Refleksi usai mendampingi istri melahirkan lewat water birth.
Mendampingi istri melahirkan ini merupakan pengalaman pertamaku. Pada kelahiran anak pertama kami, Bani Nawalapatra, aku tak terlalu banyak mendampingi. Salah satunya karena proses kelahirannya lewat operasi sesar.
Pas kelahiran Bani dulu, Bunda juga tak mengalami kontraksi. Air ketubannya pecah. Dia pun melahirkan dua minggu lebih awal dibanding perkiraan dokter. Dia tak melewati pengalaman melahirkan secara normal.
Karena itu pula, sejak awal kelahiran anak kedua kami, Bunda ngotot berencana melahirkan secara normal. Pilihannya dengan metode water birth, melahirkan di air.
Awalnya aku agak ragu. Alasan utama sebenarnya karena tak tega. Kasihan saja melihat dia sudah sembilan bulan mengandung lalu harus berjuang melawan sakit saat melahirkan. Kalau dengan operasi sesar kan gampang. Tinggal masuk ruang operasi, tak sampai 30 menit pun beres.
Operasi sesar, menurutku, juga tak terlalu berisiko pada bayi. Keselamatannya lebih terjamin jika “dilahirkan” lewat sesar.
Namun, aku hapus semua keraguan itu ketika membaca tulisan The Ecologist. Kok ya pas banget. Majalah ini menulis pembajakan proses kelahiran ini oleh industri kesehatan. Salah satu bukti utamanya adalah melahirkan lewat sesar tersebut.
Industri kesehatan ibu dan anak pula yang terus memelihara ketakutan terhadap melahirkan secara normal ini.
Usai baca tulisan ini, meski masih agak ragu, aku meyakinkan diri sendiri, harus mendukung istri untuk melahirkan lewat water birth. Aku jadi merasa bersalah karena sebelumnya tak terlalu mendukung keputusannya untuk melahirkan secara normal. Maka, baiklah. Aku harus mendukung keputusan itu.
Sabtu lalu, kami pun menjalani proses itu, melahirkan secara normal. Jika pada kelahiran Bani bisa dibilang aku terima beres, maka tidak dengan kelahiran kali ini. Jika pada kelahiran pertama Bunda tak mengalami kontraksi, maka tidak dengan kelahiran kedua ini.
Sejak di rumah, dia sudah mengalami kontraksi. Awalnya hanya tiap 15 menit sekali. Lalu tiap 5 menit. Begitu pula ketika sudah tiba di Rumah Sakit Bersalin Harapan Bunda, Denpasar. Bunda terus menerus mengalami sakit yang makin terasa seiring makin besarnya bukaan.
Naluri kali ya. Aku yang semula takut pun mau tak mau harus menemani dia mengalami sakit itu. Selain menyediakan diri untuk dijambak-jambak saat dia mengalami sakit juga memberi dukungan dengan kalimat standar, “Ayo, Bun. Semangat. Tinggal sedikit lagi. Kita pasti bisa.” Padahal, sebenarnya, aku pun takut dengan situasi saat itu. Seperti merasakan sakitnya.
Ketakutan
Semua lenguh kesakitan itu berubah jadi tangis kebahagiaan ketika anak kedua kami, Satori Nawalapatra pun lahir lewat water birth. Kami membuktikan bahwa kami berhasil melawan ketakutan dan mitos yang selama ini diciptakan industri kesehatan ibu dan anak tersebut. Mitos ini, setidaknya dipelihara sebagian dokter yang pernah menangani kami.
Mitos pertama, jika kelahiran pertama dilakukan lewat operasi sesar, maka yang kedua tak mungkin normal. Jelas ini salah. Pada kelahiran pertama dulu, Bunda menjalani lewat sesar. Nyatanya kali ini dia bisa melahirkan dengan cara normal, lewat water birth.
Salah satu alasan yang terus dipelihara untuk mendukung mitos ini adalah bahwa luka bekas sesar itu akan menyebabkan sakit berkepanjangan. Nyatanya tidak benar. Ketika mengalami kontraksi saat bukaan, kami memang bolak-balik ditanya perawat apakah luka bekas operasi baik-baik saja atau tidak. Cuma itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.
Bekas operasi sesar itu pun tak masalah. Baik-baik saja.
Mitos kedua, bahwa perempuan bermata minus tak bisa melahirkan secara normal. Ini salah satu alasan yang dulu disebut dokter tempat kami konsultasi untuk kelahiran pertama. Dia bilang karena minusnya besar, maka bisa berdampak pada kebutaan jika melahirkan dengan normal.
Ah, omong kosong. Sekarang aku tahu dia berbohong. Hanya menakut-nakuti. Mitos ini pun dibantah dokter tempat kami konsultasi untuk kelahiran anak kedua kami. “Tak ada masalah dengan mata minus jika mau melahirkan dengan normal,” kata dr Haryasa yang bagi kami memang amat mendukung water birth.
Nyatanya, meski mata Bunda minus 3, dia bisa tuh melahirkan secara normal. Tentu saja dia ngeden amat kuat saat melahirkan. Tapi, dia baik-baik saja. Tak terbukti bahwa ngeden pada saat melahirkan pada perempuan bermata minus bisa mengakibatkan kebutaan.
Ya, tentu saja selalu ada risiko. Tapi tak harus dipelihara dan dibuat menakuti pasien kan?
Selain melawan mitos itu tadi, ada pula beberapa hal positif lain dari proses melahirkan lewat water birth ini. Dari hitung-hitungan duit, biaya water birth ini relatif lebih murah dibanding lewat operasi sesar. Sekali lagi ini relatif dan mungkin tergantung rumah sakitnya.
Beberapa teman yang melahirkan lewat operasi sesar bisa menghabiskan sampai Rp 12 juta. Nah, kalau kami mengeluarkan biaya melahirkan dengan water birth ini total jenderal Rp 7,4 juta. Harga ini bahkan lebih murah dibanding biaya kelahiran Bani 5,5 tahun lalu.
Hal lain yang menurutku paling penting dari proses melahirkan lewat water birth ini adalah suami jadi tahu bagaimana beratnya istri melahirkan. Hal serupa bisa saja terjadi pada proses melahirkan secara normal lain. Cuma, setahuku tetap saja beda.
Pada kelahiran secara normal, suami biasanya mendampingi di samping. Tentu saja tetap bisa merasakan bagaimana perjuangan istri melahirkan. Namun akan lebih terasa jika lewat water birth. Sebab, pada kelahiran lewat water birth, suami harus ikut nyemplung ke bak air membantu istri dengan cara memeluk istri dari belakang.
Katakanlah ini lebay, tapi dengan cara memeluk istri dari belakang ini, suami kok jadi benar-benar bisa merasakan beratnya istri melahirkan. Dia bisa merasakan langsung tiap tarikan napas, erangan kesakitan, serta beratnya proses ngeden untuk mengeluarkan jabang bayi ini.
Sekarang aku jadi tahu sendiri. Proses melahirkan itu memang pertaruhan hidup mati bagi perempuan. Melahirkan itu sesuatu yang sakral.
Leave a Reply