way of life

saya ingat beberapa waktu lalu, masih tentang twitter dan segala diskusinya. tiba-tiba ada seseorang, -yang saya lupa itu siapa-, bertanya “kamu tau kan apa artinya din?”

dan karena twitter adalah ruang diskusi terbuka dimana semua orang bisa melihat apa yang diperbincangkan, -kecuali jika accountnya diprotect-, saya pun mau tak mau menyimak diskusi yang mulai memanas itu. sebenarnya bukan mau tak mau, tapi beberapa hal memang menarik buat saya, termasuk ketika orang memperdebatkan keyakinan. lucu saja ketika sebuah atau beberapa keyakinan diperdebatkan, karena itu toh percuma. namanya juga sebuah keyakinan, mana ada orang yang meyakini sesuatu yang dia anggap salah?

dan kembali ke diskusi di ranah twitter tadi, saya akhirnya mengetahui jika ternyata arti kata din bukanlah semata-mata agama, melainkan jalan hidup. the way of life. saya sendiri tidak tahu apakah itu mutlak benar, tapi menurut saya itu yang paling masuk akal.

saya dilahirkan dari keluarga yang bisa dibilang tidak relijius-religius sangat. Kedua orang tua saya memang sembahyang, tapi mereka tidak pernah mengukur sesuatu atau seseorang dengan takaran agama, dengan dosa atau pahala. bapak adalah seorang pensiunan angkatan laut, dan pakdhe saya dulu sempat menjadi buronan ketika pecah pemberontakan 30 Sept 65. orang tua saya membekali kami anak-anaknya dengan belajar mengaji, tapi kakak perempuan saya hingga kini penganut kristiani. bisa dibayangkan betapa berwarnanya keluarga saya bukan?

dan saya besar di lingkungan dimana Islam bukanlah mayoritas. saya masih ingat sekian kilometer yang harus ditempuh ketika hendak shalat teraweh. atau ketika suara kakak ipar saya melantunkan ayat-ayat quran, silih berganti dengan suara kidung dari pura desa yang berjarak sekian meter dari kontrakan tempat kami tinggal. sayapun pada akhirnya mulai terbiasa berkebaya, metirta, dan mebija jika ada piodalan di rumah tempat saya tinggal. bahkan tak jarang saya membantu ibu kost membuat canang, meracik bunga. yah, kalau sekedar bikin canang ceper, saya sudah mahir 😀

bertahun – tahun saya menjalani kehidupan sebagai minoritas, membuat saya sadar akan banyak hal. saya beruntung berada di lingkungan dimana mayoritasnya tidak bersikap arogan dan bisa hidup berdampingan. saya belajar banyak hal, terutama tentang they way of life-nya. bagaimana agama tak dipandang sebagai sesuatu yang ekslusif, melainkan seperti baju keseharian, menempel pada apapun yang dilakukan.

agama tak hanya dipandang sebagai satu garis vertikal antara manusia dengan pencipta, melainkan juga dengan alam semesta dan sesamanya. jika kita melukai tumbuhan, maka sesungguh kita sedang mencederai agama kita, atau lebih tepatnya..the way of life. agama juga tak digambarkan dengan cerita – cerita tentang surga, neraka, azab, dan hal-hal tak tersentuh, tapi disitu juga ada karma, sesuatu yang lebih mudah diterima logika. sederhananya, jika kamu melakukan hal yang buruk, melukai orang/sesuatu yg lain, maka kamu akan mendapat balasannya. begitu pula sebaliknya, agama diterjemahkan ke dalam segala yang kita lakukan.

sekian tahun saya menjalani kehidupan seperti itu, sehingga saya tak pernah memahami bagaimana bisa terjadi kekerasan atas nama agama? bagaimana suatu kebaikan tanpa mencederai yang lainnya bisa dikatakan sesat? bagaimana seseorang atau sekelompok manusia menodai ..the way of life-nya? bagaimana kita merasa berhak untuk mengadili keyakinan lainnya?w


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *