Oleh:
Agung Wardana
Deretan demi deretan masalah terjadi menghiasi halaman media massa kita setiap harinya. Pendidikan mahal, hingga seorang anak kecil bunuh diri karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Lihat saja kejadian pembagian zakat yang menelan korban 21 orang meninggal dunia di Pasuruan, fenomena daging olehan dari sampah merupakan fakta kemiskinan meradang di jamrud katulistiwa yang katanya kaya ini. Hal tersebut menjadi tamparan sekaligus pembuktian bahwa negara (pemerintah) telah gagal dalam memenuhi hak dasar rakyat.
Pragmatisme Rakyat
Suatu ketika penulis masuk ke sebuah desa yang dikenal miskin untuk membangun kesadaran tentang lingkungan hidup. Saat berdiskusi seorang masyarakat bertanya, berapa besar harga proyeknya. Sontak saja penulis kaget dengan pertanyaan seperti itu dan coba menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah ’proyek’ sebagaimana pemahaman umum. Karena dalam pehamanan umum proyek berarti bagi-bagi uang, habis proyek habis perkara.
Pemahaman ini terbentuk dari program-program pemerintah yang dibantu oleh LSM plat merah dimana dananya berasal dari lembaga pemberi hutang internasional. Program-program ini dilaksanakan menggunakan kacamata proyek sehingga diasumsikan bahwa setelah proyek selesai, hubungan masyarakat dengan pelaksana proyek pun dianggap selesai.
Pendekatan ’proyek’ yang melihat semua ruang dapat di nilai dengan uang ini kemudian terpatri sehingga menghancurkan daya tahan masyarakat dan nilai-nilai kemandiriannya. Ketika tidak ada proyek lagi, maka pengembangan masyarakat pun akan mengalami stagnasi. Masuklah masyarakat dalam kondisi yang pragmatis karena konstruksi secara sistematis dalam rangka membentuk suprastruktur ekonomi dominan.
Dewa Penyelamat Bernama Investor
Stagnasi masyarakat dan kemandulan pemerintah menjadi legitimasi bagi datangnya arus investasi modal dengan alasan menggerakkan ekonomi rakyat. Seolah-olah investasi menjadi satu-satu nya harapan bagi perbaikan masa depan generasi.
Kedatangan investor yang difasilitasi dengan berbagai kemudahan oleh pemerintah disambut dengan meriah karena dianggap akan membawa proyek-proyek baru. Ketika berhadapan dengan masyarakat janji-janji usang pun ditebarkan, mulai dari rekrutmen tenaga kerja, pendapatan untuk kas desa, hingga pembenahan tempat suci. Masyarakat yang pragmatis melihat janji-janji usang tersebut seperti hujan yang dinanti-nanti ketika musim kemarau.
Dalam banyak kasus, janji-janji usang ini tidaklah sebaik yang dimimpikan masyarakat. Karena memang investor telah menyiapkan skenario-skenario muslihat keluaran para akademisi dari kampus ternama yang juga telah terbeli. Mulai dari penggeseran tenaga kerja lokal, permainan redaksional dalam MoU, hingga alasan tidak memperoleh keuntungan kemudian menjual asetnya dengan harga yang lebih tinggi.
Memang hal ini bukanlah sepenuhnya kesalahan masyarakat, karena merupakan perpaduan dari berbagai kondisi yang terjadi. Ketidakmampuan pemerintah memberdayakan ekonomi masyarakat secara efektif, pelayanan sosial diserahkan kepada mekanisme pasar, sehingga membuat masyarakat memalingkan harapannya kepada investor. Dalam kondisi ini pemerintah hanya menjadi fasilitator yang melepaskan tanngungjawabnya untuk melayani hak dasar rakyat.
Pilihan untuk menyerahkan pelayanan hak dasar rakyat kepada investor adalah kesesatan pikir yang menggejala saat ini. Padahal kita telah ketahui bersama bahwa investor yang hanya memiliki satu hukum saja, yakni ’modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya’.
Investor tidak akan ambil pusing jika mendengar penggusuran, kelaparan, putus sekolah, konflik horizontal, kerusakan lingkungan sepanjang tidak mengganggu proses penumpukkan keuntungan mereka.
Penulis, Aktivis Lingkungan
Tinggal di Tabanan
Leave a Reply