Menulislah segera, tidak nanti atau besok. Menulislah dengan jujur, apa yang kamu alami, apa yang kamu rasakan, apa yang kamu cium baunya.
Demikianlah yang dibilang @zenrs sore itu. Panjang lebar dia bercerita tentang pengalamannya menulis, menuliskan hal – hal sehari – hari dengan cara yang biasa.
Bagaimana membedakan sebuah proses menulis dan menyunting. Bagaimana ketika seorang penulis menuliskan emosinya tanpa sebuah jeda, tanpa sebuah keinginan untuk menoleh ke belakang, tanpa sebuah pretensi apakah tulisannya akan bagus atau tidak.
Sesederhana itu.
Hanya saja dalam prosesnya ternyata tak sesimpel menuliskan apa yang dirasakan. Permasalahannya adalah, bagaimana jika tidak merasa? Bahkan suatu hal yang kita kira membuat bahagia, berdebar-debar, sedih atau bahkan telah membuat kita menangispun, ketika sampai pada suatu akhir, ternyata tak menyisakan apapun. Bahkan tidak juga emosi menghentak yang sebelumnya dirasakan demikian hebatnya.
Saya masih bisa mengingat jelas, ada waktu dimana saya begitu intens menulis. Setiap hari satu tulisan, bahkan beberapa kali lebih. Menulis dari hal – hal yang begitu sederhana, tapi meninggalkan kesan yang mendalam dalam ingatan saya hari itu ketika saya berniat menuliskannya. Tentang pasir, laut, tentang rindu, bahkan..tentang bunga jatuh di pinggir jalan.
Saya paham yang dimaksud @zenrs ketika mengatakan “menulislah apa yang kamu rasakan.”
Hanya saja saya tak paham ketika dia berkata, “dan jakarta adalah kota dengan banyak cerita. Banyak hal yang bisa dimaki, banyak hal yang bisa dikritik.”
Saya tahu itu, tapi bagaimana jika saya bahkan tak bisa merasakan hal itu? Saya tak lagi bisa merasakan macet di mampang prapatan, pengemis di pinggir jalan, bahkan tak juga bisa merasakan emosi marah pada seorang ibu yang rela mengajak bayinya mengemis di perempatan yang terik. Saya tak lagi menemukan “rasa” itu, ketika saya mencoba menuliskannya.
Dan hari ini, kembali saya berusaha untuk mencari tahu, kemana perginya kepekaan yang dl saya miliki? Dimulai dari perjalanan dari rumah menuju kantor, bertemu dengan seorang teman, berbicara dengan beberapa teman lainnya, dan ketika saya menuliskan ini, saya sedang menunggu beeberapa teman lain untuk buka puasa, di tempat yang berbeda. Saya berusaha untuk membawa emosi saya dalam setiap hal yang saya lakukan, bahkan ketika saya berjabat tangan dengan seorang kolega.
Saya akhirnya sedikit paham, kenapa saya semakin susah merasakan sesuatu di Jakarta. Atau lebih tepatnya semakin tidak ingin merasakan. Karena merasakan itu melelahkan. Ada secuil emosi, pikiran, atau hati saya yang berkurang setiap kali saya mengalami hal yang tak menyenangkan. Meskipun tetap saja, ada tambahan cuilan di setiap kesenangan yang datang.
Tapi melihat anak – anak mengemis dan tidur di jembatan penyeberangan tanpa alas, membuat ibu – ibu tak bertanggungjawab yang membawa bayi entah siapa meminta-minta di lampu merah, melihat seorang pengendara yang mengebut dan menyebabkan musibah untuk yang lainnya, benar – benar membuat energi saya berkurang jauh, bahkan saya menjadi begitu sedih.
Sangat sedih.
Saya membayangkan bayi-bayi itu adalah anak saya, lalu membayangkan ibu-ibu itu adalah ibu saya, dan orang – orang tak dikenal itu adalah saudara saya.
Lalu saya merasa begitu dekat dengan apa yang mereka lakukan, apa yang mereka raakan. Dan itu perih rasanya.
Mungkin ini alasan kenapa saya memilih untuk menafikkan perasaan, yang pada akhirnya membuat saya tak lagi menulis.
Karena saya tak lagi emosi, karena saya tak lagi melihat sesuatu dan berempati, dan karena saya tak ubahnya sebuah robot, berjalan tanpa memori.
Mungkin karena itulah saya memang perlu menulis lagi. Ini seperti menuangkan sampah pada sebuah pembuangan, lalu selanjutnya akan dibawa pergi oleh mobil pengangkut sampah.
Hidup di jakarta memang melelahkan, terlalu banyak hal untuk dicacimaki, terlalu banyak hal untuk dibenci, dan menulis saya kira adalah sebuah terapi untuk menyeimbangkan apa yang saya “makan” dengan cara “membuangnya” pada tulisan.
Thanks, zen! Untuk sore di kelas yang menyenangkan.
Leave a Reply