Badanku sampai terasa lemas menikmati kopi toraja.
Kalau biasanya dalam sehari hanya sekali atau maksimal dua kali minum kopi, ini aku bahkan sudah tiga kali minum kopi. Padahal belum juga tengah hari.
Tapi, anggap saja ini termasuk risiko liputan. Kalau liputannya tentang perang kan bisa kena tembak sampai mati. Maka, anggap saja risiko liputan tentang kopi ya harus mau mati lemas karena kebanyakan minum kopi. Hehehe..
Liputanku kali ini di sekitar Gunung Sesean, di sisi utara Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan malam kemarin. Lokasinya di pegunungan. Suhunya sejuk. Perlu waktu sekitar 1,5 jam naik sepeda motor dengan jalanan rusak dan menanjak. Sepeda motor seperti mengerang kesakitan ketika kami menaikinya menuju lokasi.
Ini kali pertama aku ke Toraja. Kali ini pun temanya tak jauh berbeda dari biasanya, dokumentasi dan cari bahan publikasi VECO Indonesia, tempatku kerja paruh waktu. Di sini, kami bekerja bersama lembaga swadaya masyarakat dan organisasi petani untuk komoditi kopi. Toraja salah satu produsen specialty coffee di Indonesia selain Jawa, Flores, Gayo, dan Bali.
Berliku
Perjalanan ke sini dari Makassar lumayan lama, hampir 10 jam. Berangkat dari Makassar, tepatnya di sekitar Bandara Hasanuddin pukul 10.30 Wita, sampai di Rantepao pukul 08.00 malam. Jalan dari Makassar hingga Parepare sebagian besar lurus meski masih saja banyak yang belum selesai pengerjaannya. Baru selepas Parepare mulai menanjak dan berliku karena Toraja berada di tengah pegunungan.
Meski lama, perjalanan ini relatif santai. Pertama, karena pakai bus antarkota. Perjalanan dengan bus ini bisa jadi pilihan selain kendaraan pribadi. Tarif bus Makassar – Toraja relatif murah, Rp 85.000. Bus eksekutif dengan AC dan kursi jejer dua di tiap sisinya ini nyaman juga meski jeroannya agak kotor. Dia bisa jadi pilihan dibandingkan sewa kendaraan pribadi yang tarifnya sampai Rp 1,5 juta sekali jalan antara Makassar – Toraja.
Alasan lain perjalanan lebih santai karena jalannya relatif mulus meski menanjak dan berliku sejak dari Parepare hingga Toraja. Ya, ini setidaknya kalau dibandingkan ketika ke Kabupaten Mamasa sekitar 2009 lalu. Waktu itu pukul 9.00 pagi dari Makassar, sampai Mamasa sekitar pukul 3 pagi. Jalanannya pun berlumpur hancur lebur. Makanya, ketika tahu bahwa jalan ke Toraja ternyata bagus, beban capek di jalan lumayan berkurang.
Karena tiba saat malam dan badan sudah menagih untuk istirahat, tak banyak yang bisa aku lihat saat malam pertama. Baru esoknya mulai berkunjung ke lapangan untuk mengumpulkan foto dan cerita tentang kopi.
Selama seharian, kami ngobrol dengan petani anggota Asosiasi Petani Kopi Toraja (APKT) ini. Tak banyak yang bisa dikerjakan karena mereka tahun ini panen kopi menurun akibat hujan tak pasti. Kebun mereka juga masih jauh di dekat gunung sana. Kami hanya foto mereka di kebun dekat rumah yang pohonnya tak seberapa banyak.
Banyak cerita. Tak hanya tentang kopi tapi juga keunikan dan kekayaan adat Toraja. Cuma, nanti saja ceritanya. Kali ini yang penting bisa menikmati kopi toraja yang termasyhur itu dari tempatnya langsung.
Leave a Reply