oleh:
Agung Wardana
Kontestasi politik yang semakin terbuka hari ini membuat banyak kalangan elit mengadu peruntungannya dengan jalan mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg). Sepintas hal tersebut merupakan hak politik setiap warga negara untuk dipilih dan memilih, namun secara mendalam terdapat hal penting yang perlu dicermati bersama dari sudut pandang ekologi politik.
Elit yang beradu menuju parlemen mengeluarkan dana yang sedikit untuk menggalang suara pemilih sebagai ongkos politiknya. Banyak juga para caleg melepaskan aset yang dimiliki, misalkan dengan jalan menjual tanah, untuk membiayai hasrat kekuasaannya. Fenomena pelepasan tanah menjelang Pemilu tahun ini bukanlah suatu yang sulit untuk ditemukan karena sifatnya sedemikian masif hingga diplosok-plosok desa sekalipun.
Namun, ditengan lesunya laju ekonomi saat ini, tentu saja pihak yang mampu membeli tanah adalah orang yang memiliki modal kuat. Sehingga tanah yang dijual akan berpindah tangan pada segelintir orang saja. Terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir elit pemodal akan menutup peluang pembelian atau penguasaan kembali tanah yang telah dikuasai.
Pemodal tidak akan melepaskan aset yang telah ada digenggamannya dengan mudah, melainkan justru akan berusaha keras mengeksploitasi sedemikian rupa untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan demikian fungsi tanah yang bernilai sosial-religius akan bergeser menjadi tanah hanya sebagai komoditas, dan masyarakat lokal yang tidak mampu akan terus dipinggirkan.
Hal tersebut belum termasuk hal yang terjadi dibelakang panggung, yakni politik sebagai infrastruktur modal untuk meluaskan ekspansinya. Tidak mengherankan bila para pemodal membiayai para jago nya untuk berlaga memperebutkan kursi parlemen, ketika menang, berbagai konsesi dan kebijakan siap dibuat untuk memuluskan jalan pengerukan keuntungan bagi sang majikan.
Budaya Politik Instan
Keinginan berkuasa tanpa perlu berkeringat membangun investasi politik ditengah masyarakat, membuat para caleg mencari jalan instan. Konsumsi barang yang serba instan sebagaimana dianjurakan oleh iklan menjadi pilihan untuk mempopulerkan diri. Banner, baliho dan berbagai alat kampanye pun dipasang disetiap ruang terbuka tanpa etika dan estetika.Semakin kaya sang caleg semakin banyak konsumsinya terhadap alat kampanye instan dan dengan demikian keluaran sampahnya pun semakin besar.
Di Bali saja terdapat 5065 orang caleg yang bertarung untuk DPR RI, DPRD tingkat I maupun DPRD tingkat II. Jika diasumsikan setiap orang caleg membuat setidaknya 10 buah banner dengan lebar masing-masing 3 meter persegi saja maka terkumpul sampah banner sebanyak 151.950 meter persegi. Dengan jumlah sebesar itu, maka dapat menutupi seluruh Pulau Serangan sebelum reklamasi yang hanya berluas 111.900 meter persegi jika sampah tersebut dibentangkan.
Pertanyaannya, akan dibawa kemana sampah-sampah tersebut? Bila mengacu pada budaya politik yang serba instan, maka tidak mustahil jawaban terhadap permasalahan tersebut juga akan instan. Misalkan dengan jalan dibakar, padahal hal ini jelas-jelas akan sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Pernahkah para caleg berpikir bahwa merekalah produsen sampah tersebut, sehingga mereka pulalah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaannya?
Jangan sampai sampah yang menjadi permasalahan produsen, setelah berakhirnya pemilu justru menjadi permasalahan seluruh masyarakat. Dan para caleg yang telah dapat melampiaskan libido kekuasaaannya sibuk dengan urusan balik modal dan pemenuhan konsesi bagi para sponsor. Kemudian kumpulan caleg yang kalah bergeser kepinggiran bersama masyarakat lokal yang kehilangan aksesnya terhadap ruang hidup, menghibur diri dengan menganggap sampah tersebut adalah konsekuensi demokrasi yang harus ditanggung bersama.
Menyitir kata ungkapan para ahli bahwa demokrasi itu mahal memang ada benarnya karena demokrasi disini telah menyedot sumber daya sedemikian besar sehingga menimbulkan sampah sebagai hasil dari konsumsi yang juga tidak kalah besar. Tidak salah jika kemudian muncul ungkapan bahwa demokrasi kita adalah ‘demokrasi’ sampah.
Direktur Eksekutif WALHI Bali
(Friends of the Earth Indonesia)
Tinggal di Tabanan
Leave a Reply