Nusa Lembongan

Pulau Kecil, Pariwisata dan Perubahan Iklim

oleh:

Agung Wardana

Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Bali dengan cepat menjadi sorotan dunia dalam beberapa hari belakangan ini karena menjadi salah satu tempat pengambilan gambar film Eat, Pray, Love. Film yang dibintangi oleh Julia Robert ini, diangkat dari buku berjudul sama karya Elizabeth Gilbert, diprediksi akan booming mengikuti bukunya yang telah jadi best seller pada 2006.

Nusa Lembongan, yang dipromisikan secara tidak langsung oleh film tersebut, juga akan booming menjadi salah satu tempat pariwisata utama menggeser Pulau Bali mengalami kejenuhan. Mengingat banyak turis yang mulai mencari kawasan yang terpencil, eksotis dan tentu saja bir murah. Sebagai dampak dari ketidaknyaman yang dirasakan para turis dengan kroditnya tempat wisata lama seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua.

Namun dibalik hiruk pikuk pengambilan gambar film dan prediksi booming-nya pariwisata di pulau kecil ini, tidak banyak yang tahu apa yang sedang dihadapi pulau ini. Sebagai sebuah pulau kecil yang memiliki daya tampun dan daya dukung terbatas, Nusa Lembongan menghadapi dua jenis ancaman sekaligus. Pertama, ancaman kerentanan di tingkat lokal, dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan, dan kedua adalah ancaman kerentanan di tingkat global, yakni dampak perubahan iklim.

Pertemuan Kerentanan Global dan Lokal
Pulau kecil dengan luas 8 km persegi dan berpenduduk kurang lebih lima ribu orang ini terbagi dalam dua Desa Jungut Batu dan Desa Lembongan. Secara geografis, Nusa Lembongan merupakan kawasan yang kering dengan curah hujan yang jarang. Kontur lahannya berbentuk perbukitan dengan sebagian besar merupakan karang dan tidak meliki sungai, sehingga membuat kawasan ini tidak dapat ditanami segala jenis tanaman.

Secara demografis, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani rumput laut dan tegalan lahan kering. Sebelum Revolusi Hijau, makanan pokok penduduk Nusa Lemobongan adalah singkong, namun setelah itu penduduk mulai terbiasa untuk mengkonsumsi beras. Dengan demikian, Nusa Lembongan menggantungkan suplai beras, dan sembilan bahan pokok (sembako) lainnya dari Bali daratan.

Kerentanan sosial pulau ini dapat dilihat dari minimnya infrasturktur layanan sosial dasar di Nusa Lembongan, seperti pendidikan dan kesehatan. Sekolah SMA, misalnya, hanya ada 1 sekolah dan saat ini justru sedang dalam sengketa antara pihak yayasan dengan pemilik lahan. Sekolah satu-satunya pun disegel dengan jalan menembok gerbang masuk sehingga anak-anak tidak dapat bersekolah. Begitu juga dengan infrastruktur kesehatan yang tersedia juga masih terbatas.

Disisi yang lain, melalui penelitian yang dilakukan oleh Bali Kolaborasi untuk Perubahan Iklim bersama Peneliti Muda Lembongan, ditemukan bahwa dampak perubahan iklim semakin nyata di pulau ini. Kenaikan permukaan air laut terjadi perlahan namun pasti menggerus kawasan pesisir sehingga terabrasi dan mengecil. Permasalahan dasar lainnya adalah kesulitan air minum sehingga memaksa masyarakat maupun hotel-hotel mengkonsumsi air minum kemasan yang disuplai dari Bali. Dampaknya, sampah botol air dalam kemasan di tambah sampah plastik menjadi ongkokan sampah di sudut-sudut desa.

Kenaikan suhu air laut dan tidak menentunya cuaca, menyebabkan penurunan penghasilan petani rumput laut. Karena rumput laut adalah spesies tanaman yang sensisitf terhadap prubahan suhu, belum lagi dengan penyakit tanaman ice-ice yang selalu saja datang. Terumbu karang juga menghadapi pemutihan, badai tengah laut semakin sering menyulitkan nelayan untuk menangkap ikan. Selain itu, juga mengganggu jalur transpotasi laut yang merupakan satu-satunya sarana tersedia untuk menghubungkan Nusa Lembongan dengan Bali dan Nusa Penida.

Kerentanan-kerentanan diatas akan diperburuk oleh pariwisata massal yang semakin masif mengikuti booming film Eat, Pray, Love sebagaimana prediksi. Turunnyanya tentu saja ekspansi arus investasi dalam rangka pengembangan infrastruktur pariwisata massal di pulau itu. Pada gilirannya, akan menggusur sumber kehidupan rakyat akibat pengkaplingan oleh investor dalam mengakumulasi modal di industri pariwisata massal.

Adakah Pemerintah Melakukan Sesuatu?
Marjinal dari segi letak geografis karena terpisah dari daratan utama (mainland) Bali, Nusa Lembongan juga marjinal dari perhatian dalam segi program pembangunan pemerintah. Pendekatan Bali-sentris dan bias dataran membuat Nusa Lembongan tertati-tatih mengatasi ancaman lokal maupun global yang dihadapinya. Selain itu, pemerintah nampaknya juga tidak mampu membaca ancaman dampak perubahan iklim di Nusa Lembongan.

Jika dilihat dari pelepasan emisi gas rumah kaca, maka kontribusi Nusa Lembongan relatif kecil. Jadi Nusa Lembongan sebenarnya merupakan korban dari dampak perubahan iklim akibat dari model pembangunan pariwisata Bali yang intensif-karbon. Penerbangan, aktivitas dan mobilitas dalam berwisata, konsumsi sumber daya alam, dan sampah yang dihasilkan pariwisata Bali berkontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon ke atmosfir sebagai penyebab perubahan iklim.

Ketidakadilan iklim juga terjadi dalam konteks lokal, sehingga Bali haruslah bertanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas Nusa Lembongan. Respon untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dari pemerintah kabupaten, provinsi maupun nasional sangat dibutukan segera dalam membantu Nusa Lembongan beradaptasi dari perubahan yang terjadi dan meningkatkan resiliensi rakyat. Lakukan sesuatu sebelum Nusa Lembongan menuntut keadilan kepada kita yang tinggal di daratan Bali.

Penulis, Aktivis Keadilan Lingkungan
Pendamping Peneliti Muda Lembongan


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *