World Silent Day

Perjalanan Panjang Mengembalikan Empati
Atas Bumi dan Kemanusiaan

oleh

Agung Wardana

Perjalanan menuju COP 14 Poznan, Polandia dan balik kembali ke kampung halaman memberikan makna bagi penulis, khususnya dalam kampanye World Silent Day. Persinggahan diantara hiruk pikuk lalu lintas manusia yang tiada henti di bandara-bandara besar dunia seperti London, Hongkong maupun Singapore adalah ruang kontemplasi diri.

Sambil duduk dan mengamati ribuan orang berlalu lalang, ada melihat papan pengumuman, hingga menyibukkan diri dengan temans sejati manusia modern, barang elektronik. Bak robot, mereka sibuk dengan program yang dipasang dikepala oleh sang programer masing-masing. Jangankan menawarkan pertolongan bagi orang lain yang sedang kebingungan atau pun butuh pertolongan, tegur sapa dan senyum hangat pun sirna ditempat itu.

Nampak, seorang bapak perlente melemparkan koin pada kotak sumbangan yang terpasang dengan poster anak Afrika kelaparan. Dan disaat suara koin bergemerincing, arah pandangan orang sekitar pun menuju dan menatap kagum akan kedarmawanan sang bapak.

Inikah dunia modern dimana lalu lintas manusia tanpa batas dan empati menjadi tontonan untuk menunjukkan bahwa kelas kita lebih tinggi? Masih dalam dialog imajiner, penulis bertanya pada diri sendiri mampukah World Silent Day menghentikan hiruk pikuk tersebut dan sementara itu relasi kemanusiaan akan dapat dirajut kembali.

Meraih Perhatian Yang Terpecah
Kampanye perjuangan menuju World Silent Day bukanlah perjalanan yang mudah dan singkat. Berbagai bentuk pahit getirnya yang dirasakan akan menjadi pelajaran dimasa mendatang. Mungkin itu kalimat yang dapat diungkap ketika melihat alat kampanye kita berakhir di tong sampah atau juga disia-siakan orang. Kalimat tersebut sebagai bentuk penghiburan sekaligus motivasi diri untuk tetap berjalan.

Berbagai langkah penulis lakukan untuk menarik perhatian peserta konferensi COP 14 UNFCCC di Poznan, Polandia. Tantangannya juga semakin berat karena kali ini World Silent Day tidak mendapat dukungan resmi dari penyelenggara serta juru kampanye yang hanya dua orang saja. Mulai dari memasang sticker di setiap pilar strategis, dialog langsung hingga mengganti wall paper komputer dengan banner WSD.

Sticker harus dipasang pada pilar yang sama karena keesokannya selalu saja dilepas petugas karena dianggap melanggar aturan di UN Compound. Begitu juga dengan nasib brosur yang diletakkan di stand tak bertuan juga menghilang entah kemana. Dalam dialog langsung orang terkadang juga terlihat tidak begitu menghiraukan dan bergegas meninggalkan dengan terburu-buru. Penolakan demi penolakan telah terbiasa dirasakan.

Penulis pun teringat bagaimana perjuangan panjang menuju Hari Bumi yang dirayakan setiap 22 April. Dibutuhkan waktu paling tidak lima tahun dan jutaan orang turun kejalan secara serentak pada hari itu untuk menyuarakan keprihatinan terhadap bumi. Namun tentu saja World Silent Day berbeda dengan Hari Bumi ataupun Hari Lingkungan Hidup yang cukup dirayakan dengan mengucapkan selamat saja.

World Silent Day memerlukan kesadaran bersama sehingga dapat bermanfaat lebih besar. Memang tidak semua orang berani melepaskan keistimawaan dan kenyamanan dunia materi dalam empat jam sekalipun. Apalagi hari ini manfaat hanya dihitung dalam deret angka mata uang pada setiap putaran jarum jam dengan ungkapan “Time is Money.”

Tentu saja, penulis percaya bahwa diantara milliaran umat manusia di seluruh dunia masih ada yang peduli dengan keberlangsungan hidup di bumi. Dan itu adalah awal dari sebuah langkah bersama untuk mengembalikan empati atas bumi dan kemanusiaan yang selama ini tidak tersemaikan. Jika Bali, sebuah negeri dunai ketiga, saja bisa melakukannya mengapa negeri yang katanya lebih beradab tidak bisa?

Penulis, Aktivis Lingkungan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hosted by BOC Indonesia