Kalian pikir Bali cuma punya pelukis, penari, perajin, dan semacamnya. Ah, jadul amat.
Bali punya bejibun anak-anak muda kreatif. Oh ya, tak hanya kreatif tapi juga gila dengan ide-ide baru. Itu setidaknya tergambar pada Pecha Kucha Night (PKN) di Bali Creative Festival (BCF) Sabtu malam lalu.
Ada delapan presenter di PKN malam itu. Satu per satu mereka berbagi ide, pengalaman, dan kepedulian. Ada beberapa yang nglantur tak terlalu jelas. Tapi, hampir semuanya kerena. Ini di antaranya.
Gung WS, si penampil pertama, berbagi ide soal Kayuh Malam Minggu. Dengan segala ampun untuk presenter lain, menurutku, Gung WS lah presenter terbaik malam itu. Idenya sederhana tapi menarik banget. Keliling kota pas malam Minggu naik sepeda bersama kawan-kawan sebaya.
Ide mengayuh sepeda pada malam Minggu ini sudah dilakukan WS bersama gengnya, anak-anak Institut Seni Indonesia (ISI) Bali. Mereka pakai sepeda jenis apa saja. Tak harus sepeda sendiri, bisa juga pinjam atau nyewa punya orang lain.
Gung WS, anggota Bali Blogger Community (BBC) juga pekerja di Sloka Institute itu (ehm!) mempresentasikan idenya dalam tampilan asik. Foto-foto hidup dan presentasi yang santai membuatnya menarik.
Ide Gung WS & the gank itu harusnya didukung. Sayangnya mereka justru harus menghadapi kejamnya pengguna jalan di Denpasar. Untunglah mereka bisa curhat di PKN.
Presentasi keren lainnya juga datang dari Sakti Soediro soal Barbie from Bali. Sakti, si centil anak BBC ini awalnya berencana akan presentasi bareng Putu Restiti, perempuan berusia 19 tahun dari Desa Songan, Kintamani, Bangli si pembuat Barbie berbaju Bali.
Oya, sebenarnya yang keren adalah Restiti. Meski cacat fisik tak bisa berjalan sehingga harus pakai kursi roda, Restiti bisa membuat karya jenius dari Bali: Barbie berkebaya Bali. Restiti tak pernah sekolah. Dia tinggal di desa tepi Danau Batur itu. Tapi, dia melampau kondisi fisik yang bagi banyak orang dianggap sebagai hambatan.
Restiti membuat sendiri idola global itu dengan sentuhan lokal. Bagi Sakti, arsitek muda yang juga jago desain itu, karya Restiti keren karena sangat detail. Dia memperlihatkan foto-foto Restiti dengan karyanya. Dan, memang keren.
Cerita tentang Restiti, menurutku, sangat menggugah. Bagaimana seorang perempuan muda dari desa dengan “keterbatasan” fisiknya justru melahirkan karya Barbie from Bali, sesuatu yang bisa memadukan ikon globa dalam kemasan lokal. Restiti salah satu inspirasi di PKN kali ini.
Cerita menggugah lain datang dari Pande Putu Setiawan, pendiri dan pengelola Komunitas Anak Alam di kaki Gunung Batur. Pande, alumni Magister Manajemen Universitas Gajah Mada (UGM), itu memilih kembali ke Desa Songan dan mengabdi untuk anak-anak di desa yang tak mengenyam pendidikan tersebut.
Dari desa di sekeliling Batur itu, Pande mengajak puluhan, atau bahkan ratusan relawan lain, untuk membantu 3000 anak putus sekolah di sana. Mereka memberikan buku, nutrisi, dan pendidikan pada anak-anak tersebut.
Pande menggugah karena gugatannya pada gemerlap pariwisata Bali yang melupakan anak-anak miskin yang tak sekolah seperti di sekitar Batur, salah satu pesona pulau ini.
Berbagi pengalaman mengajar anak-anak putus sekolah ini juga disampaikan dua presenter di PKN kali ini: Intan Paramitha dan Astharini Ditha.
Secara bergantian mereka berbagi ide dan pengalaman mengelola Kelas Beranda, sekolah alternatif untuk anak-anak pedagang buah. Bersama tiga teman sebaya, mereka menggagas Kelas Beranda di Desa Kapal dan Banjar Perangalas, Mengwi, Kabupaten Badung. Ini sekolah untuk anak-anak pedagang buah yang putus sekolah karena ekonomi dan jarak sekolah yang terlalu jauh.
Berbagi ide dan pengalaman dalam kreativitas itu makin lengkap dengan perspektif berbeda dari Gus Tulank tentang Keterbukaan Informasi Publik. Gus Tulank cukup menggoda dengan presentasi berjudul Kalau Bisa Dibuka, Ngapain Ditutup?
Nah, kalau mau tahu lebih banyak tentang apa saja yang bisa dibuka, silakan buka website Sloka saja.
Leave a Reply