Menggugat Ingatan Kolektif Perda RTRWP Bali (2)

Oleh


Agung Wardana


Setelah berbicara dari segi prosesnya yang panjang dan tidak mengenal lelah, substansi Perda RTRWP Bali juga layak untuk diingat bersama. Sebenarnya substansi Perda ini tidak jauh berbeda dengan perda sebelumnya, khususnya terkait Bhisama PHDI dan kawasan yang disucikan. Sedangkan jarak sempadan pantai mengikuti Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.


Jika memang substansi tersebut yang menjadi dasar gugatan para investor, pertanyaannya mengapa baru sekarang diajukan? Mungkin jawabannya adalah adanya ketakutan dari pemerintah kabupaten terhadap model hierarkis yang dianut dalam kebijakan tata ruang sehingga menutup peluang mereka mengatur sendiri keruangannya sekehendak hati.


Permasalahannya saat ini menjadi berbeda ketika gugatan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) karena akan membuka peluang dibatalkannya Perda ini secara keseluruhan. Tentu saja hal ini akan membawa Bali menjadi masyarakat yang barbar. Mengingat tidak hanya keruangan yang bernilai ekonomis yang diatur dalam perda ini, tetapi juga upaya membangun sebuah relasi baru antar masyarakat Bali.


Mengangkat Realitas Dalam Kebijakan

Selama ini politik pemanfaatan ruang Bali ditentukan oleh ekonomi politik pariwisata, sehingga urusan keselamatan rakyat, keadilan dan kelestarian lingkungan hidup adalah urusan berikutnya. Buktinya, puluhan tahun sudah pariwisata massal berkembang di Bali namun jaminan terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan hidup justru semakin meredup dibuatnya.


Konflik demi konflik pemanfaatan ruang-ruang kehidupan rakyat yang ambil untuk dipersembahkan pada singgasana pemilik modal dalam membangun infrastruktur pariwisata, komodifikasi adat dan budaya, ketidakadilan lingkungan hidup, anak tak berdosa menjadi korban pedofilia, sampai penyebaran penyakit HIV/ AIDS. Sehingga melahirkan pertanyaan, apakah hal ini perlu untuk dilanjutkan bahkan diperluas?


Di kawasan perkotaan, ruang-ruang diarahkan menjadi kawasan-kawasan komersial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Alhasil, tidak ramahnya wajah kota terhadap para penghuninya sendiri. Pengedara sepeda, pejalan kaki dan kaum diffable menjadi kelas kedua dalam pemanfaatan ruang kota dan harus berjuang tanpa perlindungan kebijakan dari pemerintah.


Sungguh hukum rimba berlaku dijalan-jalan kota saat ini, dimana kelas atas bermobil selalu dimanjakan dengan jalan-jalan baru agar dapat berlalu lalang tanpa hambatan kemacetan. Langkah untuk membangun transportasi publik yang baik dan ramah lingkungan tidak pernah menjadi pilihan karena pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan daerah.


Di samping itu, ancaman global tidak kalah dasyatnya, yakni pemanasan global dan perubahan iklim yang mengancam keberadaan pulau-pulau kecil seperti Bali. Tak dapat dipungirki bahwa pariwisata di Bali memiliki kontribusi besar dalam pelepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfir yang menjadi penyebab dari pemanasan global dan perubahan iklim. Namun demikian tidak terlihat sama sekali upaya pemerintah untuk mengatasi ancaman tersebut.


Jika benar prediksi yang menyatakan bahwa pada 2030 nanti air laut akan naik 6 meter, maka akan terjadi penggerusan besar-besaran pada kawasan pesisir Bali. Sungguh sulit dibayangkan bagaimana keadaan nelayan-nelayan di pesisir Bali ketika mereka kehilangan lahannya hidupnya dan tidak tahu harus dipindahkan ke daratan mana.


Begitu pula dengan nasib para petani kita yang sama sekali tidak mendapatkan perlindungan kebijakan. Tiadanya kebijakan pemerintah untuk membuat lahan pertanian abadi menunjukkan watak bahwa pertanian dan masalah pangan rakyat masih menempati urusan dibawah pariwisata. Politik keruangan untuk membuat jalan baru, bandara baru, spekulasi real-estate, infrastruktur dalam perluasan ekspansi pariwisata tentu akan berdampak pada lahan pertanian. Cuaca untuk bertani yang tidak menentu, kesulitan air, pajak yang tinggi, ancaman konversi lahan akibat ekspansi infrastruktur pariwisata menghantui para petani yang pada gilirannya akan semakin menjauhkan rakyat dari impian kedaulatan pangan.


Berangkat dari realitas diatas dan mimpi untuk menyelamatkan Bali kedepan, menjadi prioritas penting yang terumus dalam substansi Perda RTRWP Bali. Maka tidak heran jika kemudian, banyak pihak yang mengungkapkan kekagumannya atas perda ini karena dianggap memiliki visi jauh kedepan dalam memberikan ruang yang lestari dan adil bagi anak cucu kita.


Proses Pembelajaran Kolektif

Selain penguatan substansi Perda RTRWP Bali, proses perumusan dan penyusunannya mampu memberikan pendidikan politik bagi publik. Dimana masyarakat Bali mulai dewasa untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan mendorong proses yang terbuka dan transparan dalam kebijakan pembangunan.


Hal ini akan menjadi embrio positif bagi pembentukan masyarakat Bali yang kritis dan tidak dapat didikte oleh kepentingan investasi ekonomi janka pendek. Karena, jika Bali rusak, para investor dengan tenang dapat mengalihkan investasinya ke tempat yang lain, namun kita sebagai penerus generasi Bali tidak akan bisa pergi kemana-mana karena Bali adalah ibu pertiwi kita. Jadi sudah sepatutnya kita jaga dari sekarang.


Penulis, aktivis lingkungan

Mantan anggota Tim Pengkaji NKA dan Perumus Ranperda RTRWP Bali

Sedang belajar di University of Nottingham, Inggris


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *