Matahari telah menembus sela-sela pohon jepun yang tak terlalu rindang. Terbentuk garis-garis sinaran yang menawan. Sebagai suara latarnya, terdengar kokokan ayam serta seruan bebek yang khas. Namun, empat ekor kerbau masih tampak bermalas-malasan. Mereka berbaring khidmat di bawah pohon berdaun lebat. Sementara, sejumlah warga telah ramai menimbulkan suara. Tidak hanya suara percakapan, tetapi juga suara-suara yang sibuk mempersiapkan sebuah perayaan. Beberapa pemuda bersila sambil membakar bertusuk-tusuk sate lilit. Tampak pula wanita-wanita yang tengah berjalan kaki sambil menyunggi serangkaian sesajen di kepalanya untuk dihaturkan di sebuah Pura setempat.
Seperti itulah panorama pukul tujuh pagi di Desa Tenganan Pegringsingan, sebuah desa tertua di Pulau Dewata berlokasi di Kabupaten Karangasem, Kecamatan Manggis. Ketika saya berkunjung, desa tersebut tengah menggelar rangkaian perayaan suci bertajuk Usabha Sambah. Seluruh warga tampak bergotong royong, bahu-membahu demi menyukeskan perayaan besar dalam tradisi mereka tersebut. Kebetulan di hari itu juga akan dilaksanakan ritual unik yang akrab disebut Mekare-kare atau Perang Pandan, di mana merupakan puncak dari perayaan Usabha Sambah. Ya unik, lantaran para pemuda di desa ini akan berperang satu lawan satu dengan bersenjatakan daun pandan berduri. Mereka tidak membawa emosi, amarah, atau dendam dalam ritual ini. Perang Pandan digelar sejatinya sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada Dewa Indra, yang dipercaya oleh warga Tenganan Pegringsingan sebagai dewa tertinggi mereka.
Usabha Sambah dan Perang Pandan pun menjadi magnet pariwisata, di samping label keunikannya sebagai desa tertua yang dihuni oleh Bali Aga (orang Bali pertama atau Bali asli). Meski harum pariwisata tercium di Desa Tengan Pegringsingan, namun tak langsung membuat Tenganan meninggalkan adat dan tradisinya. Bahkan ketika banyak kawasan di Bali bertransformasi akibat pesatnya kemajuan pariwisata, Tenganan tetap setia menjadi desa tradisional yang tak ingin terjerembab ke dalam arus modernitas. Tenganan tetap menjaga kulturnya dan berpegang teguh pada aturan adat (awig-awig).
Eksotisme Tenganan dengan mudah dapat dirasakan ketika menelusuri keindahan arsitektur rumah-rumah warganya. Saya melihat kombinasi dari elemen batu merah, batu sungai, dan tanah menjadi komposisi bangunan rumah mereka. Bentuk dan ukuran luas bangunan serta pekarangan antara rumah satu dengan rumah lainnya hampir serupa. Atap-atap rumahnya pun dibuat dari sealami mungkin dari tumpukan alang-alang. Bahkan pintu masuk setiap rumah pun hampir sama, di mana menyatu dengan atap rumah dan hanya muat untuk satu orang dewasa.
Seluruh tata cara pembangunan itu pun diatur oleh awig-awig Tenganan yang sudah tertuang sejak abad ke-11 dan diperbeharui kembali pada tahun 1842. Dari awig-awig itu pula, nenek moyang mereka telah merancang sebuah pemukiman yang mampu bertahan dari serangan banjir. Struktur jalanan desa pun sengaja dibuat berundak-undak, semakin ke utara semakin tinggi. Sehingga, ancaman banjir pun dapat diatasi.
Menariknya lagi, warga Tenganan saling bahu-membahu dalam membangun rumah mereka. Bahkan seluruh warga akan ikut bergotong royong membuatkan pondasi bangunan untuk rumah seorang warga. Bahan-bahan bangunan pun mereka dapatkan langsung dari alam, seperti kayu dan batu. Namun, tidak sembarang untuk menebang pohon di hutan, karena warga Tenganan pun juga harus mengikuti rentetan prosedur perizinan dari legislatif desa.
Dikelilingi perbukitan dan permainya alam Karangasem, Tenganan tahu betul bahwa kehidupan hidup mereka digantungkan dari alam. Oleh karena itu, semua aturan adat di Tenganan benar-benar dirancang tidak hanya untuk menjaga tradisi, namun juga kelestarian alam. Pasti banyak yang mengira mata pencaharian mereka bergantung dari sektor pariwisata. Saya sempat berpikiran seperti itu. Tapi nyatanya tidak. Justru sebagian besar dari warga Tenganan berprofesi sebagai petani. Di sana pun terkadang masih diadakan sistem barter. Meskipun dalam perkembangannya, mereka juga mencoba memaksimalkan potensi desa mereka dengan menekuni ukir-ukiran, anyaman bambu, dan lukisan di atas lontar. Bahkan kain tenun Pegringsingan pun menjadi primadona.
Seni menenun kain gringsing merupakan warisan turun-temurun di Tenganan, oleh sebab itu motif Gringsing dengan teknik ikat ganda itu pun hanya ditemukan di sini. Orang Tenganan percaya bahwa makna Gringsing pada nama tenun mereka tersebut dimaknai sebagai penolak bala. Kain tenun gringsing pun menjadi sebuah ikon tersendiri. Tidak mudah untuk membuat Gringsing tersebut. Konon kain yang bahan-bahannya berasal dari tetumbuhan sekitar Tenganan tersebut dibuat dalam waktu yang tidak singkat, bahkan ada yang sampai dua tahun, lantaran memerlukan perlakuan khusus. Tidak heran jika tenun Gringsing bisa dihargai cukup mahal. Harga yang sangat sepadan dari dedikasi para penenun tua dan muda yang tetap melestarikan warisan leluhur mereka.
Saya tak pernah mengira di tengah gempuran masif industri perhotelan di Bali yang sarat modernitas, masih ada desa yang menganut paham-paham tradisonal seperti Desa Tenganan Pegringsingan. Bahkan desa ini mengaggap pariwisata yang masuk ke desa mereka hanyalah “bonus” semata. Mereka tidak dengan mudah mengizinkan nafas-nafas pembangunan pariwisata masif merusak warisan tradisi yang mereka junjung. Itu bisa dilihat bagaimana desa ini melarang perizinan pembangunan hotel dan villa di sekitar desa mereka. Bahkan tidak jua mengizinkan rumah-rumah warga mereka dijadikan penginapan.
Seakan-akan Desa Tenganan ingin memberi contoh, bahwa dengan cara merekalah semestinya pariwisata itu bekerja. Pariwisata yang benar-benar menekankan pada pelestarian budaya dan alam. Bukan malah sebaliknya, pariwisata yang mendesktruksi kebudayaan dan lingkungan mereka. Maka ide-ide seperti alih fungsi sawah untuk lahan pembangunan hotel berbintang dan villa atau yang kontroversial seperti rencana Reklamasi Teluk Benoa sesungguhnya tidaklah dibutuhkan, jika kita berkaca dari pariwisata ala Tenganan.
Menjaga sebuah prinsip, aturan, tradisi dan budaya di Tenganan bak menjaga sebuah Mahakarya Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tidak mudah. Butuh pengorbanan, kesabaran, dedikasi, dan kesadaran secara meluruh. Menariknya, warga Tenganan secara sadar bergotong-royong dalam memelihara “mahakarya” tersebut dengan keikhlasan yang penuh. Bahkan secara sadar, Tenganan juga membuat aturan agar warganya tidak boleh menikah dengan orang di luar Tenganan. Itu semata-mata demi menjaga penerus dari “mahakarya” mereka yang bernama tradisi dan budaya.
Teks & Foto oleh Putra Adnyana
Leave a Reply