Pemecah Batu Paras, Harus Bekerja Keras

Pagi hari ini, di awali dengan insiden gek weda ‘Krik krik’ di depan gerbang rumah #kemenuh (hahaha..yang ini off the record yaa..) kami memulai petualangan hari ini. Walaupun hari Sabtu, Saya dan kelompok (IKM angkatan 2010) tetap membuat tugas kunjungan lapangan mata kuliah hygiene Industri ke pemecah Batu Paras di daerah Tegenungan *mahasiswa teladan* #ceritanye

Kemarin saya sempat membuat janji dengan pak untuk datang hari ini ke tempat kerja mereka di daerah Tegenungan. Tak begitu jauh dari rumah, memang, namun sebelumnya saya belum pernah mendapat kesempatan (terdesak) untuk tahu lebih jauh tentang lokasi kerja pemecahan batu paras tersebut. Hari ini kami datang dengan sedikit ngos-ngosan akibat menempuh ‘jalanan U’ dengan perut keroncongan, hahaha….. *Gigit Bantal*

Disapa oleh udara yang sejuk dan air yang jernih, perhatian kami tertuju pada sosok tegap bertelanjang dada yang sedang sibuk memecah bebatuan. Badannya legam, keringatnya berkilau terkena matahari. Dan ketika kami dekati sambil memberikan salam, iapun membalas dengan senyuman.  Namanya Pak Jingga, usianya sekitar 60 tahun.  Semenjak anaknya kecil, hingga kini telah dewasa dan berkeluarga ia masih setia menjadi seorang pemecah batu paras.  “Sudah 20 tahunan lebih kira-kira dik, tapi anak saya tidak ikut lagi karena sudah kerja bikin lampion, ada juga yang kerja di dealer”, tuturnya dengan ramah. Pak Jingga bekerja tak sendiri, ia ditemani istri tercintanya. Jika ia bertugas memecah, mengungkit, dan membentuk batu paras,  maka sang istri bertugas untuk mengangkat batu tersebut dan menata nya ke mobil pembeli.

Sebuah batu paras (disebut sepapan) berukuran besar dihargai 5500 rupiah, untuk ukuran sedang 2700 rupiah, dan kecil 1500 rupiah. Dalam satu hari ia bisa menghasilkan 10 papan besar dan beberapa buah papan sedang dan kecil. “ Karena saya bekerja untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari saja ya saya bekerja sekuat tenaga saja. Jika tidak kuat ya saya hentikan”, ucapnya kepada kami. Matahari yang terik sekitar jam 11 siang tak menghentikan ayunan tangannya untuk kembali memecah batu paras tersebut hingga berbentuk papan. Lalu kapan ia istirahat? “kami istirahat tak tentu, kadang jika tangan sudah kesemutan atau saat lapar sudah tak bisa ditahan lagi”. Ibu Made, istri beliau mengungkapkan hal yang sama “Ya jika ingin tetap hidup kami harus bekerja, tapi saya sudah tua. Naik turun di perbukitan ini memang membuat lelah. Tapi jika mencari tukang suun (angkut) paras, kami mengeluarkan biaya 700 rupiah/papan. Jadi ya lebih baik saya yang angkut sendiri”.

Memang menurut saya pribadi, pasangan ini tergolong sangat kuat. Memecah paras dibawah terik, lalu mengangkatnya hingga ke jembatan atas. Alamak, saya ga bawa paras aja udah ngos-ngosan *plak!* (DASAR ANAK MANJA #tershitnetron). Ketika kami bertanya mengapa sepatu boat dan topi yang ada disana tak dipakai, ia pun menjawab, “ah….biar ga susah kerjanya. itu dipakainya jika hujan saja dik”.

Cerita menarik lainnya kami dapatkan dari pak Ketut, ia bekerja untuk sebuah perusahaan paras di wilayah Batuan. Selain sebagai pengelola ia juga bekerja sebagai buruh borongan. Jika pak Jingga bekerja sesuai kekuatan diri, pak Ketut kerja sesuai dengan target perusahaan. “ Kami ga ada istirahat. Jika capek diam sebentar abis itu lanjut lagi. Ga ada aturan jam kayak gitu disini. Kalo jam datang dan jam pulang sih ada. Dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore. Tapi kami kan memang butuh kerja“, tuturnya bersemangat. Ketika kami temui, ia mengenakan kaos dan celana panjang. Tangannya sempat tergencet paras, dan kami kembali menanyakan tentang ketersediaan APD (alat pelindung diri). “Jangankan alat pengaman diri dik, kami saja ga pernah dikasi tau kami harus pakai apa saja. Kalau terjadi apa-apa disini ya sudah nasib. Udah banyak kok korban longsoran disini, itu risiko kerja”. Pak Ketut sendiri sebenarnya tahu bahwa perusahaan wajib menyediakan APD untuk pekerjanya tapi karena pemerintah ga tanggap makanya hal yang seperti ini dianggap biasa saja. “ Ya kami perlu juga dapat penyuluhan kayak gitu dik, bantuan alat juga untuk di lapangan. Kan seharusnya sama ya kayak tukang togog (pengrajin ukiran kayu) kan sering mereka dapat penyuluhan sama bantuan dari pemerintah juga. Padahal risiko kami juga besar, kalau sudah longsor jeg sig ada apa be….. (tak ada apa).”
Padahal berdasarkan Undang-undang dan Permenakertrans dalam suatu perusahaan memang seharusnya menyediakan APD serta memberikan orientasi pemakaiannya pada pekerja. Namun hal krusial seperti ini seringkali diabaikan. Apalagi monitoring dan evaluasi belum begitu optimal sehingga kecelakaan kerja bisa terjadi kapan saja. *piuh*

Obrolan yang sangat menarik dengan bapak dan ibu di Tegenungan kali ini, banyak sekali saya dapat pelajaran dari kalian :’) Kehidupan memang keras yak, tapi harus tetap dijalani dengan bersemangat!

ps: semangat juga buat teman-teman IKM UNUD yang akan UTS senin depan, semangat juga buat saya yang ikut merasakan kenikmatan UTS lagi. Aku kakak kelas yang paling setia :’) *diLemparinGuntinganSlide*


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *