Lima tahun yang lalu…
Dari tempat kost gue di Kiaracondong menuju ke kampus gue di daerah Daeyuhkolot, gue mau gak mau pasti ngelewatin Pasar Kiaracondong. Yang namanya pasar itu pasti bikin macet, gak beraturan dan rame. Butuh waktu 1/2 – 1 jam hanya untuk ngelewati jalan depan pasar ini yang cuma berjarak kurang lebih 300 meter…. *keluh*.
Pedagang yang berjualan sembarang, angkot yang ngetem seenaknya, tukang becak yang parkir sembarangan, orang lalu-lalang di jalan raya, plus beceknya pasar bikin suasana terlihat “chaos” disana. Gue sendiri juga heran kenapa orang-orang masih aja ramai belanja disana.
***
Siang itu gue lagi butek banget. Lagi banyak masalah, mulai dari masalah skripsi yang belum kelar, warnet, kerjaan sampai masalah hati. Ditambah lagi jalan lagi macet-macetnya depan pasar kiaracondong. Udah bukan macet lagi namanya, tapi kayak mobil parkir di jalan raya saking lamanya gak jalan-jalan.
Gue duduk di belakang dekat pintu keluar, wajah sayu memandang keluar ngelihat orang-orang dengan kesibukannya. Ada 2 orang yang menarik perhatian gue, tukang service jam, dan satu lagi tukang jualan kaset. Mereka terlihat pembicaraan serius. Gue gak gitu denger apa yang mereka omongin tapi dari wajah seriusnya kelihatan kalo itu…..serius. Suara-suara mereka ketutupan ma suara jedang-jedung dari si tukang penjual kaset. Si tukang service jam sesekali mendekatkan diri, mungkin supaya suaranya terdengar lebih jelas.
Dan kemudian…mereka tertawa. Memang tidak ada yang aneh dengan tertawa mereka. Mereka tertawa lepas, raut serius dimuka mereka hilang. Yang ada hanya kebahagiaan, mata berbinar dan tertawa lepas. Mereka tidak peduli orang yang lalu lalang, mereka hanya tertawa. Tertawa seperti kita menerima hadiah terindah dalam hidup kita, tertawa seperti tanpa beban dalam hidup. Hanya tertawa…dan tertawa
Tertawa mereka mengusikku, membuatku berpikir tentang diriku dan mereka. Bukan maksud merendahkan mereka, tapi bayangkan, berapa orang sehari akan menservice jam? berapa orang sehari membeli kaset?. Belum lagi tempat mereka berjualan tidak representatif. Belum pungutan-pungutan liar. Belum lagi biaya makan dan hidup mereka. Bagaimana dengan keluarga mereka? Bagaimana mereka menafkahi hidup keluarganya?. Bagaimana juga mereka bersaing dengan tukang service jam dan tukang jualan kaset yang ada di sekitar. Dan ribuan bagaimana-bagaimana muncul di kepalaku. Dan kamu tahu…. mereka bisa tertawa?. Siang bolong yang panas, suasana macet yang menjengkelkan dan beban hidup yang berat, mereka tertawa.
Dan gue? gue masih punya orang tua yang memberi gua uang tiap bulannya. Gue masih kuliah di salah satu kampus yang cukup favorite dan punya masa depan, gue masih punya warnet tempat gue mulai belajar tentang IT dan mulai ngerti arti kata “punya usaha sendiri”. Gue masih makan yang enak, gue masih punya baju yang lumayan bagus, gue masih punya temen-temen, masih punya orang yang sayang sama gue. Gue masih dikasih kesempatan untuk hidup.
Tapi…. tapi kenapa gue ngerasa hidup gue susah banget dan ribuan masalah datang mendera gini?.
***
Cukup lama gue diem dan gue ngerasa bodoh banget. Kenapa dengan begitu banyak kelebihan yang diberikan kepada gue di banding mereka, mereka bisa tertawa lepas dan gue mutung kayak langit mau runtuh. Kayaknya persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan hidup yang mereka hadapi jauh lebih kompleks daripada gue, tapi mereka bisa “pasrah” dan mereka bisa tertawa.
Entah kenapa setelah itu gue ngerasa lebih lega. Gue juga belum menemukan jawaban-jawaban dari masalah gue. Tapi perasaan gue lebih tenang dan pikiran gue lebih jernih. Gue ngerasa lebih “ringan”.
Setiap gue ngalamin masalah yang menurut gue “berat”, gue selalu ingat ketawa kedua orang itu. Itu bikin gue semangat lagi dan berpikir lebih jernih buat menyelesaiin masalah-masalah gue.
Gue percaya kalau tiap orang punya pertempuran-pertempurannya masing-masing. Bagaimana kita bersikap itu yang menentukan gimana hasil akhirnya.
Jadi…
“Tetap semangat.. dan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang“
Leave a Reply