Dear Mooncake,
Pernahkah kamu merasakan, bagaimana sebuah lagu bisa membangkitkan kenangan kolektifmu lalu membuatmu merasa dekat dengan seseorang? Saya? Sering.
Saya punya sebuah lagu, judulnya Dibawah Sinar Bulan Purnama. Sampai hari ini, baru lagu itulah yang mampu mengadiksi saya luar dalam, lahir bathin. Dimanapun saya berada, lagu itu selalu berhasil membuat saya berada dekat dengan Ibu. Jadi jangan heran jika status BBM / YM saya bisa berjam-jam hanya menunjukkan judul lagu ini, atau lagu yang saya putar saat saya sedang bekerja juga hanya satu lagu itu.
Ibu itu senang sekali menghabiskan waktu didapur, sama senangnya seperti saya menghabiskan waktu dimeja makan, bukan saja untuk berlama-lama menikmati waktu makan. Tapi juga saat-saat setelahnya, membaca, menulis, mengerjakan sesuatu, saya selalu lebih senang melakukannya dimeja makan ketimbang dimeja belajar. Bukan karena medannya yang luas dan lebar, tapi lebih karena senang rasanya melakukan sesuatu dekat dengan beliau. Jika sudah tidak ada yang bisa dikerjakan didapur biasanya beliau duduk menemani saya dimeja makan sambil melakukan apa saja. Membaca biasanya itu lebih sering. Ibu berkacamata, minus satu setengah.
Saat seperti itu biasanya kita memutar sebuah CD yang sudah diperbarui lebih dari 17 kali yang isinya lagu-lagu keroncong jaman perjuangan. Ibu yang sederhana begitu menyenangi sebuah lagu ciptaan Maladi yang berjudul DiBawah Sinar Bulan Purnama. Well, she loves all Maladi’s song. Tapi kesenangannya pada lagu yang satu itu begitu keterlaluan. Untuk sebuah CD kompilasi lagu keroncong racikan saya sendiri, dari 17 track lagu yang ada, 6 diantaranya merupakan lagu dengan judul yang sama yang disipkan diantara lagu lagu yang lain. Beliau yang minta.
Saya masih saja ingat ketika guru taman kanak-kanak saya sukses gagap terbengong bengong mendapati saya berhasil menyanyikan lagu itu dengan lengkap dan tepat didepan kelas di suatu hari di tahun 1986. Alhasil, setelah hari itu sayalah ratu disetiap acara kelas dengan lagu andalan itu. Percaya atau tidak, tapi saya belum bisa membaca waktu itu, saya bisa menyanyikan lagu itu dengan sempurna hanya karena terlalu sering mendengarnya.
Kesenangan Ibu yang cantik itupun menular sudah. Saya terinfeksi segala yang ada dan terkait dengan lagu itu. Saya akut, ikut mencintai Maladi, ikut mencintai cerita-cerita sejarah perjuangan bangsa, mencintai purnama, laut, pantai, gelak tawa, begitu mensyukuri segala bentuk keindahan, lagu itu adalah separuh musik yang setia mengalun dalam jiwa saya.
Malam Purnama lalu, sambil menunggu lalu lintas lengang saya berdiri dipinggir pantai. Saya memainkan lagu Dibawah Sinar Bulan Purnama dalam mode ‘repeat’ diplaylist, nyumpeli telinga dengan earphone, lalu larut diam berdiri. Membiarkan ujung-ujung jari kaki saya dijilati air pantai sementara saya menyesap indahnya melihat Purnama berkaca diwajah lautan. Untuk sejenak, saya pulang kerumah. Duduk simeja makan enam kursi, dekat dengan Ibu.
ini liriknya, dan masih, setiap kali saya membaca liriknya, saya hanya semakin kagum terhadap Alm. Maladi. Luar biasa brilliant dalam segala kesederhanaannya. Benar-benar senandung yang sanggup melapangkan penat hati. Dan lebih besar dari itu, saya mengagumi Ibu diluar kuasa kata, yang telah begitu dengan penuh sayangnya meracuni saya dengan lagu terbaik sepanjang masa :’)
Di bawah sinar bulan purnama
air laut berkilauan
berayun-ayun ombak mengalir
ke pantai senda gurauan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah tak dirasa
gitar berbunyi riang gembira
jauh malam dari petang
Reff:
Beribu bintang taburan
menghiasi langit hijau
menambah cantik alam dunia
serta murni pemandangan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah jadi senang
si miskin pun yang hidup sengsara
semalam itu bersuka
a note to remember. Dimusim yang lalu. Satu malam Purnama membakar angkasa. Kita melaju dibawah nyala sinaran jingga, sesekali tanganku menggenggam lenganmu saat tertawa, malam itu kita adalah dua berbeda dalam satu rasa, merasa seakan syahdu rasa saat bersama itu akan selamanya. Ternyata tidak. Malam lalu Purnama, aku dimana engkau entah dimana. Kita kini dua berbeda di bawah satu Purnama.
Leave a Reply