Sekali Lagi Tentang Sirkumsisi Laki-laki: Antara Tradisi, Pencegahan HIV dan Hak Seksual

Apakah tradisi sirkumsisi yang sejak lama dipraktekkan atas dasar kepercayaan sesungguhnya adalah memang untuk kesehatan dan ramalan akan upaya pencegahan dari penyakit tertentu? Atau sirkumsisi justru memangkas hak-hak seksual manusia dalam mengeksplorasi seksualitasnya? Belakangan ini ada hal yang menarik perhatian karena menjadi sebuah kontroversi lagi, menyangkut rekomendasi terbaru yang diusulkan oleh CDC (Center for Disease Control) tentang sirkumsisi laki-laki.

Sekilas Tentang Sirkumsisi

Sirkumsisi, khitan atau sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh preputium (prepuce, foreskin, frenulum, kulup) yang menutupi glans penis (kepala penis). Kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latincircum” (memutar) dan “caedere” (memotong). Sirkumsisi memiliki riwayat sejarah yang sangat panjang sebagai salah satu tindakan bedah pertama yang dilakukan manusia. Ada tiga alasan utama orang menjalani sirkumsisi: (1) alasan kepercayaan, (2) indikasi medis dan (3) pencegahan penyakit.

Sirkumsisi Dan Tradisi

Sirkumsisi telah dilakukan sejak jaman prasejarah, dilihat dari gambar-gambar di gua yang berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba. Alasan sirkumsisi masih belum jelas pada masa itu tetapi teori-teori memperkirakan bahwa sirkumsisi merupakan bagian dari ritual pengorbanan atau tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, tahapan menuju dewasa, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk menghambat fungsi seksual yang dianggap berlebihan. Sirkumsisi pada laki-laki diwajibkan pada agama Islam dan Yahudi. Sirkumsisi juga terdapat di kalangan mayoritas penduduk Korea Selatan, Amerika, dan Filipina. Dalam Islam, sirkumsisi tidak hanya dilakukan pada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan. Pada perempuan sirkumsisi dilakukan dengan memotong bagian kulit yang terlihat menonjol ke atas vagina, dalam hal ini sering kali klitoris dan sebagian labia mayora dan labia minora. Metode klasik yang dilakukan secara tradisional adalah dengan menggunakan sebuah alat tajam misalnya sebilah bambu tajam atau pisau yang  langsung memotong preputium tanpa anesetesi (pembiusan). Bekas luka tidak dijahit dan langsung dibungkus dengan kain atau ramuan herbal tertentu. Sering kali cara ini mengakibatkan perdarahan dan infeksi.

Sirkumsisi Laki-laki Untuk Kesehatan Dan Pencegahan Penyakit

Indikasi medis yang paling sering ditemui adalah phimosis. Kondisi lain adalah paraphimosis, balanopostitis berulang (recurrent balanopostitis) dan balanitis xerotica olbiterans. Sedangkan beberapa penyakit yang diduga berkurang risikonya dengan menjalani sirkumsisi adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK), beberapa jenis Infeksi Menular Seksual (IMS), kanker serviks (pada pasangan seksualnya) dan kanker penis. Karena masih dugaan, seringkali masih mengundang kontroversi saat didiskusikan.

Kejadian ISK pada anak laki-laki usia sekitar 10 tahun adalah 1-2%. Ginsburg dan McCracken pertama kali melaporkan insiden ISK lebih tinggi pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi. Di sisi lain, terdapat 2% (20 per 1.000) kasus komplikasi dari prosedur sirkumsisi, terutama perdarahan dan infeksi. Beberapa publikasi mengenai hubungan antara sirkumsisi dan IMS masih sering membingungkan. Riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki yang tidak disirkumsisi dapat menjadi faktor risiko tertular herpes simpleks (HSV) tipe-2 pada perempuan. Kalau sebuah studi di Australia pada tahun 1983 menyebutkan bahwa herpes genitalis, kandidiasis, gonore dan sifilis lebih sering terjadi pada laki-laki yang tidak disirkumsisi, tetapi justru sebuah studi baru di Australia juga malah menyebutkan bahwa sirkumsisi tidak memiliki dampak signifikan pada insiden IMS umum. Sebuah penelitian baru-baru ini melaporkan peningkatan risiko infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada laki-laki yang tidak disirkumsisi, dibandingkan dengan yang sudah disirkumsisi. Perempuan monogami yang pasangan laki-lakinya tidak disirkumsisi dan juga melakukan  hubungan seksual dengan enam atau lebih pasangan seksual memiliki risiko kanker serviks lebih tinggi dibandingkan perempuan yang pasangan seksualnya disirkumsisi dengan tipe prilaku seksual yang sama. Kanker penis merupakan kondisi yang jarang terjadi, dengan kejadian tahunan sekitar 1:100.000 laki-laki di dunia. Ada bukti bahwa sirkumsisi pada bayi akan memeberikan perlindungan dari kanker glans penis tapi tidak dari bagian shaft penis.

Sirkumsisi dan Pencegahan HIV

Secara kumulatif kasus pengidap HIV dan AIDS di Indonesia yang telah dikoreksi dari tanggal 1 Januari 1987 hingga 31 Maret 2009 terdiri dari HIV 6.668 kasus, AIDS 16.964 kasus, sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 23.632 kasus, dengan angka kematian 3.492 jiwa. Belakangan ini meningkatnya HIV dan AIDS lebih banyak dikarenakan hubungan heteroseksual. Jika dilihat dari faktor risiko maka antara lain heteroseksual mencapai 8.210, homoseksual mencapai 628, jarum suntik atau IDU mencapai 7.125, transmisi perinatal atau ibu yang sedang hamil yang menular kepada bayi mencapai 390, dan tak diketahui sebabnya mencapai 611 kasus.

Anjuran penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual masih menemui banyak hambatan.  Metode pencegahan yang di kontrol oleh perempuan (female control method) melalui femidom yang dimunculkan lagi sesungguhnya didasarkan atas kenyataan bahwa angka penggunaan kondom yang masih relatif rendah dalam hubungan seks yang berisiko adanya fakta bahwa banyak pria yang sering melakukan hubungan seks berganti pasangan enggan untuk menggunakan kondom sehingga meningkatkan risiko penularan HIV.  Lalu, adanya kabar baik tentang kemunculan mikrobisida yang tadinya membawa harapan pun akhirnya kandas.

Sebagai tanggapan atas kebutuhan mendesak untuk mengurangi jumlah infeksi HIV baru secara global, World Health Organization (WHO) dan UNAIDS mengadakan konsultasi pakar internasional pada bulan Maret 2007 untuk menentukan apakah sirkumsisi laki-laki harus direkomendasikan sebagai standar pencegahan HIV. Dari beberapa uji klinis yang telah dilakukan menunjukkan sirkumsisi pada laki-laki dapat mengurangi penularan HIV hingga 60%. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, para ahli yang menghadiri konsultasi merekomendasikan bahwa Sirkumsisi laki-laki sekarang harus diakui sebagai suatu intervensi penting tambahan untuk mengurangi risiko infeksi tertular HIV secara heteroseksual pada laki-laki.

Di sisi lain, The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) saat ini malah mengeluarkan pernyataan melalui sebuah studi baru yang dilakukan oleh CDC, bahwa  sirkumsisi tidak mengurangi risiko tertular HIV di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Studi CDC ini juga untuk melengkapi pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kesimpulan yang didapatkan oleh UNAIDS juga bisa berlaku sama di seluruh dunia? Studi-studi yang dilakukan dan dikutip oleh UNAIDS sebagian besar di  Afrika, di mana prevalensi HIV tinggi, angka sirkumsisi laki-laki rendah, dan cara penularan HIV yang paling utama adalah lewat hubungan heteroseksual. Tentu saja situasinya di tempat lain belum tentu sama. Misalnya di Amerika Serikat, setengah dari semua infeksi baru terjadi pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. Cara penularan seperti ini tidak terlalu berpengaruh dengan prosedur sirkumsisi.

CDC telah merilis sebuah pernyataan di situs yang menyatakan bahwa keputusan untuk merekomendasikan sirkumsisi sebagai sebuah prosedur resmi untuk pencegahan HIV masih belum final. Karena sesungguhnya perlu dipertimbangkan juga bahwa bayi laki-laki yang baru lahir tanpa sempat disirkumsisi pun bisa tertular HIV, dan laki-laki yang sudah disirkumsisi tetapi melakukan aktivitas seksual sesama laki-laki belumlah terlindungi dengan sirkumsisi ini. Maka pada akhirnya keputusan akhir yang diperlakukan CDC saat ini, sirkumsisi adalah bersifat sukarela.

Sebenarnya sirkumsisi hanyalah mengurangi risiko infeksi HIV, bukan itu mencegah infeksi. Laki-laki masih harus menggunakan kondom untuk mencegah HIV. Sirkumsisi diyakini dapat melindungi orang dari infeksi HIV karena preputium penis lebih rentan terhadap HIV dan dapat menjadi tempat masuk utama virus.

Sirkumsisi dan Hak Seksual

Hak-hak Seksual yang disepakati menurut WHO pada Juni 2009 didasari atas HAM yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan, meliputi hak akan; (1) Akses  layanan kesehatan seksual  termasuk kesehatan  reproduksi ,(2) Semua layanan yang terkait dengan seksualitas, (3) Pendidikan seksualitas, (4) Penghormatan terhadap integritas tubuh, (5) Memilih – memutuskan  pasangan seksual, (6) Memutuskan aktif secara seksual atau tidak, (7) Konsensus relasi seksual, (8) Konsesus pernikahan, (9) Memutuskan  punya  anak atau tidak, (10) Memperoleh kepuasan seksual dan (11) Jaminan hubungan seksual yang aman (tidak menulari dan ditulari IMS dan HIV).

Jurnal of Urology April 2005 menyebutkan bahwa sirkumsisi menurunkan kepuasan seksual karena pada preputium yang dipotong tersebut terdapat syaraf-syaraf yang sangat peka. Selama ini, bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi, nampaknya semua sepakat tentang pelarangan sirkumsisi pada perempuan. Karena tindakan inipun  tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Ada kritik bahwa tindakan sirkumsisi yang dilakukan orang tua terhadap anak laki-lakinya mengandung arti bahwa orang tua telah mengambil hak anaknya dalam memutuskan tindakan terhadap tubuhnya, termasuk keputusan dan hak seksualnya. Namun dalam hal ini, pertimbangan keagamaan dan budaya sering kali masih diakui dalam mengambil keputusan. Karena itu, tentu saja tugas petugas medis adalah memberikan informasi apa adanya, agar orang tua dapat memutuskan sendiri pilihan bagi anaknya.

Pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki sirkumsisi terbukti memiliki fungsi yang signifikan dalam pencegahan HIV, karena aktivitas seksual ano-genital atau seks anal tetap sangat berisiko menimbulkan peluang penularan walaupun sudah disirkumsisi. Ini juga memberikan nilai risiko juga kepada pasangan heteroseksual yang juga melakukan seks anal sebagai variasi seksualnya. Aktivitas seks anal sendiri bukanlah sebuah anomali. Di samping dilakukan oleh laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki, seks anal sering juga dilakukan oleh pasangan heteroseksual sebagai variasi seksual. Dan melakukan seks anal sebagai variasi seksual adalah hak seksual dari setiap orang untuk bisa mengeksplorasi seksualitasnya. Selama pasangan menyetujuinya dan tidak ada hambatan psikis maka hal ini bisa dilakukan dengan menyenangkan bersama.

Simpulan

Berdasarkan perkembangan terakhir atas pertimbangan sosial, kesehatan dan hak seksual manusia, maka tentang sirkumsisi pada laki-laki dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Keputusan sirkumsisi itu individual. (2) Kalaupun laki-laki sudah disirkumsisi bukan berarti aman dari infeksi menular seksual, karenanya tetap harus menggunakan kondom, karena manfaat sirkumsisi masih parsial. (3) Perlu diperhatikan secara hak-hak seksual dalam tindakannya dan dipertimbangkan dengan baik karena pada sebagian orang menghilangkan kenikmatan seksual.

Disampaikan dalam Kongres Nasional Seksologi 2009 di Pontianak dan dimuat di Harian Dewata Pos, Maret 2010
Gambar dari www.danheller.com


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *