Menuju Ruang Hidup Yang Lebih Adil dan Humanis
oleh
Agung Wardana
Para difable (orang dengan kebutuhan berbeda) yang oleh penguasa sering disebut penyandang cacat juga semakin terpinggirkan oleh sistem kota ini. Tuna netra dan orang yang menggunakan kursi roda harus menghabiskan hari-harinya dirumah karena jalanan bukanlah ruang yang ramah bagi mereka. Gedung-gedung publik, pemerintahan dan swasta pun tidak diciptakan untuk memberikan akses yang bagi mereka. Sebuah bentuk tindakan yang menegasikan keberadaan warga yang juga memiliki hak atas ruang-ruang kehidupan.
Kaum miskin kota dianggap penyebab kumuhnya wajah kota, dan atas nama estetika mereka pun diusir dari ruang-ruang kota yang semakin komersil. Persaingan untuk memperebutkan ruang hidup yang masih tersisa, karena sebagian besar telah nyaman berada ditangan segelintir elit, membuat ancaman stress pun meningkat. Rendahnya pelayanan kebutuhan dasar bagi kaum miskin kota ini menghadapkan mereka pada ancaman sakit ditengah semakin melangitnya biaya perawatan kesehatan.
Paradigma “Business as usual”
Saat ini Bali tengah hangat membahas rencana penyusunan aturan daerah tentang penataan ruang hidup kita hingga 20 tahun kedepan. Interval waktu yang cukup panjang untuk dilalui oleh sebuah aturan daerah yang sangat strategis, karena akan menentukan akan dibawa kemana Bali kedepan. Oleh karena itu, Rancangan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (Ranperda RTRW) Provinsi Bali tidaklah boleh dibuat secara tergesa-gesa apalagi kejar tayang dan mumpung berkuasa.
Jika dilihat secara paradigmatik, tim penyusun Ranperda Tata Ruang masih menggunakan paradigma business as usual tanpa mempertimbangkan ancaman Bali kedepan. Entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuannya pada acaman tersebut, seperti perubahan iklim misalnya. Paradigma ini dapat dilihat dari ketiadaan langkah mitigasi perubahan iklim, pengurangan aktivitas yang dapat melepaskan emisi gas rumah kaca, salah satunya pada sektor transportasi dan penataan kawasan urban.
Kita ketahui bersama bahwa ketiadaan sistem transportasi publik yang layak telah membuat jalan-jalan kita penuh sesak dengan kendaraan pribadi yang menjadi penyebab kemacetan. WALHI Bali mencatat bahwa setiap 3 orang di Bali memiliki 1 kendaraan bermotor. Terus, apa solusi yang ditawarkan pemerintah atas permasalahan ini? Seperti biasa, pemerintah menjawabnya dengan pembuatan jalan baru, dari under-pass, by-pass hingga toll dengan merubah kawasan produktif atas nama pengembangan kawasan.
Seorang spekulan real-estate di sebuah media internasional menyatakan bahwa pengembangan sebuah kawasan, berdampak pada naiknya nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah, merupakan hal yang positif bagi masyarakat lokal. Karena petani bisa menjual tanahnya dengan harga yang lebih mahal dan kemudian membeli tanah yang lebih murah ditempat lain. Jelas ungkapan tersebut pandangan yang mereduksi kompleksitas dunia pertanian di Bali. Cara pandang yang lumrah bagi penguasa dan pengusaha dalam memberikan justifikasi atas eksodus orang-orang yang kalah untuk semakin menuju ke pinggiran.
Wajah kota yang beringas dan meminggirkan rakyat seperti diatas akan tetap kita temukan jika Ranperda RTRW Provinsi Bali yang saat ini dalam proses pembahasan bisa lolos menjadi perda. Karena dalam Ranperda RTRW juga sama sekali tidak berbicara tentang keadilan dalam pemanfaatan ruang hidup, dan bahkan lebih celaka lagi, kita tidak diberikan sebuah gambaran tentang wajah Bali seperti apa yang dicita-citakan dalam kurun waktu 20 tahun mendatang.
Moratorium Pembangunan
Ranperda RTRW Bali yang dibahas saat ini tidaklah berangkat dari sebuah kajian holistik-integral tentang daya dukung dan daya tampung Bali dan disertai analisa tentang kekuatan, kelemahan, kesempatan dan acaman Bali. Dengan demikian, maka aturan tata ruang yang akan kita miliki nantinya hanyalah bersifat parsial dan tidak menjawab kebutuhan Bali kedepan.
Jika memang penyusunan Ranperda RTRW ini untuk mewujudkan kehidupan yang lebih adil dan humanis di pertiwi Bali ini, bukan sekedar proyek penyesuaian dari UU 26/2007, maka pemerintah harus mengambil langkah yang lebih maju yakni dengan melakukan moratorium (jeda) pembangunan. Jeda dengan jalan menghentikan sejenak pembangunan fisik tertentu, dimaksudkan untuk mengambil jarak dari sumber masalah utama di Bali, yakni investasi dan ekspansi pariwisata massal dan mencarikan jalan kelaur yang bersifat jangka panjang dan menyeluruh.
Saat moratorium dilakukan, aktivitas dan kebijakan akan diarahkan untuk melakukan pengkajian dan evaluasi atas permasalahan Bali selama ini yang kemudian menjadi dasar bagi penyusunan arah pembangunan kedepan. Bagi masyarakat sipil, saat jeda merupakan waktu yang tepat untuk membangun critical mass (masyarakat yang kritis) untuk bisa berpartisipasi dalam pengelolaan pembangunan Bali yang berdaulat, adil, lestasi dan imbang.
Keputusannya tentu ada ditangan Gubernur sebagai pemegang kekuasaan Bali yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Momen saat ini akan menjawab pertanyaan kita semua apakah Gubernur berani mengambil langkah maju dalam menyelamatkan Bali atau bersikap lunak terhadap peminggiran ruang hidup masyarakat lokal akibat desakan investasi. Dan 20 tahun kemudian, hanya anak cucu kita yang tahu, apakah Mangku Pastika akan dikenal sebagai seorang pahlawan atau seorang yang tidak mau menyelamatkan Bali disaat masih ada waktu untuk berbuat?
Penulis, Aktivis Lingkungan
Tinggal di Tabanan
(telah dipublikasikan oleh Metro Bali, 11 Mei 2009)
Leave a Reply