Moralitas yang Membelenggu Tubuh Perempuan

Aksi solidaritas untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Foto Beritagar.id

Aksi solidaritas untuk melawan kekerasan terhadap perempuan. Foto Beritagar.id

Pagi ini saya mengenakan kamisol dibalut jaket batik. Entah karena saya memang agak pecicilan atau karena hal lain, kamisol itu agak melorot. Sedikit banget. Tak banyak. Seorang ibu peserta pelatihan lalu menghampiri saya dan mengingatkan. “Mbak, maaf. Bajunya agak dinaikkan.”

Seandainya saja si ibu berhenti sampai di sini, saya akan sangat berterima kasih. Tapi karena ia melanjutkan ke kalimat kedua tetiba rasa terima kasih itu berganti menjadi rasa geram. “Saya saja risih lihatnya,” kata si ibu itu dengan pandangan mata yang merendahkan.

Kenapa saya geram?

Karena si ibu mengingatkan bukan untuk membuat saya merasa nyaman tapi untuk memuaskan hasrat moralnya sendiri. Sikapnya menyiratkan bahwa tubuh saya adalah obyek milik umum. Oleh karenanya ia bebas menginterpretasi bahwa tubuh saya sedang mengganggunya.

Ia merebut tubuh saya dari otonomi saya, seorang permpuan dewasa yang hampir berusia 40 tahun. Anda bisa bayangkan sikapnya jika saya seorang pelajar putri berusia 17 tahun, misalnya.

Selain itu tersirat pula penilaian bahwa melorotnya baju saya boleh jadi kesengajaan. Karena selera berpakaian saya adalah jenis yang mengundang “geli, bahkan untuk sesama perempuan.”

Mengapa saya merasa perlu menulis ini? Insiden begitu aja kok lebay?

Mari kita zoom out kameranya. Saya seorang perempuan. Tubuh saya telah lama terbelenggu berbagai aturan tentang bentuk ideal dan cara berbusana yang ideal. Ironisnya, bentuk ideal dan cara berpakaian ideal atau sopan itu selalu dikaitkan dengan hasrat lelaki.

Terbuka berarti mengundang hasrat. Tertutup berarti menghindarkan dari hasrat. Cara berpakaian saya bukan tentang apa yang membuat saya nyaman tetapi tentang apa pandangan orang tentang baju yang saya kenakan. Bahkan, ironisnya lagi, kualitas moral atau pemikiran perempuan seringkali dikaitkan dengan caranya berpakaian.

Anggaplah ada sebuah kejadian, amit amit semoga nggak terjadi. Seandainya saya mengalami pelecehan seksual atau kekerasan seksual, besar kemungkinan sebagian orang, terutama jenis ibu tadi, akan mengaitkan musibah tersebut dengan selera berpakaian saya. Mudah sekali menganggap bahwa sayalah yang bersalah karena mengundang pelecehan. Nah, ini lho sikap menyalahkan korban.

Kenapa budaya menyalahkan korban ini ada?

Ya, karena perempuan dan tubuhnya ditempatkan sebagai obyek. Perempuan itu penyedia seks, laki-laki itu pemiliknya, berhak menuntut seks bahkan dengan kekerasan. Bahkan untuk kasus YY saja, yang jelas sulit dicari celah dari segi cara berpakaian, masih ada yang menyalahkan bahwa korban sebaiknya tidak jalan sendirian.

Masih menolak kalau cara pandang kita terhadap perempuan dan tubuhnya itu “sakit” tapi kita masih juga menyangkalnya. Untuk melihat itu mari kita kembali ke kasus YY. Banyak orang yang ngotot bersembunyi di balik isu kemiskinan dan alkohol tapi takut untuk mengakui adalah masalah yang jauh lebih dalam yaitu ketimpangan gender.

Masalah kekerasan seksual itu seperti gulma yang nampak di permukaan tanah. Akarnya banyak dan bercabang cabang. Akar mana yang harus dibersihkan untuk meyakinkan gulma ini tak akan pernah tumbuh lagi?

Taruhlah akar pertama cabangnya bernama kemiskinan. Bahwa kemiskinanlah yang menjadi akar frustasinya para anak muda ini sehingga mereka putus sekolah dan menjadi pengangguran. Banyak waktu, tak punya uang, banyak keinginan, tak punya jalan keluar; pelampiasannya bergerombol menenggak miras ilegal karena murah dan tersedia (tanya kenapa?).

Tapi kalau kita bicara kemiskinan, siapa di lapisan terbawah kemiskinan? Perempuan miskin, jadi ketika para lelaki ini merasa tak berdaya terhadap dunia, maka para perempuan miskin inilah pelampiasannya.

Ini tidak berarti program pengentasan kemiskinan tidak penting untuk menurunkan angka kejadian kekerasan seksual di komunitas tersebut. Tentu penting tapi pengentasan kemiskinan juga harus membawa agenda penguatan kaum perempuan.

Lalu, apakah dengan pengentasan kemiskinan lalu cukup? Apakah ini akar utamanya? Kalau pelaku tidak miskin apakah kekerasan seksual tetap terjadi? Ternyata kekerasan seksual tidak terbatas terjadi di kelas sosial ekonomi tertentu, berarti kita harus mau mengakui bahwa akarnya bukan masalah kemiskinan.

Lalu bagaimana dengan penggunaan alkohol? Jelas alkohol menurunkan inhibisi. Bisa jadi mengaburkan pikiran pelaku sehingga berani melakukan kekerasan seksual.

Lalu apakah alkohol itu akar masalahnya? Apakah kekerasan seksual dapat terjadi tanpa perlu alkohol? Nyatanya iya, kasus pemerkosaan dan pembunuhan batita di Bogor tanpa pengaruh alkohol. Apakah menegakkan hukum untuk memberantas miras oplosan tidak perlu? Ya perlu, tapi lagi-lagi itu bukan akar masalah kekerasan seksual.

Akar masalah kekerasan seksual adalah power asimetri antara lelaki dan perempuan (termasuk orang dewasa dengan anak-anak, karena korban kekerasan umumnya perempuan dan anak anak).

Balik lagi ke kamisol dan dada saya. Begitu dalamnya penolakan untuk mengakui bahwa masalah ini adalah masalah ketimpangan gender yang katanya kebarat-baratan. Sampai-sampai banyak perempuan yang memandang perempuan lain lewat lensa yang dibentuk dari sudut pandang kelelakian ini.

Bahkan si ibu, yang sama sekali belum kenal saya itu, perlu merasa “geli” atas kehadiran tubuh saya dengan kamisol melorot sebagai gangguan atas “superioritas moralnya”. Sedihnya, moralitas itu diukur oleh kaum lelaki dan ia menggunakannya untuk membelenggu dan menjajah wanita lain. [b]

The post Moralitas yang Membelenggu Tubuh Perempuan appeared first on BaleBengong.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hosted by BOC Indonesia