Bencana mengumpulkan pengalaman-pengalaman untuk adaptasi. Baik bencana alam atau non alam. Ada 3 tahap yang perlu dipahami terkait kejadian bencana adalah pra-bencana, bencana dan pasca bencana. Yang sering terjadi, kita baru merasakan krisisnya ketika bencana sudah terjadi.
Wisnurangga, bagian manajemen risiko bencana Yayasan IDEP memaparkan menghadapi bencana bisa kita persiapkan dengan perencanaan pra bencana dan mempelajari apa yang bisa dilakukan pasca bencana.
Bali memiliki bahaya risiko bencana dari pengaruh sisi hidrologinya. Memiliki 2 musim, panas dan hujan. Dari 2 jenis musim itu dapat diperkirakan bencana yang akan terjadi. Ketika hujan ada kemungkinan banjir. Ketika panas bisa terjadi kekeringan dan kekurangan air yang memicu gangguan sanitasi.
Respon masyarakat atas bencana di Bali sebelumnya seperti Gunung Agung di Karangasem meletus menjadi pengalaman bagaimana cara menghadapi bencana. Dalam diskusi Respon Lokal dan Rehabilitasi Pascabencana, Muchamad Awal, 24 Mei 2022, Direktur Eksekutif IDEP menyebutkan yang juga perlu dipertimbangkan ketika bencana di Bali adalah bagaimana tentang penyelamatan ternak. Bencana alam Gunung Agung meletus menunjukkan bagaimana respon masyarakat terdampak di Karangasem dan sekitarnya.
“Masyarakat lebih mementingkan ternaknya daripada melindungi diri,” jelas Awal. Merespon bencana di Bali tidak hanya urusan manusia. Tapi juga bagaimana melakukan evakuasi pada hewan ternak. Salah satu harta kekayaan masyarakat Bali diinvestasikan pada hewan ternak. Sehingga ketika bencana kehilangan ternak menjadi rasa kehilangan yang kompleks untuk masyarakat. Kehilangan mata pencaharian dan investasinya.
Dari respon itu, Wisnurangga menyebutkan muncul daya adaptasi prabencana oleh masyarakat terdampak. Muncul pemanfaatan cubang ketika menghadapi kekurangan air. Sumber makanan dari hasil lahan kebun ketika musim hujan. Ternak menjadi sumber penghasilan ketika musim panas.
“Di sawah masyarakat akan menyimpan padi di lumbung untuk memenuhi kebutuhan pangan selama musim kering,” papar Wisnu.
Di sisi lain, ada kejadian di luar kontrol masyarakat. Seperti sekarang terjadi perubahan musim penghujan dan kering. Misalnya di beberapa lokasi Buleleng barat, Banjar Bukit Sari, Sumberklampok. Bulan April biasanya sudah kering, tapi sekarang sudah Bulan Mei masih hujan. “Perubahan pola musim seperti ini juga mengganggu. Sehingga petani yang bisa terintegerasi dengan ternak itu jadi salah satu bentuk adaptasi.”
Masyarakat Tangguh Melalui Pemberdayaan Pertanian
Melalui manajemen risiko bencana, Yayasan IDEP menjangkau masyarakat untuk tangguh melalui pemberdayaan pertanian. Petani diajak bertani organik lagi. Setelah 30 tahun terakhir generasi petani dibentuk menggunakan sistem pertanian intensif, komponen pertanian dibuat hibrid, berbahan kimia, bersifat masif sehingga menjadi ketergantungan.
Sementara di Bali terbaca konsep pertanian tidak butuh lahan masif. Petani memiliki lahan tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga kebutuhan pupuk dan bibit bisa terpenuhi secara sendiri dan lokal.
Dari pemetaan konsep dan kebutuhan itu, IDEP melatih petani membuat pupuk cair organik dari sisa dapur, sisa sayur. Menghadapi serangan hama serangga dengan menggunakan tanaman penarik serangga. Biasanya tanaman bunga yang berwarna kuning. Menerapkan penanaman tumpangsari (banyak jenis tanaman dalam satu lahan).
Mengajak petani agar lebih memperhatikan tanah. Perubahan laku petani terhadap tanah yang berbeda juga mempengaruhi. Saat ini yang terjadi tanah hanya sebagai alat produksi petani saja.
“Ini disebabkan karena dulu petani punya lahan, sekarang yang punya lahan menyewakan ke buruh tani. Ini beda pengertian jadinya. Sehingga ada istilah buruh tani,” papar Wisnu.
Pola dan rasa pemilikan ini mempengaruhi laku petani menggarap tanahnya. Pelakuan kurang peduli terhadap kondisi tanah. Tanah yang tersakiti pupuk kimia dan bibit hibrid. Hal ini memicu turunnya produktivitas.
“Itu kondisinya, sehingga IDEP mendorong petani membudayakan lagi benih lokal,” jelasnya.
Benih lokal bisa jadi benih terbaik dengan pola perawatan yang intensif. Ada juga laku adat, seperti memperlakukan tanaman seperti saudara. “Kami ingin mengembalikan laku-laku itu, yang sebenarnya sudah ada sejak dulu di Bali,” tambahnya.
The post <strong>Menghadapi Bencana dari Pengalaman</strong> appeared first on BaleBengong.id.
Leave a Reply