Perbanyak Semut untuk Menandingi Gajah


Kita tak punya modal melawan gajah. Maka, cukuplah perbanyak semut. Setidaknya dia akan memberikan pilihan.

Ini bukan soal hewan-hewan koleksi di kebun binatang. Ini soal strategi membuat wacana berbeda di antara media-media arus utama di Bali. Sebab, kurangnya media alternatif itu membuat suara-suara alternatif masyarakat sipil juga tak terlalu muncul di media.

Kegelisahan tentang kurangnya media alternatif itu memang bukan bahasan utama oleh para pegiat gerakan masyarakat sipil Bali dalam diskusi santai Selasa kemarin. Ngobrol santai di Federasi Fair Trade Indonesia ini diikuti penggiat gerakan masyarakat sipil. Yayasan Wisnu, Mitra Bali, Aliansi Jurnalis Independen, Kalimajari, Taman 65, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH), Matamera, Sloka Institute, dan lain-lain ikut di diskusi ini.

Isu tentang media hanya sekilas dibahas di antara isu-isu lain, terutama ekonomi kerakyatan, lingkungan, dan lain-lain. Tapi, meski sekilas dibahas, ide soal perlunya media itu amat perlu dibahas lebih lanjut. Setidaknya di blogku sendiri.

Ada ide membuat media alternatif. Bentuknya cetak.

Tapi, menurutku, media cetak ini sudah masa lalu. Selain makin berkurang pembacanya juga karena banyaknya modal yang dibutuhkan. Di sisi lain, pembaca media kini lebih aktif di jejaring sosial atau media online.

Maka, itulah salah satu jawabannya: mengelola media online bersama-sama ataupun secara personal. Perbanyaklah orang yang membuat dan mengelola media personal semacam blog. Lalu, aktiflah pula di jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Jika media arus utama adalah gajah, maka media-media personal ini adalah semut. Gajah mungkin menang karena dia punya modal besar. Tapi, kalau semut itu banyak, maka dia bisa jadi tandingan gajah. Tentu saja tidak akan mengalahkan tapi bisa jadi pilihan.

Dan, memang tak terlalu susah untuk mendorong banyaknya media ala semut ini. Teknologi informasi sudah menyediakannya. Untuk membuat blog, orang tak perlu modal duit apa pun selain koneksi internet. Ini jika blognya gratisan nebeng di mesin penyedia, seperti Blogspot atau WordPress.

Kalau pakai alamat blog (domain) dan tempat menyimpan data (hosting) sendiri memang relatif lebih mahal, antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per tahun. Tapi, itu tak ada apanya dibanding modal membuat media cetak.

Kemudahan membuat dan mengelola blog ini akan menjangakau pembaca lebih luas kalau disandingkan dengan kekuatan viral jejaring sosial. Ibaratnya, blog itu suara dari tenggorokan maka jejaring sosial itu speaker atau amplifier yang membuat suara lebih keras dan bergema. Jadi, makin banyak orang akan tahu satu sama lain.

Para penggiat gerakan masyarakat sipil ini, menurutku, adalah kekuatan tersendiri. Mereka cukup aktif di isu masing-masing. Tak hanya punya suara tapi juga sikap. Jadi, selain menulis juga bisa memengaruhi melalui tulisan dan medianya.

Ketika suara-suara warga semakin banyak dan terhubung, maka orang tak perlu lagi media arus utama, terutama cetak. Atau, ya, setidaknya tidak akan menjadikannya sebagai acuan utama. Lha, untuk apa? Selain harus membeli juga isunya itu-itu saja: kriminal, politik, berita iklan, seremonial, skandal. Buat apalagi mengonsumsinya?


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *