Satu persatu sahabat pergi. Selamat jalan Mas Ari Wangsa. Rest in peace. Belum sempat ketemu untuk saling bermaaf’an.
Engkau adalah fenomena. Seorang manusia kuat yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Berdiam diri nun jauh disana, dilereng pegunungan Subaya. Rumah kedua kami ketika pikiran bosan dengan hingar bingar kota.
Engkau dengan segala sahaja, menerima kami untuk sekedar bernyanyi, duduk sekenanya, menikmati hawa dingin pegunungan dan mengajak untuk tetap ceria. Iya, ledakan tawamu yang membahana, pecah kesunyian dinginnya malam. Itu yang kuingat, tawa menggelegak diselingi dengan batuk-batuk menggigil setelahnya.
Engkau betah melajang karena idamanmu telah lama tiada. Tahu bentuknya tapi lupa rasanya, candamu. Semoga kepergianmu ini untuk bertemu dia disana. Bahagia disana ya mas.
Mohon maaf atas semua salah dan khilafku. Terima kasih atas semua sahaja dan kebaikanmu. Kesendirianmu di Subaya adalah cerminan bagiku untuk mengada kepada segala keberadaan yang ada. Bersyukur atas segala yang ada.
Mas, pertemuan terakhir kemarin kita tanam bibit pohon di perbukitan mu untuk sahabat yang telah mendahului. Seakan tak percaya mas, nanti kita menanam satu bibit lagi, untukmu.
Leave a Reply