digendongnya. Hanya itu. Ketika panel gagal, alam menolak menjadi tempat tumbuh, terkadang manusia cenderung akan menyalahkan alam.
Ketut Sidarta hanyalah salah satu contoh petani Songan yang belum memahami bagaimana sistem pertanian yang baik bisa meningkatkan daya tahan tanaman terhadap kondisi cuaca ekstrim sekalipun. Ketut belum tahu jika sistem pertanian yang baik bisa membantunya terhindar dari kerugian gagal panen dari cuaca. Adakalanya saat bertahan, manusia lupa akan apa yang pernah diajarkan alam di masa sebelumnya. Jauh sebelum era teknologi dimulai manusia pernah berhasil bercocok tanam dan bertahan hidup dengan mengandalkan hasil pertanian tanpa melibatkan pupuk dan insektisida kimia. Dan itu terjadi selama ratusan tahun lamanya.
Kebun tomat dewasa yang hancur bisa dilihat dalam sebaran random di seluruh Desa. Perhatikan jejak air keruh yang mengering pada buah tomat yang rusak itu. Bukankan salah satu ciri kualitas air dan udara yang sehat adalah tidak berwarna?
Ketika tanah berada dalam kondisi sehat, ia akan menjadi tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang dibutuhkan, diantaranya jamur-jamur yang bisa menjadi antibiotik untuk melindungi tanaman dari hama penyakit. Organisme lain yang hidup beberapa akan memproduksi makanan alami bagi tanaman sementara beberapa lainnya berguna untuk menjaga unsur hara tanah. Penggunaan pupuk dan insektisida kimia telah memutus mata rantai itu. Tanaman di paksa tumbuh dengan bahan-bahan kimia sementara tempat mereka mengakar miskin sudah dari kandungan nutrisi alami. Didesa ini petani seakan memaksa tanaman dan alam bekerja untuk mereka, bukan sebaliknya.
Jika mau menelisik lebih jauh, apa yang terjadi di Songan hari ini bukan semata tentang merosotnya kualitas lingkungan, disini kearifan lokal terkikis sudah akibat gaya hidup yang kelewat konsumtif dan tak berwawasan masa depan. Terus melihat Songan sebagai desa dengan kualitas lingkungan & hidup masyarakatnya yang memprihatinkan tak akan membawa kita melangkah kemana-mana. Padahal jika diperhatikan Songan memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah desa mandiri.
Hari ini, beberapa proyek lingkungan berskala kecil terkait pertanian sehat mulai digagas disana, salah satunya adalah Tegal Matanai diambil dari bahasa lokal setempat yang berarti Kebun Matahari. Berlokasi di Banjar Serongga, sepetak tanah garapan milik pemangku setempat menjadi setting dari proyek pertanian sederhana yang digawangi oleh beberapa praktisi pertanian dengan merangkul anak anak sekolah setempat. Tegal Matanai akan sepenuhnya digarap dengan berkiblat pada kearifan lokal. Mengajak setiap yang terlibat didalamnya untuk hidup bersanding dengan alam, untuk alam.
Ditengah tengah kualitas lingkungan sekitar yang semakin menurun, Tegal Matanai akan mencoba tumbuh dengan cara yang berbeda dari yang ada didesa. Selain menyemai benih buah, sayuran dan bunga matahari, mereka juga menanam benih harapan. Semoga perlahan masyarakat setempat tersadarkan, jika ada yang jauh lebih penting dari hidup cukup dihari ini. Semoga kita mau untuk lebih berpihak pada alam dalam memenuhi cukup itu.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana pernah memimpikan desa ini akan menjadi pusat seni masa depan, maka saya tak bisa lebih setuju lagi. Buat saya hari ini, Desa Songan adalah cikal desa mandiri yang terpinggirkan. Pilihannya sekarang ada ditangan kita, mau atau tidak? menjadikan Desa Songan laksana dian yang tak kunjung padam.
Leave a Reply